Pendulum
Penguasaan Migas
Gde Pradnyana ; Praktisi Migas
|
KOMPAS,
8 Oktober 2012
Konstitusi kita, UUD 1945, mengamanatkan agar
sumber kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara
untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Namun, tetap saja hak atas kuasa tambang
migas (mining right) selalu menjadi
wacana menarik dan diperdebatkan setiap kali kita membahas soal tata kelola
minyak dan gas bumi. Ibarat pendulum, penguasaan atas mining right ini berpindah-pindah dari satu sisi ke sisi lain,
mengikuti tarik-menarik berbagai kekuatan seiring perubahan tatanan
sosial-politik kita dari masa ke masa.
Kilas Balik
Setelah pengeboran sumur Telaga Said oleh
Belanda tahun 1884, lapangan-lapangan minyak Indonesia saat itu dikuasai oleh
setidaknya 18 perusahaan milik Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat.
Penguasaan ini berdasarkan kontrak konsesi yang memberikan kepemilikan sumber
daya migas kepada pemegang hak konsesi (perusahaan asing). Negara hanya
memperoleh royalti berdasarkan persentase produksi. Konsep ini tidak sesuai
dengan UUD 1945, mengingat penguasaan atas migas yang menyangkut hajat hidup
rakyat seharusnya ada di tangan negara.
Bung Karno kemudian melakukan nasionalisasi
dan mengubah bentuk kontrak migas. Melalui Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960,
eksploitasi migas hanya diselenggarakan oleh negara. Kontrak konsesi diubah
menjadi kontrak karya yang menempatkan perusahaan hanya perusahaan negara,
yaitu Permina, Pertamin, atau Permigan. Kuasa tambang yang semula dipegang oleh
perusahaan asing beralih ke tangan pemerintah. Konsekuensinya, pemerintah
menanggung segala risiko bisnis.
Periode 1961-1971 diwarnai pergolakan politik
yang berdampak pula pada perubahan pola pengelolaan migas. Perusahaan-
perusahaan migas nasional melakukan konsolidasi dan pengambilalihan aset.
Kilang-kilang penyulingan minyak dan aset lain milik asing dibeli pemerintah
dan diserahkan kepada Permina.
Memasuki Orde Baru, sentralisasi pengusahaan
minyak memuncak dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. Perubahan
signifikan adalah penggabungan Pertamin dan Permina menjadi Pertamina yang
diberi kuasa tambang, memilih kontraktor penggarap blok migas, sekaligus
menandatangani kontrak bagi hasil (KBH). KBH mensyaratkan kontraktor menanggung
semua modal dan risiko.
Era Asing
Pada masa inilah Pertamina memberikan kontrak
migas kepada berbagai perusahaan asing yang mendominasi produksi migas kita
sampai saat ini. Kebijakan Pertamina ketika itu—yang mengedepankan perusahaan
besar untuk menggarap ladang migas—membuat swasta nasional sulit berkompetisi.
Pertamina bahkan menyerahkan penggarapan
beberapa wilayah kerjanya, terutama yang di laut, kepada mitra asing. Untuk
mengelola perusahaan-perusahaan minyak asing itu dibentuk Badan Koordinasi
Kontraktor Asing yang kemudian menjadi Badan Pengusahaan dan Pembinaan
Kontraktor Asing (BPPKA).
Pada masa itu, lebih dari 90 persen minyak
dan gas kita diproduksi perusahaan asing. Pertamina baru memasuki produksi
lepas pantai saat membeli blok Offshore
North West Java dari BP tahun 2009. Kontrak- kontrak jangka panjang masa
lalu masih menyisakan penguasaan produksi migas 74 persen oleh perusahaan
asing.
Monopoli Pertamina sebagai regulator
sekaligus pemain dari tahun 1971 sampai 2001 melahirkan korupsi dan
penyalahgunaan wewenang yang luar biasa. Tumpukan utang Rp 11 miliar pada tahun
1976 membuat negara hampir bangkrut. Berbagai kasus, misalnya Karaha Bodas, membelit
Pertamina dan negara rentan gugatan perdata yang seharusnya menjadi urusan
bisnis perusahaan.
Kondisi ini melahirkan gagasan menata ulang
kewenangan Pertamina. Akhir tahun 1996, pemerintah mengajukan RUU Migas baru
untuk memisahkan peran regulator dan operator. Tujuannya, menciptakan iklim
usaha sehat serta mengembalikan kuasa tambang ke tangan pemerintah. Usulan
ditolak DPR saat itu.
Menyusul krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang
berujung pada lengsernya Presiden Soeharto, tuntutan mereformasi sektor migas
menguat. Pemerintah kembali mengajukan RUU Migas ke DPR pada 1999 dan setelah
melalui pembahasan alot, RUU tersebut akhirnya disahkan dua tahun kemudian
sebagai Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU
Migas).
Mengantisipasi perubahan UU ini, BPPKA mulai
disapih dari Pertamina dan diubah menjadi Direktorat Manajemen Production
Sharing (MPS). Selanjutnya, MPS berubah menjadi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Migas (BP Migas).
Regulasi yang lahir pada era Reformasi ini
mengubah pengelolaan migas yang semula sangat sentralistik dan monopolistik
dengan desentralisasi kewenangan. Hal-hal pokok ditata ulang.
Pertama, kuasa pertambangan kembali berada di
tangan pemerintah, bukan Pertamina atau badan usaha. Kedua, badan usaha yang
ingin menanamkan investasi di wilayah kerja migas menandatangani kontrak kerja
sama dengan badan pelaksana. Ketiga, membentuk badan pelaksana yang dimaksudkan
sebagai buffer atau penyekat agar pemerintah tidak lagi terekspos risiko bisnis
seperti masa lalu.
Kesetimbangan Baru
Kini tuntutan untuk merevisi undang-undang
migas kembali mengemuka. Sebagian menganggap UU No 22/2001 mengebiri Pertamina
dan mengakibatkan penguasaan asing atas blok migas Indonesia. Sebagian lagi
memandang desentralisasi kewenangan sebagai bentuk dari liberalisasi. Bahkan,
beberapa pihak menyebut UU No 22/2001 harus dirombak total karena penyusunannya
dituding dibiayai asing, terlepas dari soal esensi penataan dalam undang-undang
tersebut.
Pola unbundling yang memisahkan kegiatan hulu
dan hilir pada UU No 22/2001 ini sering dituduhkan sebagai upaya pihak asing
untuk memecah belah industri migas nasional sehingga mempermudah penguasaan.
Beberapa kelemahan yang juga disorot pada UU No 22/2001 adalah soal status BP
Migas sebagai lembaga nonprofit yang mewakili pemerintah.
Kontrak migas yang semula B to B antara
Pertamina sebagai pemegang kuasa tambang dengan perusahaan minyak dianggap
berubah menjadi G to B antara BP Migas dan perusahaan minyak mengingat status
BP Migas bukan badan usaha. Ketiadaan aset BP Migas juga sering menjadi
pertanyaan para pihak yang diajak berkontrak dengan BP Migas.
Berbagai ”anomali” bentuk BP Migas berawal
pada upaya mengembalikan kuasa tambang migas kepada negara sambil menghindari
campur aduk peran pemerintah dengan peran bisnis. Bentuk BP Migas sebagai badan
hukum milik negara yang bersifat nonprofit juga dalam rangka melaksanakan KBH
yang kini dikenal juga sebagai kontrak kerja sama (KKS) yang sangat berbeda
dengan kontrak profit sharing (dengan pembagian dividen) sebagaimana lazimnya
dilakukan oleh sebuah badan usaha. Pada dasarnya, KBH atau KKS tidak mengenal
istilah ”keuntungan” (profit) dan
seluruh kegiatan dilaksanakan at-cost.
Di sini pembagian ”keuntungan” dilakukan
secara in-kind dalam bentuk hasil produksi sesuai dengan besarnya participating interest (bukan saham)
yang dimiliki para pihak yang bermitra dalam mengusahakan sebuah blok migas.
Bentuk pengusahaan migas secara at-cost dengan konsep bagi-hasil sering
bertabrakan dengan kaidah-kaidah bisnis yang lazim dikenakan pada sebuah
kegiatan usaha. Ini, misalnya, tampak pada aturan-aturan perpajakan.
Dikenakannya pajak bea masuk terhadap peralatan (rig, kapal, dan sebagainya) yang disewa untuk kegiatan eksplorasi
adalah salah satu yang banyak dikritik dalam UU No 22/2001. Ketentuan
perpajakan ini yang antara lain dituding sebagai penyebab rendahnya kegiatan
eksplorasi untuk mencari cadangan baru. Di sisi lain, banyak negara mengadopsi
bentuk KBH yang asli Indonesia. Artinya, KBH atau KKS adalah bentuk kontrak
yang menguntungkan negara.
Penetapan Harga
Penetapan harga minyak (Indonesia Crude Price/ICP) ataupun harga gas oleh pemerintah
menunjukkan bahwa harga minyak dan gas tidak diserahkan pada mekanisme pasar.
Desentralisasi kewenangan regulator dan operator adalah untuk memisahkan peran
pemerintah agar tidak bercampur aduk dengan dunia bisnis. Pertamina akan
menjadi lebih sehat dan maju jika tidak dibebani dengan kewajiban-kewajiban
yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Sejak UU No 22/2001 diberlakukan, produksi
Pertamina meningkat hampir dua kali lipat dari 70.000 barrel menjadi sekitar
130.000 barrel per hari. Efisiensi Pertamina juga makin meningkat. Semakin
menjamurnya perusahaan migas nasional saat ini juga turut berkontribusi mengurangi
porsi penguasaan produksi migas oleh perusahaan asing.
Semestinya revisi UU Migas dilakukan untuk
mendukung peningkatan cadangan migas dan kapasitas nasional. Perubahan tata
kelola dapat dilakukan untuk memperkuat peran negara dan pengelolaan migas yang
menjamin transparansi. Peran industri penunjang dan partisipasi daerah
penghasil juga harus semakin terbuka. Perubahan UU Migas secara drastis hanya
melahirkan ketidakpastian dan membuat investor menahan diri.
Revisi seyogianya disusun untuk
memajukan Indonesia dan mengantisipasi demokratisasi yang semakin menguat,
bukan malah mundur ke era monopoli dan pemusatan kekuasaan. ●
thanks buat artikelnya sob :)
BalasHapus