Senin, 15 Oktober 2012

Wakil Rakyat Era Informasi


Wakil Rakyat Era Informasi
Fitra Arsil ;  Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia 
SINDO, 15 Oktober 2012



Ketika model perwakilan politik (political representation) diperkenalkan, para pemikir politik dan ketatanegaraan memperingatkan risiko menggunakan jenis perwakilan ini yang dapat menyebabkan terciptanya government by amateurs yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh sekelompok orang yang tidak memiliki keahlian dan tidak memahami tugas dan fungsinya.

Hal tersebut dapat terjadi karena perwakilan politik lebih mementingkan popularitas dan akseptabilitas dibanding kualitas. Orangorang duduk di lembaga perwakilan semata karena memperoleh suara lebih banyak dibanding lawannya, tidak peduli kemampuan apa yang dimilikinya yang menjadi alasan mereka terpilih. Di antara cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mendirikan partai-partai politik (parpol).

Parpol melakukan pemberdayaan para calon wakil rakyat dengan memberikan agenda, program, peningkatan pengetahuan, jaringan, dan sebagainya. Maka dikenallah fungsi parpol sebagai wadah seleksi kepemimpinan dan pendidikan politik bagi masyarakat. Parpol kini seakan tidak bisa dipisahkan dari proses perwakilan politik.Hampir semua rekrutmen politik melibatkan parpol baik secara langsung maupun tidak langsung. Kini, ancaman terciptanya government by amateurs kembali terjadi.

Menariknya, ancaman government by amateurs justru terjadi karena peningkatan kualitas pengetahuan masyarakat tentang fungsi kepemerintahan dan ketatanegaraan secara masif. Hal itu terjadi bukan karena parpol ataupun elite politik berhasil melakukan fungsi edukasi politik, melainkan karena masyarakat secara luas memiliki akses informasi kepada terhadap persoalan-persoalan negara dengan lebih mudah bahkan sebagian mungkin lebih baik dibanding para politisi.

Aksesinformasiyangmudah dan globalisasi informasi yang tak dapat ditahan menyebabkan pengetahuan dan informasi menjadi milik publik tanpa bisa dihalangi. Elite politik bukan lagi sekelompok orang yang dapat memonopoli informasi atau paling tidak memiliki informasi lebih dibanding rakyat pada umumnya seperti yang terjadi pada masa lalu. Malah dalam banyak hal, masyarakat sekarang lebih berpengetahuan dibanding para wakilnya di pemerintahan.

Di berbagai negara demokrasi maju,fenomena ini dinilai sebagai penyebab lahirnya berbagai lembaga yang juga berperan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik (public policy).Lembaga-lembaga iniberpengaruh sangat besar di masyarakat namun diisi oleh orang-orang profesional, memiliki kapasitas keilmuan yang kuat, memahami kompleksitas tentang kebijakan publik dan berbagai keahlian khusus lain serta yang terpenting mereka adalah unelected people. (Paul Vibert,2007).

Dengan demikian, para elite politik yang merupakan pilihan rakyat bukan lagi faktor dominan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Justru ada anggapan bahwa jalur pemilihan para wakil rakyat banyak digunakan oleh mereka yang berkompetensi rendah dan keahlian minim tetapi menginginkan kekuasaan. Persaingan dalam mendapatkan jabatan politik tidak menggantungkan pada kompetensi, tetapi pada popularitas sehingga tidak memicu para pesertanya untuk berpengetahuan dan berkompetensi tinggi.

Kelebihan para wakil rakyat dalam pelaksanaan fungsinya, kini, relatif hanya pada fungsi representasi. Fungsifungsi lain seperti legislasi, kontrol dan anggaran secara substantif dapat dilaksanakan oleh unelected body atau unelected peopledengan lebih baik namun mereka tidak memiliki fungsi representasi yang melekat, sehingga tidak memungkinkan produk berkualitasnya terebut menjadi kebijakan publik yang mengikat seluruh rakyat. Kaidah demokrasi mengharuskan setiap kebijakan apalagi berdampak pembebanan pada rakyat harus diputuskan melalui mekanisme perwakilan (no tax without representation).

Mengamati perkembangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia, fenomena di atas juga terjadi. Dulu para anggota parlemen datang kepada masyarakat dengan membawa informasi penting,dan seakan rakyat hanya bisa mengakses informasi lewat para elite politik tersebut sehingga apa yang disampaikan oleh para elite politik seakan tidak terbantahkan.

Namun kini, wakil rakyat habis-habisan mendapatkan sorotan dan menerima kritik masyarakat dalam setiap proses pengambilan putusan. Bahkan, rakyat secara detail dapat mengakses bukan hanya kegiatan perumusan kebijakan publik tetapi juga perilakuperilaku para elite politik secara personal.Akibatnya isu yang tampil ke publik bukan saja pelaksanaan fungsi parlemen seperti yang ditentukan oleh konstitusi, isu-isu di luar pelaksanaan fungsi juga tidak lepas dari perhatian publik.

Menariknya, jika diamati beberapa tahun belakangan ini, isu-isu di luar fungsi justru tampil lebih dominan dibanding kegiatan dewan di bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran yang menjadi fungsinya. Gedung Dewan tanpa malumalu justru secara besarbesaran memproduksi isu-isu penyelewengan moral dan urusan-urusan rumah tangga dewan yang nyata-nyata tidak memiliki implikasi bagi kesejahteraan rakyat yang diwakilinya.

Artinya, di tengah para wakil rakyat secara eksklusif, hanya memiliki satu-satunya fungsi yang tidak bisa dimiliki rakyat pada umumnya yaitu fungsi representasi seperti diuraikan di atas, justru mereka sendiri melakukan pelemahan terhadap fungsi tersebut. Perdebatan panas dewan bukan dalam rangka mereka sedang melakukan agregasi kepentingan rakyat, melainkan diisi oleh isu-isu degradasi moral para wakil rakyat dan urusan rumah tangga yang merupakan kepentingan pribadi para wakil rakyat.

Posisi parlemen sebagai lembaga negara yang mewakili kepentingan rakyat membuat semua pihak juga menjadi terlibat dalam isu-isu nonfungsi tersebut. Akibatnya, energi bangsa terkuras untuk berdialektika kosong mengenai hal tersebut. Rakyat dibawa arus perdebatan tidak substantif jauh dari kebutuhannya. Korupsi para legislator, penyelewengan seks, persoalan keluarga, renovasi berbagai fasilitas para wakil rakyat, kunjungan luar negeri hingga jajanan rapat harus menambah beban rakyat karena harus terusmenerus teramat kecewa dengan perilaku para wakilnya.

Lebih buruk lagi, semua persoalan tersebut tampil di tengah-tengah miskinnya prestasi para wakil rakyat dalam melaksanakan tugasnya, baik dalam legislasi,pengawasan,maupun anggaran. Peningkatan kualitas pengetahuan rakyat di era informasi seharusnya dapat dimanfaatkan wakil rakyat untuk menjadi pendukung kualitas putusan politik, bukan menjadi musuh politisi dan aktivitas politiknya. Kontrol publik bukan untuk dihindari,melainkan harus dijadikan pemicu lahirnya putusan yang berkualitas. Melawan kontrol publik hanya akan menyebabkan elite politik menjadi “bulan-bulanan” dan justru memisahkan para elite politik menjadi kelompok para amatir yang berkuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar