Capres
Pasca Quick Count
Wayu Eko Yudiatmaja ; Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP
Universitas
Maritim Raja Ali Haji
|
HALUAN,
17 April 2014
Pemilu legislatif (DPR, DPRD,
DPD) 2014 telah usai. Beberapa lembaga survei telah mengeluarkan rilis hasil
hitung cepat (quick count). Menarik
mencermati hasil Pemilu ini, terutama kaitannya dengan peluang beberapa calon
presiden (Capres) yang akan bertarung pada Pemilu Presiden 2014.
Sebagaimana diketahui
bersama, beberapa partai politik (Parpol) sudah mempersiapkan Capresnya masing-masing.
Seperti PDI-P sudah mencalonkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Capres.
Begitu juga Partai Golkar telah mempersiapkan Abu Rizal Bakrie (ARB), Prabowo
Subianto dicalonkan oleh Gerindra, dan Hanura mencalonkan Wiranto-Hary Tano
Soedibjo sebagai Capres-Cawapres, serta Nasdem yang mencalonkan Surya Paloh.
Hanya Partai Demokrat yang belum menentukan Capresnya karena proses
konvensi di partai biru ini belum selesai. Pertanyaannya, bagaimana
peluangnya? Apa strategi yang harus dilakukan oleh masing-masing kandidat
agar dapat memenangkan Pemilu presiden? Tulisan singkat ini berusaha
menyoroti masalah-masalah tersebut.
Koalisi Pragmatis
Apabila hasil quick count
lembaga survei sama dengan hasil perhitungan resmi KPU, maka bisa dipastikan
tidak ada satu pun partai politik yang dapat mengajukan Capres tanpa berkoalisi
dengan partai lain. Hal ini disebabkan adanya aturan tentang presidential treshold sebagaimana diatur
dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, yang mensyaratkan
perolehan kursi paling sedikit 20% bagi parpol jika ingin mencalonkan
Capresnya. Jika memang harus berkoalisi, lalu bagaimana pola koalisisnya?
Seharusnya koalisi didasarkan
atas ideologi dan platform Parpol. Secara umum ideologi dapat
diterjemahkan sebagai cita-cita dan nilai dasar yang dipegang dan
diperjuangkan oleh Parpol. Sebagaimana yang dikonstatasikan oleh Gaus (2000:
33) ideologi adalah “comprehensive
systems of ideas that provide the basis for explanation and criticism of
political life”. Namun, melihat konfigurasi ideologis dan
egosentrisme Parpol di Indonesia serta dikaitan dengan Capres masing-masing
Parpol, hampir tidak mungkin koalisi ideologis dapat terbangun pada Pemilu
Presiden 2014 karena setiap Parpol sudah memiliki Capres masing-masing. Dari
sisi ideologi, PDI-P yang nasionalis memiliki kesamaan platform dengan
Gerindra dan Hanura, Golkar memiliki kedekatan ideologi dengan Demokrat, PAN
dan Nasdem, sedangkan partai Islam punya lingkaran sendiri (PKB-PKS-PPP-PBB).
Melihat konstelasi politik
Indonesia hari ini, partai Islam menjadi primadona dan rebutan partai lain.
Haluan politik dan arah koalisi partai Islam sangat menentukan konfigurasi
Pemilu Presiden 2014. Partai Islam dapat berkoalisi membangun poros tengah
untuk mengimbangi PDI-P, Golkar, Gerindra dan Hanura. Partai Islam bisa
bersatu dan secara bersama-sama mengajukan Capres dan Cawapresnya. Namun,
koalisi antarpartai Islam sulit terbentuk karena dua alasan, yaitu faktor
historis dan egosentris. Secara historis, hubungan antarpartai Islam di
Indonesia termasuk tidak solid dan terbagi ke dalam berbagai faksi.
Akibatnya, dari Pemilu ke Pemilu, partai Islam tidak pernah keluar sebagai
pemenang. Pada Pemilu 2014 ini, tercatat ada empat partai yang berideologi
Islam, yaitu PKB, PPP, PKS, PBB Kemudian, kuatnya ego masing-masing partai
Islam untuk mengusung Capres masing-masing, membuat koalisi antarpartai Islam
pada Pemilu Presiden 2014 semakin sulit diwujudkan. Setiap partai Islam
menginginkan kursi RI 1 atau presiden, tidak ada yang mau menjadi nomor 2.
Kecuali itu, jika ada beberapa partai Islam yang mengalah, bersedia menjadi
Cawapres atau sama sekali tidak mengusulkan Cawapres, koalisi antarpartai
Islam mungkin bisa menjadi kenyataan. Apabila ini terjadi, tentu hal ini akan
menjadi mimpi buruk bagi Golkar, Gerindra dan Hanura.
Langkah yang paling
realistis adalah membangun koalisi pragmatis untuk jangka pendek. Parpol yang
sudah memiliki Capres dapat menggandeng parpol lain, untuk memenuhi
presidential treshold 20% dan secara bersama-sama mengajukan Capres dan
Cawapres, tentu saja dengan beberapa konsesi seperti Cawapresnya berasal dari
mitra koalisi atau kursi menteri di kabinet. Peluang terbesar dimiliki oleh
PDI-P karena dengan perolehan 19% suara di parlemen, praktis PDI-P hanya
perlu mencari 1 mitra koalisi untuk memenuhi presidential treshold. PDI-P
dapat berkoalisi dengan salah satu partai Islam untuk mengusung Jokowi
sebagai Capres. Peluang Golkar juga lumayan mudah, meskipun tidak semudah
PDI-P. Dengan modal 14% suara yang dikantonginya, Golkar dapat berkoalisi
minimal dengan 2 parpol lain guna mengusung ARB sebagai presiden. Sedangkan,
Gerindra punya bargaining position yang lebih tinggi dalam berkoalisi dengan
partai lain karena memperoleh 11% suara di parlemen.
Posisi Demokrat, Nasdem,
Hanura dan partai-partai Islam relatif lebih sulit karena hanya memperoleh
suara di kisaran 6-7%. Hanya PKB yang memperoleh suara 10%. Melihat peta
kekuatan masing-masing partai, langkah yang paling realistis adalah mengurungkan
niat mereka untuk mengusung Capresnya sendiri, sembari berkoalisi dengan
partai lain.
Faktor Ketokohan
Faktor penting dalam
pemilu presiden di Indonesia adalah figur (ketokohan) Capres dan Cawapres.
Koalisi akan menjadi sia-sia apabila Capres dan Cawapres yang diusung oleh
gabungan (koalisi) parpol tersebut bukanlah figur yang kuat dan populer di
tengah-tengah masyarakat. Meskipun suatu partai berhasil memenangkan Pemilu
legislatif, tidak menjadi jaminan bahwa capres yang diusung oleh partai
tersebut juga memenangkan Pemilu presiden karena tipologi pemilih (voters) di Indonesia bukanlah pemilih
loyal. Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, Partai Golkar keluar sebagai
pemenang dengan perolehan 21,58% suara. Tetapi pasangan Capres-Cawapres
(Wiranto-Salahudin Wahid) gagal terpilih sebagai presiden dan wakil presiden
karena kalah dari SBY-JK yang diusung oleh Partai Demokrat dan gabungan
beberapa parpol.
Bicara tentang figur,
tidak bisa dipungkiri saat ini Jokowi (PDI-P) dan Prabowo (Gerindra) merupakan
dua nama yang melesat sebagai pemilik elektabilitas tertinggi berdasarkan
hasil survei beberapa lembaga survei. Kemudian, diikuti oleh ARB (Golkar),
Surya Paloh (Nasdem), Wiranto (Hanura), dan Rhoma Irama (PKB). Namun, satu
hal yang tidak bisa dilupakan adalah siapa Cawapresnya? Bagaimana figurnya?
Meskipun elektabilitas Jokowi termasuk paling tinggi diantara Capres yang
lain, akan tetapi jika Cawapresnya bukanlah figur yang punya selling point
tinggi dari sisi ketokohan, tentu ini akan menjadi preseden buruk bagi PDI-P.
Oleh karena itu, salah satu strategi yang bisa diterapkan oleh kandidat
Capres lain untuk mengalahkan Jokowi adalah dengan mencari, menemukan dan memilih
Cawapres yang memiliki magnet politik luar biasa.
Budaya politik Indonesia
yang masih cenderung parokialis, masih memandang ketokohan sebagai basis
kepemimpinan politik. Dalam konteks Indonesia, ketokohan di sini bermakna
ganda (dualis). Artinya, ketokohan yang dimaksud tidak hanya ketokohan dalam
arti personality, tetapi juga representasi. Representasi dapat terbentuk
berdasarkan ideologi, wilayah, agama dan etnis. Dari segi personality Jokowi
dan Prabowo memang sangat populer karena berhasil menjadi media darling,
tetapi belum representatif. Jokowi dan Prabowo belum mampu merepresentasikan
luar jawa, non-Islam, wilayah Indonesia tengah dan timur. Dengan demikian,
untuk menutupi kekurangannya Jokowi dan Prabowo harus memilih Cawapres,
yang figurnya dapat merepresentasikan atau paling tidak bisa diterima oleh
masyarakat di luar jawa, non-Islam dan wilayah Indonesia tengah dan timur.
Hal yang sama juga berlaku sama bagi kandidat lain.
Peluang kandidat lain
relatif lebih sulit karena selain harus berjuang membangun personality, di
sisi lain mereka juga dihadapkan pada rendahnya perolehan suara di parlemen,
persoalan menentukan Cawapres yang memiliki personality yang kuat dan representatif. Peluang yang relatif
lebih terbuka dimiliki oleh Wiranto-Hary Tanoe Soedibjo karena sudah memenuhi
unsur personality dan representasi.
Meskipun dari sisi personality masih di bawah Jokowi dan Prabowo, Wiranto dan
Hary Tanoe Soedibjo adalah pasangan yang komplit dan saling melengkapi. Akan
tetapi, langkah mereka terganjal presidential
treshold karena Hanura hanya memperoleh 5% suara.
Namun, sesungguhnya
semuanya kembali lagi kepada lobi dan negosiasi setiap Parpol. Semoga
lobi-lobi dan negosiasinya dilandasi atas kepentingan rakyat banyak, bukan
kepentingan sempit kelompok, golongan dan partai. Bagaimana endingnya, kemana
pendulum ini akan bergerak, kita tunggu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar