Senin, 22 Oktober 2012

Dua Tahun Timur Pradopo


Dua Tahun Timur Pradopo
Imam Syafi’i ;  Wartawan bidang Kepolisian,
Direktur Pemberitaan dan Produksi Jawa Pos Televisi (JTV) 
JAWA POS, 22 Oktober 2012


GENAP dua tahun Jenderal Pol Timur Pradopo menjadi orang nomor satu di kepolisian. Presiden SBY melantik Timur menjadi Kapolri pada 20 Oktober 2010 di Istana Negara Jakarta. Timur dipilih presiden pada injury time ketika publik dan kalangan dewan menjagokan Komjen Pol Nanan Soekarna sebagai calon kuat Kapolri. 

Saat itu ada pertanyaan apakah presiden sudah memilih Kapolri yang tepat? Mengingat, prestasi Timur tidak terlalu menonjol. Para pegiat HAM justru menyoal tanggung jawab Kapolri pilihan presiden itu karena Timur menjabat Kapolres Jakarta Barat ketika terjadi tragedi penembakan di kampus Universitas Trisakti Jakarta. 

Persoalan utama Kapolri Timur Pradopo adalah terkait gaya kepemimpinannya dan kelemahannya dalam berkomunikasi. Gaya Timur yang kalem dan cenderung menghindari konfrontasi membawa kekecewaan di internal kepolisian jika itu sudah menyangkut ''kewibawaan'' Polri di mata publik. 

Contoh tergamblang, rebutan kasus dengan KPK terkait penangananan kasus dugaan korupsi peralatan simulator SIM Korlantas. Kejadian itu kemudian menjadi blunder bagi Polri setelah penyidik Polda Bengkulu bernafsu menangkap rekannya sesama polisi, Kompol Novel Baswedan, yang ditugaskan menjadi penyidik di KPK. Sejumlah petugas provos Polri menjemput Novel di kantor KPK dengan tuduhan yang terkesan dicari-cari. 

Malam itu pimpinan KPK tampil solid di depan layar televisi hingga pukul dua dini hari. Sebaliknya, di Mabes Polri, Timur tidak muncul di depan kamera wartawan. Dia hanya memerintah Kadivhumas Polri Irjen (saat itu) Brigjen Pol Suhardi Alius berbicara kepada media. Kapolda Bengkulu yang baru dilantik, Brigjen Pol Benny Mokalu, juga tidak diperintahkan muncul ke publik. 

Tak heran, ketidaktegasan Timur untuk tampil menjelaskan posisi Polri saat itu membuat internal Polri panas dingin. Malah Wakapolri Komjen Pol Nanan Soekarna langsung beraksi. Mantan Kadivhumas Polri itu bersuara keras mengkritik KPK dan menjelaskan posisi Polri melalui wartawan. 

Ketidaksinkronan gaya kepemimpinan antara Kapolri dan Wakapolri (sesama lulusan Akpol 1978) sering memunculkan spekulasi ketidakkompakan. Sumber-sumber terdekat mengatakan, Nanan sudah sangat geregetan dengan Timur yang ''slow'' dan kurang tegas itu. Kabarnya, Nanan juga pernah kecewa dengan Timur yang sempat akan memberikan penghargaan kepada Kepala Polisi Diraja Malaysia (akhirnya dibatalkan). Penghargaan bintang Bhayangkara Utama itu akan diberikan oleh Kapolri pada HUT Bhayangkara 2012. Padahal, saat itu demo anti-Malaysia meluas setelah tiga TKI tewas ditembak polisi Malaysia. Meski begitu, kedua pimpinan Polri tersebut kepada media membantah ketidakkompakan itu. 

Yang jelas, Timur memang tampak ''gagap'' di hadapan wartawan. Pernyataannya selalu berputar-putar dan ditutup dengan kalimat baku, ''Terima kasih, Dik.'' Ungkapan yang berputar-putar itu sering tidak tepat sasaran. Makanya, kalangan wartawan menyebut Timur sebagai Kapolri yang paling nrimo karena sering berterima kasih bila dibandingkan dengan menjelaskan mengapa dirinya harus berterima kasih. 

Timur juga menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tiga Kapolri sebelumnya. Kapolri Jenderal Pol Da'i Bachtiar dan Jenderal Pol Sutanto selalu bersedia dicegat wartawan setelah salat Jumat di Masjid Al Ikhlas, kompleks Mabes Polri. Demikian juga, kebiasaan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri jumpa pers resmi di Ruang Rapat Utama (Rupatama) Polri setiap diperlukan. 

Apa Banyak Kerja? 

Saat ini grand strategy Polri memasuki tahap kedua  pada 2010-2015, yaitu kemitraan dengan masyarakat. Fase itu ditandai dengan tingkat kepuasan masyarakat terhadap rasa aman dan keadilan yang diharapkan semakin baik. Tuntutan masyarakat akan melebar kepada manajemen rasa aman dan adil yang akuntabel, transparan, open, dan patuh rule of law. Sayangnya, saat ini, relasi Polri dengan masyarakat yang selalu dalam hubungan ''benci, tapi rindu'' itu berada pada titik terendah. Kasus bentrokan polisi dengan mahasiswa yang menolak kedatangan Wakapolri Nanan di Universitas Pamulang, Tangerang, juga menjadi catatan negatif. 

Ke dalam pun, rasanya, tak ada yang dibanggakan terkait kinerja Polri semasa Timur Pradopo kecuali dalam konteks kontrateror dan pengungkapan kasus-kasus narkoba. Itu pun merupakan kelanjutan periode sebelumnya. Untuk kasus-kasus lainnya, apalagi pemberantasan tindak pidana korupsi, gaya Timur yang kalem ini pun ''menular'' kepada jajaran Bareskrim. 

Tak ada percepatan menonjol yang dibuat oleh badan berlambang busur dan panah itu, terkesan business as ussual. Contohnya, tidak terdengar lagi operasi-operasi skala besar seperti illegal logging, illegal mining, dan illegal fishing. Padahal, Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Polri semasa dipimpin Hadiatmoko pernah mengungkap pembalakan liar di Ketapang, Kalimantan Barat. Apakah praktik-praktik illegal tersebut memang sudah musnah dari bumi Indonesia, ataukah karena polisinya yang malas? 

Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor) Polri pun sami mawon. Jika kinerja mereka diukur dari jumlah tahanan kasus korupsi di Rutan Bareskrim, kinerja direktorat yang dipimpin Brigjen Pol Noer Ali itu patut dipertanyakan. Saat ini Dittipikor hanya mempunyai satu orang tahanan di Bareskrim Polri. Dia adalah tersangka kasus simulator SIM Budi Susanto yang ditahan sejak 3 Agustus lalu. 

Tiga tersangka lain kasus simulator SIM juga berstatus tahanan Dittipikor Polri. Mereka adalah Brigjen Pol Didik Purnomo, AKBP Teddy Rusmawan, dan Kompol Legimo. Mereka bertiga ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua. Lagi-lagi muncul pertanyaan, apakah memang di Indonesia ini tak ada lagi kasus korupsi yang bisa disingkap Polri. Kasus dugaan korupsi pengadaan peralatan simulator SIM yang melibatkan mantan pejabat korlantas pun buru-buru dilidik setelah KPK masuk. 

Apakah persoalannya ketidakmampuan, atau ketidakmauan? Tampaknya karena ketidakmauan. Buktinya, prestasi penyidik Polri di KPK berkilau meskipun mereka ''satu guru satu ilmu'' dengan penyidik Polri di Mabes Polri. Saya banyak kenal penyidik Polri yang saat ini ditugaskan di KPK. Integritas dan moralitas mereka lebih baik daripada ketika mereka berdinas di kantor polisi. 

Ayo, Pak Timur, mumpung masih ada waktu sebelum sampeyan pensiun pada Januari 2014. Jangan sampai publik memberikan penilaian ternyata presiden kali ini salah memilih Kapolri. Terima kasih. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar