Mewujudkan
Indahnya Keberagaman
Sulastomo ; Penasihat
Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia
|
KOMPAS,
20 Oktober 2012
Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang
sangat beragam: agama, etnisitas, dan budaya. Namun, kita juga yakin bahwa
keberagaman itu merupakan potensi luar biasa kalau kita bisa menghimpunnya
melalui prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bahwa hal itu belum terwujud, itu soal
lain.
Setiap umat beragama tentu meyakini bahwa
agamanya mengajarkan kebaikan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Kalau
setiap umat beragama mengamalkan ajaran agamanya dengan benar, tidak akan ada
konflik berdasarkan agama sebab setiap umat beragama wajib berbuat baik
kepada siapa saja, termasuk yang berbeda agama.
Maka, alangkah besar potensi Indonesia
dengan keberagaman agama itu kalau setiap umat beragama mengamalkan ajaran
agamanya dengan benar. Nilai moral yang tinggi akan mewarnai moral bangsa
ini. Tidak akan ada konflik berdasarkan agama dan kehidupan kebangsaan kita
juga akan harmonis dan kokoh.
Demikian juga keberagaman etnisitas dan
budaya. Tidak ada nilai etnis dan budaya lokal yang buruk bagi masyarakat
sekitarnya. Tuhan menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kita saling mengenal. Bukan untuk saling bermusuhan. Kalau saling bermusuhan,
berarti kita menyalahi kodrat penciptaan manusia.
Keteladanan
Yang diperlukan adalah kete- ladanan
bagaimana kita bisa menerima perbedaan itu. Nabi Muhammad SAW telah memberi
contoh. Pada tahun 10 Hijriah (631 Masehi) Nabi Muhammad SAW didatangi
delegasi umat Kristiani yang berjumlah 60 orang dari Najran, sebuah daerah
sekitar 720 kilometer selatan dari Madinah. Mereka diterima di masjid Nabi
dan mereka diperkenankan beribadah sesuai dengan agamanya di masjid Nabi.
Selama tiga hari tiga malam mereka
berdialog tentang ”tabiat” Tuhan dan Isa as. Namun, dialog itu tidak dapat
menemukan kesepakatan. Mereka tetap pada pendirian bahwa ajaran Muhammad SAW
tidak akan bisa diterima karena bertentangan dengan ajaran Kristiani yang
mereka yakini.
Kendati ada perbedaan teologis, Rasulullah
bersedia melakukan persetujuan damai, antara lain berisikan bahwa warga
Kristiani mendapat keamanan Allah dan Rasul-Nya baik bagi kehidupan mereka
sehari-hari, agama, dan harta kekayaan mereka. Tidak akan ada intervensi
dalam agama dan peribadatan mereka. Tidak akan ada perubahan dalam hak-hak
kelebihan bagi mereka. Tidak akan ada perusakan bagi rumah ibadah atau simbol
keagamaan lainnya.
Jika ada di antara mereka mencari keadilan
atas orang-orang Islam, keadilan akan ditegakkan di antara mereka. Perjanjian
itu dikenal sebagai Perjanjian Najran, yang menunjukkan kebesaran jiwa Nabi
menyikapi perbedaan yang bersifat teologis itu. Namun, sebagai manusia, kita
harus dapat hidup secara damai.
Contoh lain barangkali dapat disampaikan
pengalaman pribadi ketika berkunjung ke Amerika pada April lalu. Ketika
saatnya shalat Jumat, seorang teman bertanya, ”Mau shalat Jumat di mana? Di
masjid, gereja, atau sinagoge?” Kata hati kami, ”Shalat Jumat di gereja atau
sinagoge?” ”Di gereja saja,” jawab kami.
Demikianlah, di Gereja Angli- kan dekat
Gedung Putih kami da- tang sekitar pukul 12.30. Gereja masih sepi dan kami
dipersilakan masuk. Untuk wudu, kami diper- silakan masuk ke belakang, di
kamar mandi/toilet. Menjelang pukul 13.00, sajadah digelar di altar gereja
itu. Umat baru datang secara serentak menjelang pukul 13.00, sebagian besar
para eksekutif yang bekerja di daerah itu. Berdasi dan pakaian biasa. Imam
dan khatib seorang warga Pakistan yang sudah lama tinggal di AS. Berbaju
putih dan bercelana hitam tidak berpeci. Tema khotbahnya mengenai perlunya
memahami perbedaan di antara sesama umat manusia dan perlunya kehidupan yang
harmoni antarsesama.
Seusai shalat yang berlangsung sekitar 50
menit, makan siang di- sajikan, donasi seorang jemaah, berupa KFC. Pukul
14.00, shalat Jumat yang kedua akan dilangsungkan. Keterbatasan jumlah masjid
diatasi dengan uluran umat beragama lain meminjamkan tempat ibadahnya. Shalat
Jumat berlangsung 2-3 kali.
Contoh kedua di Masjid Al Hikmah, New York.
Seusai shalat dzuhur diselenggarakan dialog antarumat beragama. Hadir seorang
pastor (Katolik ) dan rabi (Yahudi) dengan tuan rumah imam masjid itu. Di
depan umat Islam dan undangan lainnya, ketiganya melakukan dialog bagaimana
memelihara kehidupan beragama yang harmonis. Itulah yang diperkenalkan
sebagai interfaith dialog, dialog antarumat beragama. Kegiatan seperti ini
sangat dihargai oleh wali kota New York sehingga imam Masjid Al Hikmah
memperoleh penghargaan.
Mimpi Indah
Apa yang dapat kita petik? Perbedaan konsep
teologi tak bisa dipertemukan. Namun, perbedaan konsep teologi itu tak boleh
mengurangi perlunya hidup secara damai di antara umat beragama yang berbeda
agama sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Aspek hablumminallah, hubungan manusia
dengan Tuhannya tak boleh dipersoalkan. Namun, aspek hablumminannas, hubungan
antarmanusia, perlu kita sepakati bersama bahwa berbuat baik, hidup harmoni,
merupakan ajaran setiap agama. Di sinilah kita bisa dipertemukan karena
setiap agama mengajarkan kebaikan bagi seluruh umat manusia.
Tak berlebih bila dikatakan, agama bisa
jadi landasan kuat bagi perwujudan Bhinneka Tunggal Ika. Sejauh ini masih
dalam tahap mimpi. Tugas para pemimpin mewujudkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar