Minggu, 06 April 2014

“Bulan Madu” Politik

“Bulan Madu” Politik

Ikhsan Darmawan  ;   Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
SINAR HARAPAN, 05 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Beberapa tahun lalu, putusnya jembatan di salah satu daerah di Banten yang menyebabkan anak-anak yang ingin bersekolah harus bergelantungan di jembatan tali yang sangat berbahaya, menjadi pemberitaan hangat di media massa nasional. Bahkan, foto tentang berita tersebut akhirnya menjadi berita di sejumlah media massa internasional.

Di salah satu film dokumenter peserta Eagle Awards tahun lalu yang berjudul Jembatan Harapan, juga menceritakan warga di sebuah daerah di Banten selama berpuluh tahun hidup dengan kondisi jalan tanah yang licin dan mengharapkan datangnya bantuan untuk membangun jalan sekaligus jembatan. Namun yang tragis, ternyata bantuan datang justru dari orang Malaysia dan Singapura yang peduli terhadap kondisi masyarakat di dekat Taman Nasional Ujung Kulon itu.

Sungguh ironis memang. Pertanyaan mendasarnya, di mana pemerintah dan wakil rakyat baik lokal maupun nasional untuk daerah tersebut? Apakah tidak ada? Tentu saja secara de facto ada. Namun berkaca dari dua kasus di atas, dapat dikatakan kontribusi mereka untuk masyarakat di dua wilayah itu yang tidak ada.

Dalam studi ilmu politik, perihal di atas dapat dilihat dari kacamata hubungan antara wakil dan konstituennya. Bertautan dengan hal tersebut, saat ini sampai 5 April 2014 adalah masa kampanye pengerahan massa dan rapat umum untuk pemilihan legislatif (pileg).

Riuh rendah antusiasme peserta kampanye dan partai politik (parpol) terlihat di mana-mana. Sebelumnya, spanduk, baliho, serta stiker besar menghiasi tidak hanya jalanan, tetapi juga kendaraan umum, seperti angkutan kota dan bus.

Apa tujuan dari caleg dan parpol melakukan kampanye? Pertama, hal itu karena mereka menjalankan fungsi sosialisasi politik. Sosialisasi politik yang ideal adalah tak hanya sosialisasi figur, tetapi juga program kerja yang akan dilaksanakan setelah mereka memperoleh kursi di parlemen. Kedua, mereka juga berharap untuk dipilih oleh pemilih saat 9 April 2014.

Dalam kaitannya dengan hal itu, Ching-Hsing Wang (2013) dalam makalahnya “Why do people vote? Rationality or emotion” menyebutkan, setidaknya ada dua faktor yang mendorong seseorang hadir ke TPS dan menggunakan hak pilihnya, yaitu emosi atau rasionalitas.

Faktor emosi bertalian dengan pengalaman masa lalu dan mekanisme evaluatif karena emosi memudahkan gejala sekarang dievaluasi dengan cepat. Sementara itu, faktor rasionalitas berurusan dengan keuntungan menggunakan hak pilih disebabkan partisipasi politik mendukung terbentuknya pemerintahan demokratis. Namun yang paling baik dari keduanya adalah faktor rasional. Faktor rasional menjembatani tiga hal, yakni pemilih, caleg, dan kebijakan.

Menurut Anthony Downs (1957) dalam tulisannya An Economic Theory of Democracy, pemilih rasional membuat keputusan akan pilihan dalam pemilu didasarkan statement dalam kampanye dari parpol yang berkompetisi dan kemudian memilih parpol yang statement-nya paling dekat dengan pilihan kebijakan para pemilih tersebut. Selain itu, pemilih rasional harus membuat prediksi perilaku dari parpol.

Masih menurut Downs, sebuah parpol yang statement kebijakannya pada awal pemilu baik, masuk akal, serta dapat diejawantahkan selama masa periode mereka memegang jabatan di sebuah lembaga politik, dapat disebut partai itu memiliki integritas. Integritas berharga untuk parpol.

Itu karena dapat meningkatkan kemungkinan pemilih bisa membuat prediksi, yang reliable akan perilaku partai didasarkan statement saat kampanye dan juga menyediakan insentif yang kuat untuk me-maintain konsistensi dari waktu ke waktu, terutama jika parpol-parpol itu berharap akan sukses.

Dalam relasi wakil dan konstituen yang paling ideal, seorang wakil yang baik tak hanya mendatangi konstituennya saat kampanye berlangsung, tetapi juga setelah terpilih. Mereka akan mempertahankan hubungan yang baik dengan konstituennya agar terpilih lagi. Dihubungkan dengan voting, ada konsep yang dikenal dengan nama retrospective voting (Fiorina, 1976).

Artinya, pemilih akan memilih atas dasar penilaian terhadap apa yang sudah dilakukan calon anggota legislatif (caleg) dan parpol. Apabila caleg dan parpol dinilai berhasil, akan “dihadiahi” dengan dipilih kembali dalam pemilu berikutnya. Sebaliknya, apabila dinilai gagal, mereka akan “dihukum” dengan tidak dipilih lagi dalam pemilu selanjutnya.

Oleh karena itu, menjadi pemilih yang rasional adalah pilihan yang paling menguntungkan untuk pemilih. Hal ini karena akan mendorong parpol dan caleg untuk tidak asal-asalan.

Di saat yang bersamaan, mereka bersungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi dan kepentingan konstituennya. Apalagi kalau rasionalitas itu mengesampingkan faktor-faktor yang tidak mendidik, seperti politik uang. Hal itu dapat makin mendorong caleg guna berusaha semaksimal mungkin aspiratif untuk terwakilnya dan juga “memaksa” parpol untuk menjadi institusi yang modern.

Sebagai penutup, jangan sampai kampanye pileg saat ini hanya bermakna “bulan madu” politik antara rakyat, caleg, dan parpol. Lebih dari itu, kampanye harus menjadi salah satu medium untuk calon pemilih menentukan siapa caleg dan parpol yang akan memimpin mereka lima tahun ke depan dan janji program apa yang ditagih pemilih pascapara caleg itu duduk di Senayan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar