Senin, 22 Oktober 2012

Runtuhnya Budaya Gotong Royong


Runtuhnya Budaya Gotong Royong
Haryono Suyono ;  Mantan Menko Kesra dan Taskin
SUARA KARYA, 22 Oktober 2012
  
Berabad-abad Bangsa Indonesia berjuang meraih kemerdekaannya sebagai jembatan untuk mengantar rakyat mencapai keadaan yang adil, makmur dan sejahtera. Tetapi perjuangan nenek moyang yang disertai lumuran darah dan jutaan nyawa itu selalu kandas dan dipatahkan oleh penjajah dengan akal liciknya. Para pejuang diadu domba melalui politik pemecah belah yang membuat setiap anak bangsa saling curiga, dengki dan saling iri, sehingga dengan mudah penjajah, tanpa pertempuran yang berarti, menumpas gerakan kemerdekaan.
Menyadari hal ini, sejak awal abad ke-20, melalui Gerakan Boedi Oetomo, sesepuh bangsa merubah strategi perjuangannya. Mereka berusaha mempersatukan diri, melempar jauh setiap perbedaan yang bisa merusak persatuan dan kesatuan, menggalang dan menumbuhkan budaya gotong royong. Upaya itu tidak mudah, karena baru 20 tahun kemudian, yaitu pada 1928, usaha itu menampakkan hasilnya. Anak muda bangsa berikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa sebagai moto perjuangannya.
Sebagai layaknya para sosiolog politik, biarpun para sesepuh bangsa tidak dilahirkan dan dibesarkan sebagai sosiolog atau politikus, mereka melembagakan ikrar tersebut dalam bentukan lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti mendirikan sekolah Taman Siswa, Muhammadiyah dan sebagainya. Lembaga-lembaga itu dikembangkan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkarakter dan unggul untuk melanjutkan perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan sebagai jembatan emas untuk mengantar pembangunan.
Hasilnya mulai kelihatan, anak-anak bangsa makin cerdas dan menghargai persatuan dan kesatuan, sehingga pada 40-an, tatkala kesempatan terbuka, para anak muda yang dipimpin Bung Karno bergerak dan akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan keberanian dan keyakinan yang kuat, memproklamasikan kemerdekaan dan membentuk Negara Kesatuan RI yang merdeka dan berdaulat.
Memelihara persatuan dan kesatuan tidak mudah. Pemerintahan demi pemerintahan jatuh bangun, sehingga pada tahun 1960-an Pak Harto mulai memimpin bangsa ini membangun secara teratur. Tetapi pembangunan itu terasa berat, karena sejak kemerdekaan rakyat merasa bebas untuk mengatur keluarganya sendiri, sehingga timbul ledakan penduduk yang menakutkan karena kualitasnya tidak memadai. Akhirnya pada 1970, dimulailah gerakan untuk meringankan beban setiap keluarga melalui program keluarga berencana (KB). Hasilnya setiap keluarga menjadi makin ramping, karena hanya perlu memberdayakan dua orang anaknya saja. Diikuti dengan berbagai fasilitasi pendidikan dan lapangan usaha yang makin banyak, mengantar pada keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Gerakan KB adalah awal dari pembangunan keluarga sampai keakar-akarnya di tingkat pedesaan. Keluarga di desa yang biasanya tidak tersentuh pembangunan, mendapat perhatian yang tinggi. Pada tahun 1980-an mereka yang bekerja di kota seperti Jakarta dan lainnya, diperkenalkan dengan buku tabungan dan cek untuk pulang mudik.
Tidak perlu membawa uang kontan, tetapi cukup dengan menukar uangnya di bank untuk dibawa ke desa dan berbelanja seakan mereka adalah orang kaya dengan kartu kredit yang mudah dan aman dibawa kemanapun. Upaya itu membawa berkah, karena keluarga pulang mudik, biarpun bukan keluarga kaya, berkenalan dengan sistem giral, sistem berbelanja tanpa harus mengeluarkan uang kontan.
Gerakan sadar modernisasi itu meningkat dengan diperkenalkannya usaha industri pertanian yang dikenal sebagai Pelaju (Petik Olah Jual dan Untung), bagi kaum petani di pedesaan. Kaum petani diajak melakukan diversifikasi pertaniannya dengan mencoba bergabung dalam koperasi melalui gerakan Pertasi Kencana yang marak dan mendapat perhatian Presiden. Intinya tidak lain adalah agar keluarga petani di desa segera ikut gerakan KB untuk belajar mengatur jumlah anak, dua anak cukup, laki perempuan sama saja.
Mereka bergabung dalam kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian dengan cara tanam, pemeliharaan dan petik hasil diolah secara modern. Kearifan dalam pertanian yang menghasilkan produk kemudian diolah dengan bergabung dalam koperasi untuk mendapatkan bimbingan wirausaha dalam variasi usaha, tata kelola dan pemasaran yang menguntungkan.
Gerakan peduli keluarga miskin atau keluarga pra sejahtera itu dilanjutkan dengan ajakan untuk menabung dan mendapatkan kredit untuk usaha yang terkenal dengan nama Takesra Kukesra. Gerakan itu putus pada awal 2000-an karena komitmen yang menipis dan perhatian pada keluarga miskin yang mengubah "gerakan masyarakat" menjadi "proyek" yang dikelola seperti mengatur perusahaan atau usaha korporasi yang kaku dan lebih banyak memperhitungkan untung rugi, jelimet dan tidak percaya pada tingginya partisipasi masyarakat.
Akibatnya banyak keluarga miskin menjadi pasif dan menunggu arahan atau berharap belas kasihan dalam bentuk charitas BLT, beras murah, pendidikan gratis dan lain sebagainya dari pemerintah. Semuanya nampak seperti intervensi yang menghasilkan ketergantungan yang merugikan. Persatuan dan kesatuan antar keluarga miskin dan kaya tidak dibangun dan justru dicekokin dengan pertentangan dan saling curiga yang merugikan semua kalangan.
Budaya gotong royong tidak dikembangkan dengan gigih, bahkan dalam pendekatan formal upaya itu tidak mendapat tempat yang wajar. Proyek pemerintah, karena alasan administrasi, tidak memberi peluang berkembangnya budaya gotong royong karena seluruhnya harus dipertanggung jawabkan dengan manajeman dan auditing yang kaku dan tidak mengenal istilah partisipasi positif serta memberikan kebanggaan kepada rakyat.
Apabila budaya gotong royong tidak segera disegarkan, dikhawatirkan bangsa Indonesia tidak akan bangkit sebagai bangsa besar yang kuat dan jaya. Tetapi, menjadi bangsa yang kelihatan besar tetapi dikuasai asing dan rakyat hanya menjadi kuli dan penonton di tanah airnya sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar