Darurat
Narkoba
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR, Fraksi Partai Golkar
|
SUARA
MERDEKA, 20 Oktober 2012
JANGAN ada toleransi sedikit pun terhadap
penyusupan sel-sel organisasi kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang
(narkoba) ke tubuh birokrasi negara. Jika sel-sel organisasi kejahatan itu
dibiarkan tumbuh dan menguat, di kemudian hari kita menemui kesulitan
mengendalikan.
Indonesia harus belajar dari pengalaman
buruk negara lain, seperti Meksiko. Maka atas nama kemanusiaan juga, jangan
ada lagi grasi, remisi, atau bentuk pengurangan hukuman lain bagi terpidana
kasus narkoba.
Pada Juli 2012, Direktorat Narkoba Polda
Metro Jaya menangkap pengendali dan pengedar sabu-sabu di dalam Lembaga
Pemasyaratan (LP) Cipinang. Bersama tersangka berinisial WW dan AN, polisi
menangkap sipir Rutan Cipinang, berinisial MY. Dari tangannya disita 2 ons
sabu yang akan diedarkan ke dalam.
Paling menghebohkan adalah pengungkapan
kasus pada Maret 2011. Saat itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap
Kepala LP Narkotika Nusakambangan Marwan Adli, Kepala Pengamanan LP Iwan
Syaefuddin, dan Kepala Seksi Bina Pendidikan Fob Budhiyono. Mereka diduga
terlibat perdagangan narkotika di LP, dengan memberi keleluasaan kepada
terpidana narkoba Hartoni melakukan bisnis terlarang itu.
Di Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur, polisi
menangkap terpidana J alias M yang juga mengendalikan anaknya melanjutkan
bisnis ekstasi dari sel tahanannya. Adapun di LP Karangintan Banjar
Banjarbaru Kalimantan polisi menangkap seorang terpidana narkoba dan seorang
sipir penjara. Kasus dengan modus serupa juga terjadi di LP lain, termasuk LP
Kerobokan Bali dan LP Way Hui di Lampung.
Saya sengaja mengedepankan beberapa contoh
kasus ini untuk membuktikan bahwa birokrasi negara memang disusupi anggota
jaringan kejahatan narkotika, baik lokal maupun internasional. Kemenkumham
tidak fokus melakukan pembersihan. Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny
Indrayana lebih senang mencari barang bukti di LP daripada berupaya
menegakkan moral dan membersihkan sipir LP yang terlibat bisnis narkoba.
Kalau moral para sipir dibenahi, LP tidak bisa dijadikan ''kantor'' untuk
mengelola bisnis narkoba.
Pengalaman Meksiko hendaknya menjadi
pelajaran. Gembong narkoba di negara itu bahkan bertekad melumpuhkan
pemerintah, termasuk membunuh pejabat pemerintah pusat maupun daerah, jika
menghalang-halangi bisnis haram sindikat itu. Mereka tak segan membunuh warga
sipil, anak-anak, dan wanita, dengan cara kejam. Kini Meksiko bahkan
mengerahkan angkatan bersenjata untuk memerangi kartel-kartel narkoba.
Keteledoran berikutnya adalah kemelunakan
sikap pemerintah kita terhadap terpidana narkoba. Dalam rentang waktu yang
terbilang singkat, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono meringankan hukum
sejumlah terpidana, baik pemberian grasi maupun pembatalan hukuman mati.
Pekan lalu, publik tercengang ketika
menyimak berita pembatalan hukuman mati atas terpidana narkoba Deni Setia
Maharwan alias Rafi dan Merika Pranola alias Ola alias Tania.
Presiden mengabulkan permohonan grasi
keduanya dan mengubah hukuman Deni dan Ola menjadi pidana seumur hidup.
Padahal, pertimbangan hukum dari MA yang
diberikan kepada Presiden jelas-jelas menyatakan tidak terdapat cukup alasan
untuk mengabulkan grasi dua terpidana itu. Sebelumnya, Presiden memberi
pengampunan terhadap terpidana Schapelle Leigh Corby asal Australia, dan
grasi untuk terpidana narkoba warga Jerman Franz Grobmann.
Situasi
Darurat
Wajar jika publik mempertanyakan arah
kebijakan negara memerangi kejahatan narkoba. Apalagi, baru-baru ini MA
menganulir hukuman mati atas pemilik pabrik ekstasi di Surabaya, Hanky
Gunawan, dan pemilik 5,8 kg heroin, Hillary K Chimezie dari Nigeria. Fakta
tentang obral grasi terhadap terpidana narkoba ini dengan mudah dimaknai
sebagai perubahan sikap pemerintah yang tak lagi militan memerangi kejahatan
narkoba.
Karena itu, militansi menjadi harga mati
mengingat daya rusak akibat penyalahgunaan narkoba sudah sampai tahap yang
tidak hanya memprihatinkan tetapi juga sangat menakutkan.
Sampai tahun ini, jumlah korban meninggal
dunia akibat mengonsumsi narkoba di Indonesia sudah 50 orang per hari.
Bayangkan, di dua kelurahan di Jakarta Pusat, yakni Pegangsaan dan Menteng,
jumlah korban meninggal dalam 10 tahun terakhir tercatat 281 pecandu narkoba.
Hasil pendataan resmi menyebutkan bahwa
jumlah pengguna narkoba di Indonesia pada 2012 ini sekitar 5 juta orang.
Pengguna terbanyak pada usia 20-34 tahun. Menurut survei Badan Narkotika
Nasional (BNN), prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar
mencapai 4,7% dari jumlah pelajar dan mahasiswa, atau sekitar 921.695 orang.
Puluhan ribu pecandu narkoba saat ini harus menjalani terapi dan
rehabilitasi.
Menurut Jubir Kepresidenan, pertimbangan
kemanusisaanlah yang melandasi keputusan SBY mengabulkan grasi Maharwan dan
Melika Pranola. Kalau pelaku kejahatan kemanusiaan seperti mereka masih bisa
mendapatkan pertimbangan kemanusiaan, bagaimana cara SBY bersikap terhadap
fakta jumlah korban tewas akibat narkoba, serta tingginya jumlah pelajar dan
mahasiswa yang menjadi pecandu?
Maka, atas nama pertimbangan kemanusiaan
juga, obral grasi terhadap terpidana narkoba tak boleh diteruskan. Jika obral
grasi berlanjut, Indonesia terperangkap dalam situasi darurat narkoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar