Ironi Politik
Klientalisme
Joko Wahyono ; Peneliti
pada Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 19 Oktober 2012
Indonesia
adalah negara hukum. Segala perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga negara
harus dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum. Hormati proses hukum yang
sedang berlangsung, dan jangan ada upaya untuk mengintervensi jalannya
persidangan.
Hukum
bekerja menemukan kebenaran dan keadilannya sendiri. Inilah sepenggal
pernyataan yang masih gemar dilontarkan oleh sebagian elite politik ketika
berhadapan dengan serentetan pertanyaan dari media massa.
Istilah
negara hukum (rechtstate) menjadi trademark dalam perbincangan dan diskusi
publik. Ia seakan-akan begitu sakral sehingga ketika mereka menyebut negara
kita adalah negara hukum maka seluruh perdebatan kasus hukum tunduk dan
selesai.
Kini,
yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana autentisitas Indonesia sebagai
negara hukum? Bukankah itu hanya pernyataan apologetis (pembelaan) dari elite
politik ketika ingin menutupi belang muka pejabat tinggi yang kebetulan
memiliki hubungan relasional “patron danklien” di antara mereka.
Atau
paling tidak penyanggahan sementara terhadap suatu kesalahan, pelanggaran,
dan kejahatan yang dilakukan oleh penguasa. Kenyataannya, kekuasaaan selalu
mendapat tempat lebih tinggi daripada supremasi hukum.
Bahkan,
mengutip pendapat Nietzsche (2002), kehendak berkuasa melampaui batas
moralitas dan imorialitas (beyond good and evil). Kita bisa melihat bagaimana
sakralitas hukum ketika berhadapan dengan para penguasa dan rakyat biasa.
Hampir
setiap hari kita saksikan pemandangan abadi dari praktik pemberantasan
korupsi. Drama penangkapan koruptor selalu membuat kegaduhan di ruang publik,
namun seketika sepi ketika palu hakim dijatuhkan. Hukuman terhadap para
koruptor masih jauh panggang dari api gaung pemberantasan korupsi.
Sementara
lain ceritanya ketika hukum berhadapan dengan kasus pencuri pisang di kebun
orang. Istilah negara hukum dengan prinsip persamaan di muka hukum (equality
before the law atau similia simliibus) sontak tegak diberlakukan kepada
rakyat biasa yang terlibat kejahatan.
Tidak
ada yang menyangkal jika hukum hanya berlaku bagi orang-orang di luar
kekuasaan, namun lesu berhadapan dengan kekuasaan itu sendiri.
Patron
dan Klien
Bangsa
ini telanjur gandrung terhadap makhluk bernama demokrasi. Namun, demokrasi diejawantahkan
secara latah dan salah kaprah sehingga yang tampak hanyalah kebebasan. Di
alam yang serba bebas ini tidak ada yang abadi selain kepentingan.
Orde
demokrasi seakan-akan diubahnya menjadi medan tarik ulur perebutan
kepentingan. Adagium siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana caranya menjadi
mantra suci dalam dinamika relasi-relasi kuasa. Hampir sangat muskil kita
dapatkan sebuah tindakan dari elite politik yang benar-benar tanpa
menyaratkan apa pun.
Sebuah
tindakan atau kebijakan yang lahir selalu memiliki multiplier interest di
antara para birokrat, pengusaha, maupun para elite lain “yang tak terpilih”.
Jalinan personal elite politik dalam sebuah institusi negara dipersepsikan
sebagai hubungan antara patron dan klien.
Inilah
yang sering kali kita dengar sebagai politik klientalisme. Budaya politik
semacam ini berjalan di atas prinsip relasi-relasi kuasa yang saling
menguntungkan di antara mereka.
Sebagaimana
karakteristik sistem politik-ekonomi yang pernah ada pada rezim Orde Baru
(Julia Adam, 1997). Kini, gejala itu kembali tampak jelas kita baca melalui
praktik-praktik korupsi yang semakin berkembang baik dalam skala, lingkup,
intensitas, maupun modus.
Jika
Orde Baru korupsi hanya terlokalisasi di lingkup pucuk kekuasaan, kini sudah
terdesentralisasi ke segala penjuru birokrasi. Skala jumlah uang yang
dikorupsi jauh meningkat di luar batas nalar sehat. Intensitas praktik
penggelembungan dana dan penggelapan uang pun berlangsung tanpa jeda dengan
modus operandi yang semakin beragam.
Menggeraknya
virus korupsi ini disebabkan oleh budaya politik klientalisme itu. Di sini,
elite politik bertindak sebagai patron yang memberikan akses kepada klien,
misalnya berupa pemenangan sebuah tender proyek di lembaga-lembaga
pemerintah, proteksi, loyalitas, serta lisensi-lisensi yang mempermudah klien
untuk mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi.
Sementara
klien–yang tak jarang berasal dari anggota keluarga–memberikan imbalan
tertentu (gratifikasi, hadiah, dan lain-lain) kepada patron. Atau sebagai
klien, para elite tak terpilih (pelobi, pengusaha, maupun koorporasi)
menjanjikan kerja sama, bisa berupa modal politik (political cost) atau
dukungan suara untuk pemenangan patron dalam pemilihan.
Relasi
patron dan klien ini juga kerap dimainkan di dalam tubuh institusi negara.
Penguasa dan pemimpin elite politik adalah patron yang memosisikan para
pejabat bawahannya sebagai klien. Relasi-relasi ini dijalankan berdasarkan
pada prinsip who get what berupa kepentingan materi/imateri yang bisa
dipertukarkan.
Kita
sering menyaksikan lobi-lobi yang sarat dengan kepentingan antara parlemen
dengan pemerintah terkait pengesahan sebuah kebijakan. Bukan hal yang aneh
jika dalam proses itu terjadi politik klientalisme melalui jaringan patron
dan klien.
Patron
menghendaki dukungan politik dari klien demi mempertahankan kekuasaan.
Sementara klien mendapatkan hak-hak istimewa (previlage) dan jabatan
strategis dari patron. Inilah budaya politik klientalisme yang semakin
gamblang dimainkan oleh penguasa dan para elite politik di negeri ini.
Dalam
budaya politik klientalisme negara bukan lagi berdasarkan hukum, melainkan
kepentingan yang berada di tangan penguasa. Tak heran jika jual beli pasal
membudaya untuk meloloskan penguasa dari jeratan hukum.
Jika
seorang elite politik ada yang mengatakan hormati asas praduga tak bersalah,
bisa jadi itu hanya bentuk loyalitas dari klien kepada patron yang terlibat
kasus hukum.
Tinggal
bagaimana mereka menyusun skenario untuk mencari kambing hitam yang rela
menjadi penebus dosa dari kesalahan penguasa. Ini karena pada akhirnya,
kejahatan hanya mungkin dilakukan oleh seseorang yang berada di luar gugusan
kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar