Sabtu, 20 Oktober 2012

Ironi Politik Klientalisme



Ironi Politik Klientalisme
Joko Wahyono ;  Peneliti pada Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 19 Oktober 2012



Indonesia adalah negara hukum. Segala perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga negara harus dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum. Hormati proses hukum yang sedang berlangsung, dan jangan ada upaya untuk mengintervensi jalannya persidangan.

Hukum bekerja menemukan kebenaran dan keadilannya sendiri. Inilah sepenggal pernyataan yang masih gemar dilontarkan oleh sebagian elite politik ketika berhadapan dengan serentetan pertanyaan dari media massa.

Istilah negara hukum (rechtstate) menjadi trademark dalam perbincangan dan diskusi publik. Ia seakan-akan begitu sakral sehingga ketika mereka menyebut negara kita adalah negara hukum maka seluruh perdebatan kasus hukum tunduk dan selesai.

Kini, yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana autentisitas Indonesia sebagai negara hukum? Bukankah itu hanya pernyataan apologetis (pembelaan) dari elite politik ketika ingin menutupi belang muka pejabat tinggi yang kebetulan memiliki hubungan relasional “patron danklien” di antara mereka.

Atau paling tidak penyanggahan sementara terhadap suatu kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan oleh penguasa. Kenyataannya, kekuasaaan selalu mendapat tempat lebih tinggi daripada supremasi hukum.
Bahkan, mengutip pendapat Nietzsche (2002), kehendak berkuasa melampaui batas moralitas dan imorialitas (beyond good and evil). Kita bisa melihat bagaimana sakralitas hukum ketika berhadapan dengan para penguasa dan rakyat biasa.

Hampir setiap hari kita saksikan pemandangan abadi dari praktik pemberantasan korupsi. Drama penangkapan koruptor selalu membuat kegaduhan di ruang publik, namun seketika sepi ketika palu hakim dijatuhkan. Hukuman terhadap para koruptor masih jauh panggang dari api gaung pemberantasan korupsi.

Sementara lain ceritanya ketika hukum berhadapan dengan kasus pencuri pisang di kebun orang. Istilah negara hukum dengan prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law atau similia simliibus) sontak tegak diberlakukan kepada rakyat biasa yang terlibat kejahatan.

Tidak ada yang menyangkal jika hukum hanya berlaku bagi orang-orang di luar kekuasaan, namun lesu berhadapan dengan kekuasaan itu sendiri.

Patron dan Klien

Bangsa ini telanjur gandrung terhadap makhluk bernama demokrasi. Namun, demokrasi diejawantahkan secara latah dan salah kaprah sehingga yang tampak hanyalah kebebasan. Di alam yang serba bebas ini tidak ada yang abadi selain kepentingan.

Orde demokrasi seakan-akan diubahnya menjadi medan tarik ulur perebutan kepentingan. Adagium siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana caranya menjadi mantra suci dalam dinamika relasi-relasi kuasa. Hampir sangat muskil kita dapatkan sebuah tindakan dari elite politik yang benar-benar tanpa menyaratkan apa pun.

Sebuah tindakan atau kebijakan yang lahir selalu memiliki multiplier interest di antara para birokrat, pengusaha, maupun para elite lain “yang tak terpilih”. Jalinan personal elite politik dalam sebuah institusi negara dipersepsikan sebagai hubungan antara patron dan klien.

Inilah yang sering kali kita dengar sebagai politik klientalisme. Budaya politik semacam ini berjalan di atas prinsip relasi-relasi kuasa yang saling menguntungkan di antara mereka.

Sebagaimana karakteristik sistem politik-ekonomi yang pernah ada pada rezim Orde Baru (Julia Adam, 1997). Kini, gejala itu kembali tampak jelas kita baca melalui praktik-praktik korupsi yang semakin berkembang baik dalam skala, lingkup, intensitas, maupun modus.

Jika Orde Baru korupsi hanya terlokalisasi di lingkup pucuk kekuasaan, kini sudah terdesentralisasi ke segala penjuru birokrasi. Skala jumlah uang yang dikorupsi jauh meningkat di luar batas nalar sehat. Intensitas praktik penggelembungan dana dan penggelapan uang pun berlangsung tanpa jeda dengan modus operandi yang semakin beragam.

Menggeraknya virus korupsi ini disebabkan oleh budaya politik klientalisme itu. Di sini, elite politik bertindak sebagai patron yang memberikan akses kepada klien, misalnya berupa pemenangan sebuah tender proyek di lembaga-lembaga pemerintah, proteksi, loyalitas, serta lisensi-lisensi yang mempermudah klien untuk mengeksploitasi sumber-sumber ekonomi.

Sementara klien–yang tak jarang berasal dari anggota keluarga–memberikan imbalan tertentu (gratifikasi, hadiah, dan lain-lain) kepada patron. Atau sebagai klien, para elite tak terpilih (pelobi, pengusaha, maupun koorporasi) menjanjikan kerja sama, bisa berupa modal politik (political cost) atau dukungan suara untuk pemenangan patron dalam pemilihan.

Relasi patron dan klien ini juga kerap dimainkan di dalam tubuh institusi negara. Penguasa dan pemimpin elite politik adalah patron yang memosisikan para pejabat bawahannya sebagai klien. Relasi-relasi ini dijalankan berdasarkan pada prinsip who get what berupa kepentingan materi/imateri yang bisa dipertukarkan.

Kita sering menyaksikan lobi-lobi yang sarat dengan kepentingan antara parlemen dengan pemerintah terkait pengesahan sebuah kebijakan. Bukan hal yang aneh jika dalam proses itu terjadi politik klientalisme melalui jaringan patron dan klien.

Patron menghendaki dukungan politik dari klien demi mempertahankan kekuasaan. Sementara klien mendapatkan hak-hak istimewa (previlage) dan jabatan strategis dari patron. Inilah budaya politik klientalisme yang semakin gamblang dimainkan oleh penguasa dan para elite politik di negeri ini.

Dalam budaya politik klientalisme negara bukan lagi berdasarkan hukum, melainkan kepentingan yang berada di tangan penguasa. Tak heran jika jual beli pasal membudaya untuk meloloskan penguasa dari jeratan hukum.

Jika seorang elite politik ada yang mengatakan hormati asas praduga tak bersalah, bisa jadi itu hanya bentuk loyalitas dari klien kepada patron yang terlibat kasus hukum.

Tinggal bagaimana mereka menyusun skenario untuk mencari kambing hitam yang rela menjadi penebus dosa dari kesalahan penguasa. Ini karena pada akhirnya, kejahatan hanya mungkin dilakukan oleh seseorang yang berada di luar gugusan kekuasaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar