Bijak
Mencoblos agar Tak Terjeblos
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III
DPR,
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
|
SUARA
MERDEKA, 08 April 2014
“Jangan ulangi salah
memilih bila ingin membangun hari esok yang lebih baik. Bijak mencoblos agar
tak terjeblos.”
KETIKA rakyat memilih anggota legislatif, dan juga nantinya
presiden-wakil presiden, yang mereka cari sesungguhnya adalah sosok pelayan
atau abdi: figur yang hanya fokus melayani negara dan rakyat. Sesederhana
itu. Artinya bila dalam 5 atau 10 tahun terakhir ini rakyat merasa tidak
terlayani sebagaimana seharusnya, berarti telah terjadi salah pilih.
Periode kampanye partai politik (parpol) menyongsong pemilihan
anggota DPR/DPRD/DPD 2014 sebenarnya menjadi ajakan tak langsung kepada semua
warga negara pemegang hak pilih untuk intropeksi atau melakukan perenungan.
Pasalnya, lazimnya di arena kampanye, ada tudingan tentang kegagalan yang
akan dibalas dengan klaim keberhasilan.
Kekuatan politik yang berambisi memenangi pileg akan mengungkap
sejumlah kegagalan dari partai yang sedang berkuasa. Sebaliknya, partai yang
memegang tampuk kekuasaan akan mengklaim dan menunjuk semua cerita sukses
mereka. Bila ada pertanyaan mana yang benar, jawabannya bergantung pada hasil
perenungan tiap warga.
Karena itulah sangat beralasan untuk menjadikan periode kampanye
parpol baru-baru ini sebagai introspeksi bagi warga negara yang telah
menggunakan hak pilihnya 5 tahun lalu. Apakah pilihan pada 2009 itu sudah
benar atau salah? Apakah hak pilih itu digunakan dengan cerdas dan bijak,
atau asal-asalan karena terbuai angin surga dan iming-iming sesuatu?
Bijak dan cerdas menggunakan hak pilih bisa dimulai dengan
menimbang beberapa aspek paling mendasar, seperti ketercukupan pangan,
sandang dan papan, jaminan kesehatan dan pendidikan, ketersediaan lapangan
kerja dan kemerataan pembangunan infrastruktur. Setelah itu, simak yang
dikerjakan partai yang memegang kendali pemerintahan dalam 5-10 tahun terakhir.
Selama kampanye, sebuah surat kabar terkemuka di Ibu Kota
menyajikan beberapa tema laporan utama yang secara tak langsung mengingatkan
pemilih jangan lagi ceroboh menggunakan hak politiknya. Tema laporan itu
antara lain makin lebarnya kesenjangan pendapatan, dan ekses kebijakan
ekonomi yang mengabaikan potensi sektor pertanian sebagai basis pembangunan.
Di Yogyakarta, sejumlah
orang yang tergabung dalam organisasi Makaryo (Masyarakat Anti Kekerasan
Yogyakarta), berunjuk rasa mengritik rezim pemerintahan sekarang yang gagal
menuntaskan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Yogyakarta beberapa waktu
terakhir.
Sebagai isu, dua tema yang disajikan surat kabar itu tidaklah
baru. Tema itu masih mengkritisi buruknya kualitas pertumbuhan ekonomi dan
membesarnya ketergantungan pada bahan pangan impor. Namun, mengedepankan dua
isu ini sangatlah penting dan strategis. Warga pemegang hak pilih bisa
menggunakan dua isu ini sebagai dasar mempertimbangkan pilihan.
Andai pemerintah mengklaim berhasil mengurangi jumlah warga
miskin, dua tema yang disajikan surat kabar itu otomatis mementahkannya.
Program BLT misalnya, tidak menyelesaikan masalah. Program itu justru
menambah masalah baru karena dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Program raskin (beras untuk warga miskin)
pun terindikasi bermasalah karena ada
peran kartel.
Tentang kemajuan pembangunan infrastruktur, potret saja problem
ruas jalan di pantura Jawa. Ruas jalan itu selalu rusak parah, dan kasus yang
sama pasti banyak dijumpai di pelosok daerah lain. Paling mencemaskan adalah
salah kelola komoditas kebutuhan pokok rakyat, yaitu kecenderungan
membesarnya ketergantungan bahan pangan impor.
Padahal, 10 tahun lalu, rakyat mencatat janji Presiden SBY
merevitalisasi sektor pertanian. Namun realitasnya Indonesia yang agraris
kini masih harus mengimpor belasan komoditas pangan untuk kebutuhan dalam
negeri. Dalam perkembangannya, impor komoditas pangan ditunggangi oknum
penguasa dan birokrat untuk berburu rente.
Defisit Stok
Negara kita tiap tahun mengalami defisit stok sejumlah komoditas
pangan, termasuk beras. Menurut BPS,
Indonesia masih mengimpor kentang, singkong, garam, daging ayam, gula pasir,
tepung terigu, biji gandum dan meslin, kedelai, jagung dan beras. Membesarnya
ketergantungan itu membuktikan pemerintah tidak militan meningkatkan produksi
dalam negeri.
Rendahnya militansi itu memberi akses bagi kemunculan kartel.
Kasus suap impor daging sapi adalah lakon kartel. Publik juga masih ingat
beberapa kali heboh di pasar dalam negeri karena kelangkaan sejumlah
komoditas, seperti kedelai, cabai dan bawang putih. Itu semua ulah kartel.
Pada Februari 2013, Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyatakan ada
indikasi kartel pangan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga punya
indikasi peran kartel dalam pengadaan kedelai dan bawang putih. Bahkan, KPPU
menilai Kementerian Perdagangan berperan signifikan dalam kasus lonjakan
harga kedelai. Yang mengendalikan kartel bahan pangan bisa dipastikan bukan
komisaris atau direksi perseroan yang ditunjuk sebagai pelaksana impor.
Pengendali kartel adalah figur tertentu yang pasti sangat dekat dengan pusat
kekuasaan.
Karakter pemerintahan seperti itu adalah produk pileg dan
pilpres periode lalu. Kemungkinan warga pemilih kurang peduli sehingga
ceroboh menggunakan hak politik mereka pada 2009. Karena itu, jangan ulangi
salah pilih bila ingin membangun hari esok yang lebih baik. Sebaiknya bijak
mencoblos supaya tidak terjeblos.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar