Jumat, 18 April 2014

Capres Pasca Quick Count

Capres Pasca Quick Count

Wayu Eko Yudiatmaja  ;   Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP
Universitas Maritim Raja Ali Haji
HALUAN, 17 April 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                             
Pemilu legislatif (DPR, DPRD, DPD) 2014 telah usai. Beberapa lembaga survei telah mengeluarkan rilis hasil hitung cepat (quick count). Menarik mencermati hasil Pemilu ini, terutama kaitannya dengan peluang beberapa calon presiden (Capres) yang akan bertarung pada Pemilu Presiden 2014.

Sebagaimana diketahui bersama, beberapa partai politik (Parpol) sudah mempersiapkan Capresnya ma­sing-masing. Seperti PDI-P sudah mencalonkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai  Capres. Begitu juga Partai Golkar telah mempersiapkan Abu Rizal Bakrie (ARB), Prabowo Subianto dicalonkan oleh Gerindra, dan Hanura mencalonkan Wiranto-Hary Tano Soedibjo sebagai Capres-Cawapres, serta Nasdem yang mencalonkan Surya Paloh. Hanya Partai Demo­krat yang belum me­nen­­tukan Capresnya karena proses konvensi di partai biru ini belum selesai. Pertanyaannya, bagaimana peluangnya? Apa strategi yang harus dilakukan oleh masing-masing kandidat agar dapat memenangkan Pemilu presiden? Tulisan singkat ini berusaha menyoroti masalah-masalah tersebut.

Koalisi Pragmatis

Apabila hasil quick count lembaga survei sama dengan hasil perhitungan resmi KPU, maka bisa dipastikan tidak ada satu pun partai politik yang dapat mengajukan Capres tanpa berkoa­lisi dengan partai lain. Hal ini disebabkan adanya aturan tentang pre­sidential treshold seba­gaimana diatur dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, yang mensya­ratkan perolehan kursi paling sedikit 20% bagi parpol jika ingin mencalonkan Capresnya. Jika memang harus berkoalisi, lalu ba­gai­mana pola koali­sisnya?

Seharusnya koalisi didasar­kan atas ideologi dan platform Parpol.  Secara umum ideologi dapat diterjemahkan sebagai cita-cita dan nilai dasar yang dipegang dan diperjuangkan oleh Parpol. Sebagaimana yang dikonstatasikan oleh Gaus (2000: 33) ideologi adalah “comprehensive systems of ideas that provide the basis for explanation and criticism of political life”.  Namun, melihat konfigurasi ideologis dan egosentrisme Parpol di Indonesia serta dikaitan dengan Capres masing-masing Parpol, hampir tidak mungkin koalisi ideologis dapat ter­bangun pada Pemilu Presiden 2014 karena setiap Parpol sudah memiliki Capres masing-masing. Dari sisi ideologi, PDI-P yang nasionalis memi­liki kesamaan platform dengan Gerindra dan Hanura, Golkar memiliki kedekatan ideologi dengan Demokrat, PAN dan Nasdem, sedangkan partai Islam punya lingkaran sendiri (PKB-PKS-PPP-PBB).

Melihat konstelasi politik Indonesia hari ini, partai Islam menjadi primadona dan rebutan partai lain. Haluan politik dan arah koalisi partai Islam sangat menentukan konfigurasi Pemilu Presiden 2014. Partai Islam dapat berkoalisi membangun poros tengah untuk mengimbangi PDI-P, Golkar, Gerindra dan Hanura. Partai Islam bisa bersatu dan secara bersama-sama mengajukan Capres dan Cawapresnya. Namun, koalisi antarpartai Islam sulit ter­bentuk karena dua alasan, yaitu faktor historis dan egosentris. Secara historis, hubungan antarpartai Islam di Indonesia termasuk tidak solid dan terbagi ke dalam berbagai faksi. Akibatnya, dari Pemilu ke Pemilu, partai Islam tidak pernah keluar sebagai pemenang. Pada Pemilu 2014 ini, tercatat ada empat partai yang berideologi Islam, yaitu PKB, PPP, PKS, PBB Ke­mudian, kuatnya ego masing-masing partai Islam untuk mengusung Capres masing-masing, membuat koalisi antarpartai Islam pada Pemilu Presiden 2014 semakin sulit diwujudkan. Setiap partai Islam menginginkan kursi RI 1 atau presiden, tidak ada yang mau menjadi nomor 2. Kecuali itu, jika ada beberapa partai Islam yang mengalah, bersedia menjadi Cawapres atau sama sekali tidak mengusulkan Cawapres, koalisi antarpartai Islam mungkin bisa menjadi kenyataan. Apabila ini terjadi, tentu hal ini akan menjadi mimpi buruk bagi Golkar, Gerindra dan Hanura.

Langkah yang paling realistis adalah membangun koalisi pragmatis untuk jangka pendek. Parpol yang sudah memiliki Capres dapat meng­gandeng parpol lain, untuk memenuhi presidential treshold 20% dan secara bersama-sama mengajukan Capres dan Cawapres, tentu saja dengan beberapa konsesi seperti Cawapresnya berasal dari mitra koalisi atau kursi menteri di kabinet. Peluang terbesar dimiliki oleh PDI-P karena dengan perolehan 19% suara di parlemen, praktis PDI-P hanya perlu mencari 1 mitra koalisi untuk meme­nuhi presidential tres­hold. PDI-P dapat berkoalisi dengan salah satu partai Islam untuk mengusung Jokowi sebagai Capres. Peluang Golkar juga lumayan mudah, meskipun tidak semudah PDI-P. Dengan modal 14% suara yang di­kantonginya, Golkar dapat berkoalisi minimal dengan 2 parpol lain guna mengusung ARB sebagai presiden. Se­dangkan, Gerindra punya bargaining position yang lebih tinggi dalam berkoalisi dengan partai lain karena memperoleh 11% suara di parlemen.

Posisi Demokrat, Nasdem, Hanura dan partai-partai Islam relatif lebih sulit karena hanya memperoleh suara di kisaran 6-7%. Hanya PKB yang memperoleh suara 10%. Melihat peta kekuatan masing-masing partai, langkah yang paling realistis adalah me­ngurungkan niat mereka untuk mengusung Capresnya sendiri, sembari berkoalisi dengan partai lain.

Faktor Ketokohan

Faktor penting dalam pemilu presiden di Indonesia adalah figur (ketokohan) Capres dan Cawapres. Koalisi akan menjadi sia-sia apabila Capres dan Cawapres yang diusung oleh gabungan (koalisi) parpol tersebut bukanlah figur yang kuat dan populer di tengah-tengah masyarakat. Meskipun suatu partai berhasil meme­nangkan Pemilu legis­latif, tidak menjadi jaminan bahwa capres yang diusung oleh partai tersebut juga memenangkan Pemilu presiden karena tipologi pemilih (voters) di Indonesia bukanlah pemilih loyal. Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, Partai Golkar keluar sebagai pemenang dengan perolehan 21,58% suara. Tetapi pasangan Capres-Cawapres (Wiranto-Salahudin Wahid) gagal terpilih sebagai presiden dan wakil presiden karena kalah dari SBY-JK yang diusung oleh Partai Demokrat dan gabungan beberapa parpol.

Bicara tentang figur, tidak bisa dipungkiri saat ini Jokowi (PDI-P) dan Prabowo (Ge­rindra) meru­pakan dua nama yang melesat sebagai pemilik elektabilitas tertinggi ber­dasarkan hasil survei be­berapa lembaga survei. Kemudian, diikuti oleh ARB (Golkar), Surya Paloh (Nasdem), Wiran­to (Hanura), dan Rhoma Irama (PKB). Namun, satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah siapa Cawapresnya? Bagai­mana figurnya? Meski­pun elektabilitas Jokowi termasuk paling tinggi dianta­ra Capres yang lain, akan tetapi jika Cawapresnya bukanlah figur yang punya selling point tinggi dari sisi ketokohan, tentu ini akan menjadi preseden buruk bagi PDI-P. Oleh karena itu, salah satu strategi yang bisa diterapkan oleh kandidat Capres lain untuk mengalah­kan Jokowi adalah dengan mencari, menemukan dan memilih Cawapres yang memiliki magnet politik luar biasa.

Budaya politik Indonesia yang masih cenderung paro­kialis, masih memandang ketokohan sebagai basis kepemimpinan politik. Dalam konteks Indonesia, ketokohan di sini bermakna ganda (dualis). Artinya, ketokohan yang dimaksud tidak hanya keto­kohan dalam arti personality, tetapi juga representasi. Representasi dapat terbentuk berdasarkan ideologi, wilayah, agama dan etnis. Dari segi personality Jokowi dan Pra­bowo memang sangat populer karena berhasil menjadi media darling, tetapi belum rep­resentatif. Jokowi dan Prabowo belum mampu merepresentasi­kan luar jawa, non-Islam, wilayah Indonesia tengah dan timur. Dengan demikian, untuk menutupi keku­rangan­nya Jokowi dan Pra­bowo harus memilih Cawapres, yang figurnya dapat mere­presentasikan atau paling tidak bisa diterima oleh masyarakat di luar jawa, non-Islam dan wilayah Indonesia tengah dan timur. Hal yang sama juga berlaku sama bagi kandidat lain.

Peluang kandidat lain relatif lebih sulit karena selain harus berjuang membangun personality, di sisi lain mereka juga dihadapkan pada rendah­nya perolehan suara di par­lemen, persoalan menen­tukan Cawapres yang memiliki personality yang kuat dan representatif. Peluang yang relatif lebih terbuka dimiliki oleh Wiranto-Hary Tanoe Soedibjo karena sudah meme­nuhi unsur personality dan representasi. Meskipun dari sisi personality masih di bawah Jokowi dan Prabowo, Wiranto dan Hary Tanoe Soedibjo adalah pasangan yang komplit dan saling melengkapi. Akan tetapi, langkah mereka tergan­jal presidential treshold karena Hanura hanya memperoleh 5% suara. 

Namun, sesungguh­nya semuanya kembali lagi kepada lobi dan negosiasi setiap Parpol. Semoga lobi-lobi dan negosiasinya dilandasi atas kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan sempit kelompok, golongan dan partai. Bagaimana endingnya, kemana pendulum ini akan bergerak, kita tunggu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar