Narkoba Itu
Kejahatan Luar Biasa
( Wawancara )
Henry Yosodiningrat ; Ketua Umum DPP Gerakan Nasinal Antinarkoba
(Granat)
|
SUARA
KARTA, 20 Oktober 2012
Pemberian grasi
(pengampunan) terhadap dua terpidana kasus narkoba - Deni Satia Maharwan dan
Merika Pranola - oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan mengurangi
hukuman keduanya dari hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup,
menyulut pro dan kontra.
Kelompok pro hukuman mati
menilai keputusan Presiden memberikan grasi bertentangan dengan semangat
pemberantasan narkoba. Dalam penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) 2011
dilansir sekitar 15.000 orang meninggal per tahun karena narkoba. Atau per
hari ada 40 sampai 50 orang meninggal. Sedangkan pencandu narkoba
diperkirakan mencapai 3,8 juta orang.
Pegiat antinarkoba
berpendapat, kejahatan narkoba merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar
biasa), maka harus dilawan dengan ordinary pula, salah satunya hukuman mati.
Mereka juga menganggap Presiden tidak konsisten dengan janji yang pernah
diucapkan 2006 untuk tidak memberikan grasi pada terpidana mati.
Sementara dari
kelompok menolak hukuman mati berpendapat, hukuman mati bertentengan dengan
Undang Undang Dasar yang menghormati hak hidup orang (pasal 28 ayat 1 UUD
1945) dan UU No 39/1999 tentang HAM (hak asasi manusia). Menteri Hukum dan
HAM (Menkumham), Amir Syamsuddin menjelaskan, alasan pemberian grasi (kasus
narkoba) karena kemanusiaan.
Presiden, kata Amir,
dalam memutus grasi tetap memerhatikan asas keadilan dan kemanusiaan. Prinsip
selektif dan pertimbangan komprehensif juga diterapkan, yaitu dengan terlebih
dahulu minta pertimbangan pada pembantu-pembantunya. Itu karennya sejak 2004
hingga 2012 di mana terdapat 128 permohonan grasi a(kasus narkoba), yang
dikabulkan Presiden hanya 19. Mereka terdiri dari 10 anak di bawah umur yang
dihukum dua sampai empat tahun penjara, seorang tuna netra (15 tahun
penjara), 3 warga negara asing termasuk Schapelle Corby, warga negara Australia
yang dikurangi hukumannya dari 20 tahun menjadi 15 tahun penjara, serta 5
terpidana lain. Untuk membahas masalah ini, wartawan Suara Karya Sadono
Priyo mewancarai Ketua Umum DPP Gerakan Nasinal Antinarkoba (Granat) Henry
Yosodiningkrat. Advokat senior yang juga pegiat antinarkoba ini tegas
menolak grasi terkait kasus narkoba, sebab bertentangan dengan semangat
pemberantasan narkoba. Berikut petikannya :
Apa sikap resmi Granat
terhadap grasi presiden yang diberikan kepada Deni dan Merika ?
Tentu Granat kecewa
dan protes keras. Saya tak habis pikir, apa Pak SBY tidak tahu 50 orang
rakyatnya mati per hari akibat narkoba ? Lima juta orang alami
ketergantungan, dan Rp 350 triliun per tahun dana rakyatnya dikeluarkan untuk
membeli barang berbahaya itu ? Apa beliau juga tidak tahu di dalam Lapas
(lembaga pemasyarakatan), gembong narkoba masih bisa kendalikan jaringan dan
bisa pengaruhi penyidikan ?
Sebagaimana dikatakan
Menkumham Amir Syamsudin, Presiden selektif memberikan grasi dan selalu
menggunakan pertimbangan komprenhensif melalui pembantu-pembantunya,
berdasarkan asas keadilan. Misalnya dalam kasus Deni dan Merika, karena yang
bersangkutan hanya kurir, bukan bandar, masih di bawah umur dan sebagainya ?
Saya tidak mau
berdebat mengenai masalah keadilan. Tapi yang ingin saya katakan, mengapa
putusan itu tidak sejalan dengan semangat pemberantasan narkoba yang
digembor-gemborkan. Indonesia juga telah ikut meratifikasi Konvensi Wina.
Narkoba itu kejahatan luar biasa, sebab dampaknya sangat besar untuk kelangsungan
hidup generasi bangsa.
Saya berpendapat,
jangan lagi presiden berikan grasi. MA juga tidak perlu anulir hukuman mati.
Mengapa Hakim Agung menganulir vonis mati Hengki Gunawan (pemilik pabrik
ekstasi di Surabaya), menjadi 15 tahun? Alasan bertentangan dengan pasal 28
ayat 1 UUD 1945 dan UU HAM, sungguh tak dapat diterima. Apakah MA tidak
mengikuti perkembangan UU tentang narkotika ? MA telah menabrak
undang-undang, karena yang berwewenang menyatakan melanggar atau tidak (UUD
1945 dan UU HAM), ya Mahkamah Konstitusi.
Saya juga melihat
sederet kejanggalan dengan keputusan MA. Biasanya, PK diajukan karena
terdakwa memiliki novum (bukti baru) yang belum atau tidak bisa dihadirkan
pada pengadilan tingkat sebelumnya. Dari novum itu, majelis hakim menentukan
apakah bukti itu, pelaku bersalah atau tidak. Bukan untuk mengurangi atau
memperberat hukuman.
Apakah pemberian grasi
ini bisa berdampak pada penegakan hukum di Indonesia?
Bandar narkoba akan
menilai bahwa hukum di Indonesia lunak, bisa dibeli dan dipermainkan.
Pembatalan hukuman mati Henky Gunawan oleh MA akan membuat raja-raja narkoba
lainnya tidak jera. Itu angin segar anggota sindakat untuk menghancurkan anak
bangsa.
Coba lihat, bagaimana
masyarakat sedemikian bekerja keras bantu penyidik untuk mengungkap jaringan
narkoba. Aparat di di lapangan juga pasti putus asa. Capai lho ungkap kasus
narkoba. Biaya besar dan pengintaian lama. Setelah tertangkap dan disidik,
lalu diserahkan ke jaksa, jaksa ke pegadilan. Hakim memutus hukuman mati, di
tingkat pengadilan tinggi juga, sampai tingkat kasasi. Begitu diajukan PK
(peninjauan kembali), putusan dianulir dengan alasan-alasan yang menurut saya
ngawur.
Apakah upaya-upaya
pencegahan dan pemberantasan narkoba di Indonesia makin bagus atau sebaliknya
?
Saat ini Indonesia
adalah pasar narkotika yang sangat besar. Setidaknya, ada 15.000 pengguna
narkoba, 3,9 juta - 4,2 juta pecandu narkotik. Nilai transaksi mencapai
Rp48-50 triliun per tahun. Kemudian mengacu BNN, sepanjang 2011, ada 49,5 ton
sabu, 147 juta ekstasi, 242 ton ganja, dan hampir 2 ton heroin yang lepas
dari jerat petugas.
Melihat trend itu,
saya menilai kejahatan narkoba di Indonesia sudah sangat memrihatinlkan.
Bukan saja kondisinya darurat, tapi sudah dalam tahap bencana narkoba.
Narkotika ini bisa
untuk hancurkan generasi bangsa, hancurkan atlet berprestasi, perwira tinggi.
Mereka masuk pensantren dan barak untuk hancurkan itu. Pemerintah dan aparat
keamanan belum mampu mencegah penyelundupan narkotika dari luar negeri yang
dilakukan sindikat internasional. Omong kosong cegah masuk narkoba dari luar,
karena buktinya sampai sekarang narkoba itu masih banyak beredar di
masyarakat. Omong kosong pemberantasan itu dilakukan selama pengawasan di
pantai, pelabuhan, bandara, oleh aparat kita masih lemah.
Yang harus dilakukan
adalah, melakukan pencegahan secara konseptual. Gencar lakukan sosialisasi
dan merangkul masyarakat agar proaktif mencegah peredaran dan penyalahgunaan
narkoba. ●
|
Australia/Harap membebaskan anak-anak dari Indonesia. Indonesia/Harap membebaskan Schapelle http://womenforschapelle.blogspot.com.au/2012/07/schapelle-corby-saatnya-untuk.html
BalasHapus