Senin, 15 Oktober 2012

Sugeng Makarya, Mas Joko


Sugeng Makarya, Mas Joko
Sumaryoto ;  Anggota DPR, Fraksi PDI Perjuangan
SUARA MERDEKA, 15 Oktober 2012



GAJAH mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Joko Widodo meninggalkan Solo, ia ''naik kelas'' menjadi Gubernur DKI Jakarta. Selamat bekerja, sugeng makarya, Mas Joko.

Apa yang ditinggalkan Jokowi buat masyarakat Solo? Tidak sedikit. Selain birokrasi yang bersih dan efektif serta sikap bersahaja, juga wajah kota yang ramah. Sebab itulah, meski hanya bermodalkan ''dengkul'', ia yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama dan didukung hanya oleh dua partai, PDIP dan Ge-rindra, sanggup mengalahkan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang bermo-dal besar dan didukung banyak partai, termasuk Demokrat dan Golkar. Putaran kedua Pilgub DKI ibarat perang Bharatayuda, dan Pandawa yang hanya terdiri atas lima kesatria mampu mengalahkan 100 orang dari Kurawa.

Sanggupkah Jokowi-Ahok berperan sebagai Pandawa yang bekerja demi menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan? Sang-gupkah memerankan Puntadewa dengan jamus Kalimasada-nya? Bila dalam pewayangan Kalimasada adalah dua kalimat syahadat, di alam nyata Ibu Kota, Kalimasada diibaratkan sebagai dukungan rakyat dan DPRD.
Dukungan rak

zyat sudah jelas, yakni 54% suara lebih dalam putaran kedua pilgub pada 11 September 2012. Bahkan kini dukungan itu kian membesar, seiring ekspektasi publik. Bagaimana dukungan DPRD? Inilah yang masih mengkhawatirkan mengingat Jokowi-Ahok hanya didukung PDIP yang memiliki ''cuma'' 11 kursi dan Gerindra dengan 6 kursi, dari 94 kursi di DPRD DKI. 

Inilah tantangan politik lima tahun ke depan, mampukah Jokowi-Ahok menjinakkan DPRD sehingga jamus Kalimasada bisa didayagunakan. Tapi apa pun dalihnya, bila suara para anggota DPRD tidak sejalan dengan suara rakyat, berarti bertentangan dengan adagium vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Di Solo, Jokowi benar-benar sanggup menjadi Puntadewa yang lembut dan antikekerasan. Penertiban pedagang kaki lima berlangsung damai dan tanpa kekerasan. Bagaimana di Jakarta? Jakarta memang bukan Solo. 

Bila Jokowi berjanji menertibkan PKL tanpa penggusuran seperti di Solo, akankah terwujud? Langkah pertama, Jokowi akan menarik senjata pentungan dari tangan petugas Satpol PP, bahkan Kepala Satpol PP konon akan dijabat perempuan.
Jakarta memang bukan Solo. Saat ini jumlah penduduk Ibu Kota hampir 10 juta jiwa, ditambah 2,5 juta jiwa warga luar yang beraktivitas di Jakarta pada siang hari. Jumlah ini sudah di ambang kritis. Lihat saja Perda RTRW 2030 yang menetapkan jumlah penduduk Jakarta hanya 12,5 juta jiwa pada 2030. Sementara jumlah warga miskin, menurut catatan BPS DKI, mencapai 363.200 orang. Inilah pekerjaan rumah (PR) Jokowi untuk menyediakan lapangan kerja dan perumahan bagi mereka.

Mobilitas Warga

PR lainnya adalah mengatasi banjir dan kemacetan lalu lintas. Apakah keberadaan banjirkamal timur cukup untuk mengatasi banjir? Apakah aliran 13 sungai yang membelah Ibu Kota dalam kondisi bagus sehingga aairnya tak meluap pada musim hujan?

Untuk mengatasi kemacetan, Jakarta kini memiliki program mass rapid transit (MRT), dan Jokowi tinggal merealisasikannya. Proyek yang didanai pemerintah Jepang melalui JICA ini membutuhkan dana sekitar 1,6 miliar dolar AS atau Rp14 triliun. Namun dana yang dipegang pemerintah baru 1,05 miliar dolar.

MRT Jakarta yang berbasis rel ini akan membentang kurang lebih 110,8 kilometer, meliputi dua koridor utama, yaitu Koridor Selatan-Utara yang jadi prioritas, dan Koridor Timur-Barat yang masih tahap kajian. Koridor Selatan-Utara (Lebak Bulus-Kampung Bandan) sepanjang 23,8 km dan Koridor TimurñBarat (Jakarta-Balaraja) 87 km. 

Tren mobilitas masyarakat kota di masa mendatang memang lebih banyak berada di bawah tanah, dan Jakarta mau tak mau harus mengikuti pola ini. Bila tidak, Ibu Kota akan tertinggal dari kota-kota besar negara lain. Jakarta juga akan terus mengalami pertumbuhan penduduk. 
Ketersediaan fasilitas publik di bidang transportasi dengan daya angkut besar tak bisa dielakkan. Bila tidak, Jakarta mengalami stagnasi mobilitas penduduk.

Bila Jokowi mampu mengatasi banjir dan kemacetan, ia akan tercatat dalam sejarah sebagai gubernur yang berhasil. Selama ini ikon keberhasilan Gubernur DKI adalah Ali Sadikin. Jokowi harus bisa mencatatkan diri di hati rakyat sebagai ikon baru keberhasilan Gubernur DKI setelah Ali Sadikin. Gaya boleh berbeda, tetapi komitmen memajukan Ibu Kota, Mas Joko tak boleh berbeda dari Bang Ali, bahkan harus lebih. Komitmen itu harus diwujudkan dengan kerja keras.

Jakarta jelas bukan Solo. Jakarta adalah ibu kota negara yang sangat kompleks permasalahannya. Sebab itu, ''Puntadewa Jokowi'' sendiri tidaklah cukup. Ia harus didukung oleh Puntadewa-Puntadewa lain. Jokowi harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Untuk mengatasi banjir dan macet, ia harus bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan. Untuk urusan permukiman warga, dengan Kementerian Perumahan Rakyat. 
Untuk atasi pengangguran, dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Untuk keamanan, dengan Kapolri dan Kapolda Metro Jaya, begitu seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar