Rabu, 09 April 2014

Bijak Mencoblos agar Tak Terjeblos

Bijak Mencoblos agar Tak Terjeblos

Bambang Soesatyo  ;   Anggota Komisi III DPR,
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
SUARA MERDEKA, 08 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
“Jangan ulangi salah memilih bila ingin membangun hari esok yang lebih baik. Bijak mencoblos agar tak terjeblos.”

KETIKA rakyat memilih anggota legislatif, dan juga nantinya presiden-wakil presiden, yang mereka cari sesungguhnya adalah sosok pelayan atau abdi: figur yang hanya fokus melayani negara dan rakyat. Sesederhana itu. Artinya bila dalam 5 atau 10 tahun terakhir ini rakyat merasa tidak terlayani sebagaimana seharusnya, berarti telah terjadi salah pilih.

Periode kampanye partai politik (parpol) menyongsong pemilihan anggota DPR/DPRD/DPD 2014 sebenarnya menjadi ajakan tak langsung kepada semua warga negara pemegang hak pilih untuk intropeksi atau melakukan perenungan. Pasalnya, lazimnya di arena kampanye, ada tudingan tentang kegagalan yang akan dibalas dengan klaim keberhasilan.

Kekuatan politik yang berambisi memenangi pileg akan mengungkap sejumlah kegagalan dari partai yang sedang berkuasa. Sebaliknya, partai yang memegang tampuk kekuasaan akan mengklaim dan menunjuk semua cerita sukses mereka. Bila ada pertanyaan mana yang benar, jawabannya bergantung pada hasil perenungan tiap warga.

Karena itulah sangat beralasan untuk menjadikan periode kampanye parpol baru-baru ini sebagai introspeksi bagi warga negara yang telah menggunakan hak pilihnya 5 tahun lalu. Apakah pilihan pada 2009 itu sudah benar atau salah? Apakah hak pilih itu digunakan dengan cerdas dan bijak, atau asal-asalan karena terbuai angin surga dan iming-iming sesuatu?

Bijak dan cerdas menggunakan hak pilih bisa dimulai dengan menimbang beberapa aspek paling mendasar, seperti ketercukupan pangan, sandang dan papan, jaminan kesehatan dan pendidikan, ketersediaan lapangan kerja dan kemerataan pembangunan infrastruktur. Setelah itu, simak yang dikerjakan partai yang memegang kendali pemerintahan dalam 5-10 tahun terakhir.

Selama kampanye, sebuah surat kabar terkemuka di Ibu Kota menyajikan beberapa tema laporan utama yang secara tak langsung mengingatkan pemilih jangan lagi ceroboh menggunakan hak politiknya. Tema laporan itu antara lain makin lebarnya kesenjangan pendapatan, dan ekses kebijakan ekonomi yang mengabaikan potensi sektor pertanian sebagai basis pembangunan.

Di Yogyakarta,  sejumlah orang yang tergabung dalam organisasi Makaryo (Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta), berunjuk rasa mengritik rezim pemerintahan sekarang yang gagal menuntaskan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Yogyakarta beberapa waktu terakhir.

Sebagai isu, dua tema yang disajikan surat kabar itu tidaklah baru. Tema itu masih mengkritisi buruknya kualitas pertumbuhan ekonomi dan membesarnya ketergantungan pada bahan pangan impor. Namun, mengedepankan dua isu ini sangatlah penting dan strategis. Warga pemegang hak pilih bisa menggunakan dua isu ini sebagai dasar mempertimbangkan pilihan.

Andai pemerintah mengklaim berhasil mengurangi jumlah warga miskin, dua tema yang disajikan surat kabar itu otomatis mementahkannya. Program BLT misalnya, tidak menyelesaikan masalah. Program itu justru menambah masalah baru karena dibiayai dengan pinjaman luar negeri.  Program raskin (beras untuk warga miskin) pun terindikasi  bermasalah karena ada peran kartel.

Tentang kemajuan pembangunan infrastruktur, potret saja problem ruas jalan di pantura Jawa. Ruas jalan itu selalu rusak parah, dan kasus yang sama pasti banyak dijumpai di pelosok daerah lain. Paling mencemaskan adalah salah kelola komoditas kebutuhan pokok rakyat, yaitu kecenderungan membesarnya ketergantungan bahan pangan impor.

Padahal, 10 tahun lalu, rakyat mencatat janji Presiden SBY merevitalisasi sektor pertanian. Namun realitasnya Indonesia yang agraris kini masih harus mengimpor belasan komoditas pangan untuk kebutuhan dalam negeri. Dalam perkembangannya, impor komoditas pangan ditunggangi oknum penguasa dan birokrat untuk berburu rente.

Defisit Stok

Negara kita tiap tahun mengalami defisit stok sejumlah komoditas pangan, termasuk beras.  Menurut BPS, Indonesia masih mengimpor kentang, singkong, garam, daging ayam, gula pasir, tepung terigu, biji gandum dan meslin, kedelai, jagung dan beras. Membesarnya ketergantungan itu membuktikan pemerintah tidak militan meningkatkan produksi dalam negeri.

Rendahnya militansi itu memberi akses bagi kemunculan kartel. Kasus suap impor daging sapi adalah lakon kartel. Publik juga masih ingat beberapa kali heboh di pasar dalam negeri karena kelangkaan sejumlah komoditas, seperti kedelai, cabai dan bawang putih. Itu semua ulah kartel.

Pada Februari 2013, Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyatakan ada indikasi kartel pangan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga punya indikasi peran kartel dalam pengadaan kedelai dan bawang putih. Bahkan, KPPU menilai Kementerian Perdagangan berperan signifikan dalam kasus lonjakan harga kedelai. Yang mengendalikan kartel bahan pangan bisa dipastikan bukan komisaris atau direksi perseroan yang ditunjuk sebagai pelaksana impor. Pengendali kartel adalah figur tertentu yang pasti sangat dekat dengan pusat kekuasaan.

Karakter pemerintahan seperti itu adalah produk pileg dan pilpres periode lalu. Kemungkinan warga pemilih kurang peduli sehingga ceroboh menggunakan hak politik mereka pada 2009. Karena itu, jangan ulangi salah pilih bila ingin membangun hari esok yang lebih baik. Sebaiknya bijak mencoblos supaya tidak terjeblos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar