Senin, 08 Oktober 2012

Migas sebagai Pemersatu


Migas sebagai Pemersatu
R Priyono ;  Kepala BP Migas
JAWA POS, 6 Oktober 2012



Pemberian buku Memantau Daerah, Menyemai Kemajuan dari the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) merupakan hadiah kejutan bagi saya. Sebab, praktik-praktik atau implementasi otonomi daerah yang termuat di buku tersebut adalah konten yang saya cari.
Industri hulu migas merupakan dunia nyata yang benar-benar mengalami dampak dari pelaksanaan otonomi daerah. Jika dibandingkan dengan sebelum diberlakukannya peraturan otonomi daerah, industry hulu migas mengalami perubahan cara pandang, cara bersikap, dan bertindak yang cukup drastic dan dramatis. Jika dibandingkan dengan setelah diberlakukannya peraturan tersebut, permasalahan nonteknis (80 persen) lebih banyak dihadapi oleh industry hulu migas daripada persoalan teknis (20 persen).
Dari satu sisi, perubahan cara pandang, cara bersikap, serta bertindak merupakan hal yang sangat positip bagi para pekerjaindustri hulu migas. Dengan otonomi daerah ini, kami semua belajar untuk mengenal masyarakat setiap daerah dengan dinamika masing-masing dan sekaligus belajar berkomunikasi berlatar belakang budaya masing-masing daerah.
Meskipun demikian, dalam praktiknya, otonomi daerah memberikan kesan dampak negatip yang cukup kuat bagi industry hulu migas. Di sini, keberadaan BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) diharapkan merupakan representasi kehadiran negara dalam kesejahteraan masyarakat sebagaimana tertuang dalam 33 UUD 1945.
Otonomi daerah membuka potensi konflik horizontal gara-gara konflik perbatasan wilayah antara provinsi dan provinsi, antara kabupaten dan kabupaten, dan antara daerah dan daerah. Setidaknya, kami mencatat 945 konflik horizontal berbasis perebutan batas wilayah.  Yang terakhir kami catat adalah konflik antara Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri yang memperebutkan Gunung Kelud serta Kabupaten di Bojonegoro yang tidak membolehkan penduduk pemegang KTP di luar Bojonegoro bekerja di proyek MCL Cepu. 
Konflik otonomi daerah itu secara tidak langsung melemparkan kita semua ke sejarah perebutan kekuasaan kerajaan zaman dulu. Hal itu terbukti dari wilayah pemekaran yang digunakan adalah wilayah-wilayah kerajaan zaman dulu (zaman penjajahan). Selain itu, peta-peta yang digunakan sebagai dasar konflik tersebut adalah peta tahun 1800-an, termasuk juga klaim yang diajukan oleh Kabupaten Blitar yang berdasar peta tahun 1860-an. 
Bagi saya, itumerupakan keprihatainan yang sangat dalam sekalipun otonomi daerah merupakan kehendak demokrasi dan Orde Reformasi. Keprihatinan juga dikarenakan kita sebenarnya mengingkari cita-cita para pendiri bangsa dan negara pada 17 Agustus 1945. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, dan bahkan Sumpah Amukti Palapa Patih Gajah Mada pada 1300-an.
Yang menjadi pertanyaan adalah quo vadis bangsa dan negara Indonesia? Siapakah yang bertanggungjawab atas masa depan bangsa dan negara Indonesia? 
Dari laporan yang saya terima terkait investasi hulu migas di daerah-daerah menyebutkan berbagai macam perilaku “Raja Kecil” kami temui di daerah dari proses terawal hingga berproduksi.
Belajar dari Kasus Sudan
Selain itu, perebutan sumber ekonomi, termasuk ladang sumur migas, terjadi di banyak daerah yang – sekali lagi – ini merupakan keprihatinan yang mendalam. Kita dapar melihat rentetan konflik horizontal karena sumber ekonomi seperti di Bima, Mesuji, Pulang Padang, Sulawesi Tengah, Papua, dan lain-lain. Di dunia industry hulu migas juga mengalami nasib serupa, misalnya :
Ada lima sumur minyak di daerah Riau yang diperebutkan oleh Kabupaten Rohul dan Kampar.  Hal yang serupa juga terjadi di Sumatera bagian selatan.
Kutai Pesisir ingin melepaskan diri dari Kabupatan Kutai Kartanegara karena merasa tidak mendapat pembagian hasil kesejahteraan secara proporsional. Demikian juga, daerah Kalimantan Timur bagian utara (Kaltara) ingin melepaskan diri dari Kalimantan Timur dengan alas an motif ekonomi.
Saya secara pribadi bahagia bahwa melalui JPIP dalam Jawa Pos Group melihat otonomi daerah sebagai suatu kemajuan. Dan, pemerintah serta daerah yang berhasil membangun dirinya  mendapat suatu penghargaan.
Langkah itu memberikan pencerahan bagi saya untuk melihat daerah otonomi melalui kaca mata industry hulu migas.  Industri hullu migas sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 menempatkan kegiatan hulu migas sebagai industri strategis.
Karena sebagai industri strategis, industri hulu migas merupakan objek vital nasional. Namun, bagaimana juja disadari bahwa industri tidak berdiri sendiri karena begitu banyak faktor kepentingan yang mengelilingi.
Oleh karena itu, selain merupakan industri strategis yang merupakan objek vital nasional,  industry migas membawa tiga (3) nilai. Yakni, nilai ekonomi, ekonomi politik, dan nilai sosial yang harus dilaksanakan secara seimbang. Karena memiliki tiga nilai utama itulah, industri migas  mengemban prinsip utama. Yakni, sebagai pilar nasionalisme (persatuan dan kesatuan bangsa), pilar kedaulatan bangsa (versus kepemilikan asing), dan pilar kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima Pancasila). Menurut saya, bangsa Indonesia saat ini perlu belajar dari Sudan, Afrika, yang saat ini terpecah-pecah karena terkait sumber minyak. Adalah penting bagi bangsa Indonesia dan pemerintah daerah untuk becermin pada kasus Sudan yang memprihatinkan itu. 
Industri hulu migas harus menjadi alat pemersatu dan bukan menjadi pemecah belah.  Adalah penting bagi kita semua untuk bertanggung jawab atas keutuhan bangsa dan negara Indonesia.  Dan, sumber-sumber ekonomi, termasuk migas, merupakan alat atau sarana pemersatu dan sekaligus menjadi tujuan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia (dan bukan hanya daerah penghasil). Demi Indonesia satu yang tak terbagi. ●

1 komentar: