Embung
Budi dan Ceremende Ayam Bakar Masngut
Dahlan Iskan ; Menteri BUMN
|
JAWA
POS, 07 April 2014
SAYA
akan berkisah mengenai dua orang yang begitu memberi harapan. Masngut di
Blitar dan Budi Dharmawan di Semarang. Dua-duanya sudah berumur lebih dari 70
tahun, tapi masih saja das-des.
Saya berinteraksi dengan Pak Budi minggu lalu dan dengan Pak Masngut Minggu
pagi kemarin.
Pak Budi
mengajak saya ke Desa Wonokerto, sebuah desa di pelosok gunung Kabupaten
Semarang. Saya sampai naik ojek untuk bisa masuk ke desa dengan jalan yang
gonjang-ganjing. Mengejar waktu.
Pak Budi
membina seratus orang di sini. Tanah mereka yang selama ini banyak menganggur
ditanami buah naga. Pertamina menjadi pemberi modalnya.
Pak Budi
yang pensiunan perwira TNI-AL itu memilih membina petani miskin dengan
tanaman yang memiliki nilai tambah tinggi: buah tropik. Di Wonokerto dengan
buah naga. Di Boyolali dengan buah durian. Di lain tempat dengan buah
kelengkeng.
Bertani
buah tropik tidak akan punya musuh. Kecuali harga pasar. Pak Budi tidak mau
membina petani padi atau pertanian bahan baku industri. Petani padi akan
selalu menghadapi tekanan pemerintah
Petani
bahan baku industri akan selalu mendapat tekanan dari kalangan pabrik.
"Kalau bertani buah, tidak diatur oleh
pemerintah maupun kapitalis industri," katanya.
"Petani padi tidak akan bisa kaya karena
harganya pasti ditekan pemerintah. Petani bahan baku tidak akan bisa kaya
karena harganya ditekan oleh industri," tambah
Pak Budi.
Di
Wonokerto, Pak Budi membangun embung 20 x 40 meter dengan dasar membran. Desa
itu memang kering pada musim kemarau. Embung itu digunakan untuk menampung
air hujan selama rendheng. Air di
embung itu akan cukup dipakai selama lima bulan pada musim kemarau. Khusus
untuk mengairi dengan hemat kebun-kebun buah naga milik petani.
Di
setiap desa binaan Budi Dharmawan, selalu diutamakan pembangunan embung.
Itulah cara nyata untuk membantu petani pedesaan yang gersang, yang biasanya
mudah jatuh ke kemiskinan. Air hujan biasanya dibiarkan terbuang menjadi
bencana. Pak Budi menjadikannya deposito berjangka.
Kini
sudah 12 desa yang dibina Pak Budi. Semuanya berhasil dengan kadar yang
berbeda. Tapi, dia belum puas. Kualitas praktik pertanian desa binaan
tersebut baru bernilai 7. Umumnya, itu terjadi karena petani belum terbiasa
mempraktikkan sistem pertanian modern. Tingkat disiplin mereka juga masih rendah.
Pak Budi ingin pada akhirnya mereka bisa meraih nilai 9 seperti kualitas
kebun miliknya sendiri.
Pak Budi
memang memiliki kebun buah. Dia pernah bekerja sama dengan pemodal besar tapi
mengecewakan. Pengusaha besar sulit untuk diajak membina usaha kecil. Pak
Budi memilih berjuang dengan caranya sendiri. Membina petani miskin secara
langsung. Memang dirasa cara itu lambat untuk menjangkau kemiskinan yang
begitu luas. Tapi, dia memilih menghidupkan satu per satu desa miskin
daripada hanya bicara terus, namun tidak kunjung berbuat.
"Sambil menunggu, siapa tahu kelak ada
presiden yang meng-copy cara ini dengan cepat dan masif," kata adik kandung ekonom Kwik Kian Gie itu.
Saya
harus mengaku kalah cepat oleh Pak Budi. Ketika tahun lalu BUMN dan IPB sepakat
mengembangkan buah tropik, saya pikir kamilah yang pertama melangkahkan kaki
untuk buah tropik. Ternyata Pak Budi sudah lebih dulu meski skalanya kecil.
Tentu juga masih ada orang-orang seperti Pak Budi di tempat-tempat lain.
Pak
Masngut di Blitar juga tua-tua keladi. Di umurnya yang sudah 72 tahun, dia
juga getol mempromosikan peternakan dan pertanian
terpadu. Minggu kemarin saya tidur di rumah manajer Pak Masngut untuk
menyelami apa yang terjadi secara detail. Suara embikan kambing di kandang
sebelah tempat tidur membuat ingatan saya kembali ke masa remaja di desa.
Pak
Masngut memelihara ayam ratusan ribu ekor. Di sampingnya, dibangun kolam ikan
lele dan patin. Hematnya bukan main. Untuk lele itu, dia hanya beli 30 persen
makanan yang diperlukan. Yang 70 persen datang dari kandang ayam itu.
Ada tiga
jenis makanan lele yang dihasilkan kandang ayam: kotoran ayam, bangkai ayam,
dan ceremende. Dari ratusan ribu ayam di kandang, 2 persennya mati oleh
berbagai sebab. Ayam-ayam mati itu langsung dibakar. Ayam bakar itulah yang
dilempar ke kolam lele.
"Kalau
tidak dibakar, lelenya tidak mau makan," ujar Pak Masngut. Lele ternyata
sangat suka ayam bakar.
Kandang
ayam juga menghasilkan ceremende: kecoak-kecoak kecil. Mula-mula ceremende
itu dianggap sebagai pengganggu kandang ayam. Suatu saat Masngut menyapu
kandang. Ceremendenya berlarian cari selamat. Sebagian terjatuh ke kolam
lele. Masngut melihat ceremende itu segera dimakan lele.
Sejak
saat itulah, Masngut berkesimpulan bahwa ceremende sangat baik untuk makanan
lele. Maka, ceremende yang muncul dari kotoran ayam justru dia kembangkan.
Caranya: berikan akomodasi yang disenangi ceremende. Yakni, tumpukan karton
telur ayam. Di beberapa lokasi di kandang itu, dia geletakkan lima karton
tempat telur. Dalam beberapa hari, lima karton tempat telur tersebut sudah
penuh dengan ratusan ekor ceremende.
"Setiap
hari kandang ini menghasilkan ceremende dua kuintal," kata Pak Masngut.
Baik ayam bakar maupun ceremende pastilah mengandung protein yang tinggi untuk
lele. Masngut berkesimpulan, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, tidak
bisa lagi kalau tidak integrated farming.
Banyak
sekali pelajaran yang saya peroleh dari Pak Masngut yang tidak lulus
universitas itu. Mulai dari ayam, bebek, lele, patin, sapi perah, sampai
burung hantu dan sawit.
Pak Masngut dan Pak Budi adalah
ayat-ayat Tuhan yang hadir nyata di dunia. Dan di dalam masyarakat kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar