Jalan Panjang
Bersih-bersih
Khaerudin ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
8 Oktober 2012
Ungkapan miskomunikasi saat penggeledahan
yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi di markas Korps Lalu Lintas
dihentikan sementara selama hampir empat jam oleh petugas Badan Reserse
Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, 30 Juli lalu,
sepertinya masih berlangsung hingga kini. Buntut keberanian KPK mengobrak-abrik
salah satu dapur Polri masih terasa hingga kini.
Meskipun jika bicara undang-undang, akan
sangat terang benderang jalan KPK menyidik kasus ini sangat bisa dibenarkan.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto pernah mengungkapkan, kasus korupsi
pengadaan simulator berkendara untuk ujian surat izin mengemudi di Korlantas
ini diselidiki KPK sejak awal Januari silam. KPK memutuskan, penyelidikan kasus
ini harus ditingkatkan menjadi penyidikan pada 27 Juli. Ketika itu, surat
perintah penyidikan yang diteken pimpinan KPK menyebutkan tersangka dalam kasus
ini adalah Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan kawan-kawan.
Ada masa tiga hari sejak surat perintah
penyidikan (sprindik) diteken pimpinan KPK hingga penggeledahan di markas
Korlantas. Sehari sebelum penggeledahan, Ketua KPK bertandang ke Mabes Polri
menemui Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo untuk memberitahukan bahwa KPK
menyidik kasus pengadaan simulator di Korlantas. Dari cerita Abraham, Kapolri
saat itu mempersilakan KPK menyidik kasus tersebut.
Itulah yang membuat langkah KPK menggeledah
markas Korlantas sejak pukul 16.00 berlangsung lancar. Seorang pejabat KPK
mengungkapkan, bahkan petugas Korlantas mempersilakan penyidik KPK menggeledah
beberapa ruangan, hingga akhirnya datang petugas berpangkat komisaris besar
dari Bareskrim Mabes Polri yang meminta penggeledahan dihentikan.
Sempat terjadi ketegangan karena penyidik KPK
mengatakan langkah mereka dibenarkan UU. Saat diminta menunjukkan izin dari
Kapolri untuk menggeledah markas Korlantas, penyidik KPK malah memperlihatkan
surat izin penggeledahan dari pengadilan.
Meski penggeledahan bisa kembali dilakukan,
setelah dihentikan, KPK tak mulus membawa barang bukti kembali ke kantor
mereka. Ketika barang bukti bisa dibawa ke KPK, masih ada petugas dari
Bareskrim Mabes Polri yang ikut menjaganya. Ini memang bagian dari kesepakatan
KPK dengan Polri.
Hanya tiga hari sejak KPK menggeledah markas
Korlantas, tepatnya tanggal 2 Agustus, Polri mengirimkan Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus korupsi pengadaan simulator di Korlantas ke
kejaksaan. SPDP itu disertai nama-nama tersangka, antara lain, mantan Wakil
Kepala Korlantas Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo serta dua rekanan
pengadaan, Budi Susanto dan Sukotjo Bambang. Tiga nama ini sebenarnya sudah
ditetapkan KPK sebagai tersangka.
Polri ngotot berhak menyidik kasus korupsi
pengadaan simulator ini meskipun KPK telah menyidik kasusnya terlebih dahulu.
Kewenangan KPK tersebut tertera dalam UU No 30/2002 tentang KPK. Pasal 50 Ayat
1, 3, dan 4 UU KPK mengatur penanganan sebuah kasus korupsi jika ada penegak
hukum selain KPK yang ikut terlibat. Ayat 3 menyebutkan, ”Dalam hal KPK sudah
mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kepolisian dan
kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan”. Pasal 4 menegaskan,
”Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau
kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan tersebut
segera dihentikan”. Terang dan jelas.
Pimpinan KPK sadar betul, penyidikan kasus
korupsi simulator bakal penuh tantangan. Salah seorang unsur pimpinan KPK
mengatakan, sebelum memutuskan kasus ini ditingkatkan menjadi penyidikan,
terlebih dulu dibicarakan mitigasi serangan balik terhadap KPK. ”Semua
dibicarakan, intinya kami memetakan semua potensi serangan balik. Mitigasinya
juga telah kami siapkan,” katanya. Salah satunya adalah bagaimana jika terjadi
kriminalisasi seperti yang terjadi pada mantan unsur pimpinan KPK, Chandra M
Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Dan ternyata, terulang lagi saat upaya
penangkapan penyidik KPK Komisaris Novel Baswedan.
Namun, memang sebaik apa pun mitigasi itu
dipersiapkan, KPK tetap hanya bisa menduga apa bentuknya tanpa bisa
memastikannya. Contohnya adalah penarikan besar-besaran penyidik KPK oleh Mabes
Polri pada September lalu. Polri beralasan ke-20 penyidik itu sudah habis masa
penugasannya.
Langkah KPK ”membersihkan” Korlantas masih
belum berjalan mulus. Andai saja Presiden Yudhoyono mau mencontoh Ratu Inggris
yang memberi dukungan kepada Independent Commission Against Corruption (ICAC)
Hongkong membersihkan kepolisian negara tersebut, mungkin hari ini dan di masa
depan, kita akan melihat Polri yang bersih dan dipercaya rakyat. Jalan panjang
rupanya masih harus ditempuh KPK. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar