Rabu, 09 April 2014

Golput No, Calog Busuk juga No!

Golput No, Calog Busuk juga No!

Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 08 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
ALANGKAH mubazirnya jika publik tak menentukan pilihan alias golput pada 9 April 2014 besok. Bayangkan, negara telah menggelontorkan Rp16 triliun untuk menyelenggarakan hajatan atau pesta demokrasi lima tahunan itu. Hendaknya upaya memilih para wakil rakyat itu dilakukan semaksimal mungkin sehingga pada akhirnya calon-calon anggota legislatif berkualitas sajalah yang memang berhak untuk melenggang ke Senayan.

Tak sedikit memang sebagian masyarakat yang skeptis, jika tak mau dikatakan trauma pada pemilu, karena para anggota dewan yang sudah duduk di kursi parlemen, yang dulu dipilih oleh masyarakat, nyata-nyata tak memberi angin perubahan yang signifikan. Penyebabnya tak sedikit anggota dewan yang melakukan korupsi serta tindakan lain yang justru merugikan masyarakat. Itu sebabnya, Amien Rais sebagai politikus senior memperkirakan 40% masyarakat Indonesia akan absen dalam pemilu atau golput.

Salah satu bentuk ketidakpercayaan masyarakat pada pemilu terkait dengan moralitas para calon legislator. Selain persoalan korupsi, masyarakat umumnya tak menginginkan jika pemilu hanya dijadikan alat untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan partai yang semakin besar, dengan masyarakat tidak menjadi bagian yang dipikirkan. Bahkan cenderung, para calon anggota dewan yang dipilih partai seakan-akan hanya mementingkan kepentingan sendiri dan kelompok.

Sebetulnya, para caleg yang dinilai publik bermasalah, baik karena faktor hukum maupun moralitas, atau mereka para caleg busuk, jika tetap dipertahankan partai pengusungnya, dapat dipastikan memperburuk citra partai bersangkutan (Mujani, 2009). Tapi sayangnya, mengapa meskipun ada caleg yang bermasalah, partai tertentu tetap mengajukannya sebagai caleg? Adanya pemaksaan terhadap pengajuan caleg oleh partai seperti itu akhirnya terjadi rumor yang tak sedap, seperti ada dugaan bahwa partai telah menerima `sogokan' dari orang yang mengajukan diri sebagai caleg padahal memiliki masalah baik hukum mau pun moralitas.

Karena itulah, sesungguhnya keberadaan gerakan antipolitisi busuk, misalnya, sangat membantu bagi masyarakat pemilih supaya jangan memilih caleg yang cacat secara moral. Karena bagaimanapun mereka yang akan duduk di kursi dewan harus bertanggung ja wab membawa masyarakat pada kesejahteraan, bukan malah membuat persoalan baru bagi masyarakat. Para caleg yang telah dikenali publik memiliki masalah pribadi, apalagi caleg yang nyata-nyata pernah dikenai sanksi pidana atau pernah dipenjara dan diproses hukum walaupun belum memiliki kekuatan hukum tetap, dianjurkan supaya tidak dipilih oleh masyarakat pada Pemilu 2014.

Sejatinya para caleg ada lah orang-orang yang mampu memberikan teladan kepada masyarakat, karena mereka termasuk di antara sekian dari gelintir orang dari jutaan anggota masyarakat yang mendapatkan kesempatan sekaligus kehormatan untuk duduk di lembaga yang terhormat. Jika mereka berhasil memasuki lembaga dewan dengan kategori bahwa mereka merupakan orang-orang pilihan, mereka boleh dikatakan sebagai orang yang benar-benar terhormat karena akan membela kepentingan masyarakat luas dan memberi kesejahteraan.

Namun, dalam sejumlah kasus, kita sering kali masih menemukan mereka para caleg yang bermasalah, atau dikenal sebagai politisi busuk itu. Sayang seribu sayang, KPU sebagai pihak yang memberikan akses kepada publik untuk memberikan laporan dan pengaduan tentang perilaku caleg hanya bisa menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada parpol untuk menilai layak tidaknya caleg tersebut untuk terus maju sebagai caleg. Dalam artian, KPU tampaknya hanya bertin dak pada tataran admi nistrasi. Karena itulah, sebenarnya partai politik sebagai lembaga yang paling berwenang terhadap calegnya harus memilah dan memilih kualitas caleg baik secara kualitas maupun moral.

Persoalan moralitas dalam politik sesungguhnya sangat menentukan legitimasi etis para caleg karena bagaimanapun para caleg nantinya akan berkiprah secara konkret dalam masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat. Komitmen terhadap persoalan moral merupakan suatu keharusan jika mereka benar-benar sungguh ingin memperbaiki kondisi yang tengah karut-marut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di negara-bangsa yang tradisi demokrasinya sudah maju, persoalan moralitas dalam politik merupakan hal yang sangat menentukan karier seorang politisi (Mulgan, 1994). Mereka yang diduga terlibat pelanggaran moral, apa pun bentuknya, lebih memilih mundur dari arena pertarungan politik meskipun belum ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, pejabat politik yang sedang berkuasa pun akan melakukan hal yang sama jika terlibat kasus pelanggaran moral. Hal itu karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa pelanggaran moral merupakan aib politik yang akan mendegradasi legitimasi etis mereka pada level yang sangat rendah. Mengapa kesadaran seperti itu tidak terdapat pada diri para caleg di negeri ini.

Kewaspadaan terhadap caleg busuk harus benar-benar menjadi perhatian masyarakat. Karena caleg busuk bukanlah politikus yang secara instan dilahirkan, mereka sudah mengetahui dan malah me nguasai peta perpolitikkan baik di tingkat nasional maupun lokal. Mereka tidak berdiam diri untuk dijadikan sasaran tembak, bahkan mungkin mereka sudah menyiapkan serangkaian strategi untuk mengelabui masyarakat.

Hasil survei LSI menggambarkan isu yang terpatri dalam benak pemilih ialah sulitnya mencari lapangan pekerjaan dan harga kebutuhan pokok yang semakin mahal. Dua persoalan itu dipilih oleh 68% pemilih. Sementara masalah korupsi (KKN) hanya mendapatkan porsi yang cukup kecil, 5% saja. Begitu pula dengan masalah penegakan hukum yang hanya 5,2% dan terorisme 1,4%. Dari sisi itulah masyara kat harus mewaspadai caleg busuk, jangan hanya karena diberi iming-iming uang atau sembako, lantas rela untuk memilih caleg busuk.

Para caleg busuk senantiasa menempatkan posisi rakyat sebagai pusat eksploitasi dan komoditas politiknya demi berburu kekuasaan. Sebelum kekuasaan tergenggam, isu-isu kerakyatan selalu menjadi tema yang aktual, dibela, dan dipasarkan secara mencolok demi membuai mayoritas masyarakat agar terpesona sehingga menjatuhkan pilihan politik pada dirinya. Inilah siasat politik yang menjadi andalan para caleg busuk, bahwa setelah ambisi politiknya tergenggam dan terwujud, dirinya segera lari, berpaling dan mengingkari berbagai komitmen kerakyatan. Rakyat dalam konteks ini hanya diposisikan sebagai batu loncatan untuk meraih kursi kekuasaan.

Setelah kekuasaan tergenggam, politisi busuk kembali ke watak aslinya dengan hanya memikirkan kepentingan pribadi serta menjadikan posisinya sebagai media untuk mengeruk uang negara secara membabi buta. Politisi hitam memiliki prinsip aji mumpung. Posisi kekuasaan yang dimiliki lebih difungsikan sebagai mesin uang demi mewujudkan kekayaan pribadi semata. Prinsip dan kepentingan pragmatis itulah yang membuat kaum politisi mudah menjalankan praktik korupsi dengan dalih dan cara yang relatif rapi, canggih, dan sistematis. Maraknya kasus korupsi yang kini banyak menjerat kaum politisi, baik di pusat maupun daerah, ialah bukti betapa insitusi pemerintahan telah banyak disusupi, disandera, dan dikuasai politisi busuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar