Awas
Jurnalisme Prasangka
S Sinansari Ecip ; Wartawan Senior
|
KOMPAS,
02 April 2014
MENURUT
beberapa pakar dan praktisi, karya jurnalisme yang paling tinggi nilainya
adalah hasil liputan investigatif.
Disebut bernilai tertinggi karena pencarian bahannya dengan menembus
sumber-sumber tak resmi, yang tidak jarang penuh bahaya.
Liputan
ini membongkar sesuatu kejahatan publik. Penulisannya acap lebih baik. Namun,
bila pelaksanaannya tak hati-hati, korban berjatuhan karena diserang oleh
jurnalisme prasangka.
Mengapa
disebut jurnalisme prasangka? Sebagian liputannya mengandung hasil yang
kurang akurat. Data yang kurang akurasinya itu langsung ditodongkan kepada
orang atau lembaga tertentu (obyek liputan) dengan publikasi yang dahsyat.
Tidak jarang jika korban adalah seseorang, dia jatuh sakit, mungkin diserang
stroke atau serangan jantung. Sudah waktunya penerapan jurnalisme investigasi
di Indonesia sangat hati-hati. Jangan terkesan ”pukul dulu, urusan belakang”.
Pengertian
”pukul dulu” itu adalah pemuatan di media dengan mengundang khalayak supaya
mengikutinya, untuk media cetak dengan membeli dan membacanya. Tak heran bila
kemudian khalayak ramai-ramai menyimaknya. Perusahaan media tentu saja
mendapat keuntungan. Biasanya pemuatan atau penayangan (untuk media
elektronik) pertama, isinya berat sebelah. Obyek liputan disudutkan pada
pojok ring, untuk sekadar mengambil contoh dari istilah tinju.
Mengapa
media dengan ringan melakukan serangan? Secara UU dan kode etik jurnalistik
tersedia fasilitas yang diberikan kepada orang/instansi yang dirugikan untuk
menggunakan hak jawab. Pihak yang dirugikan diberi kesempatan membuat
perbaikan atau ralat atas kesalahan/ketakakuratan liputan media. Bila media
tidak memberi ruang pemuatan hak jawab akan kena denda Rp 500 juta (UU Pers,
Pasal 18 Ayat (2) jo Pasal 5 Ayat (2)).
Namun,
jumlah khalayak yang membaca/menonton liputan prasangka pertama kali lebih
banyak dibandingkan yang membaca hak jawab pada kesempatan kali kedua. Sering
media hanya memuat sedikit isi hak jawab. Itu pun ditempatkan di rubrik
”Surat Pembaca”. Maka, tidak terjadi perimbangan yang adil, terjadi
pelaksanaan hak jawab yang tidak memadai.
Hasil bagus
Pembaca
berdecak kagum atas hasil liputan investigasi yang isinya sangat penting dan
penyampaiannya menarik. Isinya yang berupa pengungkapan kejahatan publik
tidak terbantahkan. Data dan fakta disampaikan rinci. Suasana dan lingkungan
digambarkan dengan hidup. Liputan yang wartawannya bekerja seolah detektif
bisa mendapatkan penghargaan jurnalisme Adinegoro.
Contoh
paling menarik adalah liputan koran The
Washington Post atas peristiwa yang disebut skandal Watergate. Presiden Nixon dkk menyadap telepon lawan-lawan
politiknya. Dua wartawan The Washington
Post membongkar kejahatan publik di bidang politik tersebut,
dipublikasikan, hingga jatuhlah Nixon. Liputan itu dibukukan dan difilmkan
(1976) dengan judul All the President’s
Men. Wartawan Bob Wood diperankan Robert Redford dan Carl Bernstein
diperankan Dustin Hoffman. Sutradaranya Alan J Pakula.
Hampir
semua karya jurnalisme yang dinilai oleh tim dari Universitas Columbia (New
York) adalah hasil investigasi. Koran-koran (nasional dan lokal negara
bagian) berlomba-lomba untuk mendapatkan hadiah Pulitzer tiap tahun. Makin
banyak sesuatu koran mendapatkan Pulitzer, makin terpandang koran tersebut
dan dapat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat.
Hampir tak berdaya
Korban
jurnalisme prasangka itu siapa? Itulah mereka yang jadi obyek pemberitaan
jurnalisme investigatif, yang diterapkan dengan tak hati-hati. Data yang
dikemukakan kurang akurat, sumbernya kurang berkewenangan, kecenderungannya
berita itu mengarah ke kebohongan. Umumnya serangan pertama berat sebelah.
Obyek hanya diberi ruang sedikit, sering asal ada, hingga terkesan si obyek
benar-benar 100 persen bersalah.
Wartawan
sesungguhnya wajib melakukan pengecekan ulang, bahkan sampai pengecekan
silang. Tidak jarang berita tersebut hanya satu sisi. Jika dua sisi, sisi
yang lain sumber dan datanya kurang memadai. Sama sekali faktor psikologisnya
kurang diperhatikan. Serangan sebenarnya belum tentu benar. Acuan yang
semestinya dipakai: jangan jadikan obyek tak berdaya.
Dewan
Pers mengeluarkan Kode Etik Jurnalistik yang mestinya dapat perhatian dan
dilaksanakan wartawan. Beberapa di antaranya, Pasal 1, wartawan Indonesia
bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak
beritikad buruk. Pasal 3, wartawan Indonesia selalu menguji informasi,
memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang
menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Pasal 4, wartawan
Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Pasal 8,
wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka
atau diskriminasi. Pasal 10, wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan
memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai permintaan maaf
kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Dalam
penggunaan hak jawab, Dewan Pers juga mengeluarkan pedoman. Dua di antaranya
yang terpenting adalah (1) hak jawab memperbaiki kekeliruan dan
ketidakakuratan fakta, yang merugikan nama baik; (2) hak jawab berasaskan
keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, dan profesionalitas.
Bagaimana sebaiknya?
Wartawan
yang berhati-hati akan membuat liputan penuh empati, ikut merasakan apa yang
diderita korban pemberitaan. Dia perlu merasakan bagaimana jadi sorotan mata
(umpamanya) di pasar karena sudah dianggap bersalah. Anak-anaknya jadi
cibiran teman-temannya di sekolah meskipun orangtuanya belum dibuktikan
kesalahannya. Belum lagi bila korban diperiksa polisi meski hanya jadi saksi,
tidak bisa tidur nyenyak, dan stres.
Soal bahaya ini sepenuhnya tanggung jawab si wartawan dan perusahaan
media tempat kerjanya.
Apakah
karena kesalahan pemberitaan boleh diproses pidana? Dalam prosedur pengaduan
ke Dewan Pers, Pasal 1 Ayat (2) tertulis, ”Dewan
Pers tidak memeriksa pengaduan yang sudah diajukan ke polisi atau pengadilan”.
Itu dapat diartikan, pengaduan ke polisi dan pengadilan tidak dilarang asal
setelah diadukan ke Dewan Pers. Masih menurut Ayat 2 itu, bisa juga diartikan
”kasus jurnalisme prasangka” boleh
diadukan langsung ke polisi/pengadilan. Dengan demikian, korban tak
menggunakan hak jawabnya. Umumnya jika terjadi
proses ke pengadilan kalangan pers akan berteriak, ”Kriminalisasi pers!” Agar tidak terjadi kriminalisasi pers, hati-hatilah membuat liputan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar