Migas sebagai
Pemersatu
R Priyono ; Kepala BP Migas
|
JAWA
POS, 6 Oktober 2012
Pemberian buku Memantau Daerah, Menyemai Kemajuan dari
the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) merupakan hadiah kejutan bagi
saya. Sebab, praktik-praktik atau implementasi otonomi daerah yang termuat di
buku tersebut adalah konten yang saya cari.
Industri hulu migas
merupakan dunia nyata yang benar-benar mengalami dampak dari pelaksanaan
otonomi daerah. Jika dibandingkan dengan sebelum diberlakukannya peraturan
otonomi daerah, industry hulu migas mengalami perubahan cara pandang, cara
bersikap, dan bertindak yang cukup drastic dan dramatis. Jika dibandingkan
dengan setelah diberlakukannya peraturan tersebut, permasalahan nonteknis (80
persen) lebih banyak dihadapi oleh industry hulu migas daripada persoalan
teknis (20 persen).
Dari satu sisi, perubahan
cara pandang, cara bersikap, serta bertindak merupakan hal yang sangat positip
bagi para pekerjaindustri hulu migas. Dengan otonomi daerah ini, kami semua
belajar untuk mengenal masyarakat setiap daerah dengan dinamika masing-masing
dan sekaligus belajar berkomunikasi berlatar belakang budaya masing-masing
daerah.
Meskipun demikian, dalam
praktiknya, otonomi daerah memberikan kesan dampak negatip yang cukup kuat bagi
industry hulu migas. Di sini, keberadaan BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) diharapkan merupakan representasi kehadiran
negara dalam kesejahteraan masyarakat sebagaimana tertuang dalam 33 UUD 1945.
Otonomi daerah membuka
potensi konflik horizontal gara-gara konflik perbatasan wilayah antara provinsi
dan provinsi, antara kabupaten dan kabupaten, dan antara daerah dan daerah.
Setidaknya, kami mencatat 945 konflik horizontal berbasis perebutan batas
wilayah. Yang terakhir kami catat adalah
konflik antara Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri yang memperebutkan Gunung
Kelud serta Kabupaten di Bojonegoro yang tidak membolehkan penduduk pemegang
KTP di luar Bojonegoro bekerja di proyek MCL Cepu.
Konflik otonomi daerah itu
secara tidak langsung melemparkan kita semua ke sejarah perebutan kekuasaan
kerajaan zaman dulu. Hal itu terbukti dari wilayah pemekaran yang digunakan
adalah wilayah-wilayah kerajaan zaman dulu (zaman penjajahan). Selain itu,
peta-peta yang digunakan sebagai dasar konflik tersebut adalah peta tahun
1800-an, termasuk juga klaim yang diajukan oleh Kabupaten Blitar yang berdasar
peta tahun 1860-an.
Bagi saya, itumerupakan
keprihatainan yang sangat dalam sekalipun otonomi daerah merupakan kehendak
demokrasi dan Orde Reformasi. Keprihatinan juga dikarenakan kita sebenarnya
mengingkari cita-cita para pendiri bangsa dan negara pada 17 Agustus 1945.
Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, dan bahkan Sumpah Amukti Palapa Patih Gajah
Mada pada 1300-an.
Yang menjadi pertanyaan
adalah quo vadis bangsa dan negara
Indonesia? Siapakah yang bertanggungjawab atas masa depan bangsa dan negara
Indonesia?
Dari laporan yang saya
terima terkait investasi hulu migas di daerah-daerah menyebutkan berbagai macam
perilaku “Raja Kecil” kami temui di daerah dari proses terawal hingga
berproduksi.
Belajar
dari Kasus Sudan
Selain itu, perebutan sumber
ekonomi, termasuk ladang sumur migas, terjadi di banyak daerah yang – sekali
lagi – ini merupakan keprihatinan yang mendalam. Kita dapar melihat rentetan
konflik horizontal karena sumber ekonomi seperti di Bima, Mesuji, Pulang
Padang, Sulawesi Tengah, Papua, dan lain-lain. Di dunia industry hulu migas
juga mengalami nasib serupa, misalnya :
Ada lima sumur minyak di
daerah Riau yang diperebutkan oleh Kabupaten Rohul dan Kampar. Hal yang serupa juga terjadi di Sumatera
bagian selatan.
Kutai Pesisir ingin
melepaskan diri dari Kabupatan Kutai Kartanegara karena merasa tidak mendapat
pembagian hasil kesejahteraan secara proporsional. Demikian juga, daerah
Kalimantan Timur bagian utara (Kaltara) ingin melepaskan diri dari Kalimantan
Timur dengan alas an motif ekonomi.
Saya secara pribadi bahagia
bahwa melalui JPIP dalam Jawa Pos Group
melihat otonomi daerah sebagai suatu kemajuan. Dan, pemerintah serta daerah
yang berhasil membangun dirinya mendapat
suatu penghargaan.
Langkah itu memberikan
pencerahan bagi saya untuk melihat daerah otonomi melalui kaca mata industry
hulu migas. Industri hullu migas
sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 menempatkan kegiatan hulu migas
sebagai industri strategis.
Karena sebagai industri
strategis, industri hulu migas merupakan objek vital nasional. Namun, bagaimana
juja disadari bahwa industri tidak berdiri sendiri karena begitu banyak faktor
kepentingan yang mengelilingi.
Oleh karena itu, selain
merupakan industri strategis yang merupakan objek vital nasional, industry migas membawa tiga (3) nilai. Yakni,
nilai ekonomi, ekonomi politik, dan nilai sosial yang harus dilaksanakan secara
seimbang. Karena memiliki tiga nilai utama itulah, industri migas mengemban prinsip utama. Yakni, sebagai pilar
nasionalisme (persatuan dan kesatuan bangsa), pilar kedaulatan bangsa (versus
kepemilikan asing), dan pilar kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia (sila kelima Pancasila). Menurut saya, bangsa Indonesia saat
ini perlu belajar dari Sudan, Afrika, yang saat ini terpecah-pecah karena terkait
sumber minyak. Adalah penting bagi bangsa Indonesia dan pemerintah daerah untuk
becermin pada kasus Sudan yang memprihatinkan itu.
Industri hulu migas harus
menjadi alat pemersatu dan bukan menjadi pemecah belah. Adalah penting bagi kita semua untuk
bertanggung jawab atas keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Dan, sumber-sumber ekonomi, termasuk migas,
merupakan alat atau sarana pemersatu dan sekaligus menjadi tujuan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia (dan bukan hanya daerah penghasil). Demi Indonesia
satu yang tak terbagi. ●
nice
BalasHapuswww.titianmc.co.id
infoahlik3.wordpress.com