Cermin Kok
Dibelah
BS Mardiatmadja SJ ; Rohaniwan
|
KOMPAS,
8 Oktober 2012
Anak yang diduga membunuh murid SMA Negeri 6
Jakarta sudah ditangkap. Banyak orang bertepuk tangan. Perlukah? Ya, sebab
sebentar lagi ia akan dapat diadili dan dihukum. Kalau bisa seberat mungkin:
untuk ”efek jera”. Cukupkah? Jangan-jangan kita sekadar membelah cermin, walau
sebenarnya ”buruk muka” kita.
Seorang ahli pendidikan di suatu radio swasta
berkali-kali menegaskan bahwa ”anak-anak kita adalah cermin kita—para
orangtua—sendiri. Tingkah laku anak adalah cermin tingkah laku orangtua”.
Apakah penyelesaian ”buruk muka” hanya dengan ”cermin dibelah”? Cukup
edukatifkah kita kalau—seperti dikatakan seorang pejabat tinggi di
televisi—”kita sikat”?
Cermin Masyarakat Kita
Sudah sejak lama ”dunia pendidikan” kita
dipermasalahkan. Baik Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (yang dikoreksi
sesudah dimaklumkan, tanpa peduli protes rakyat sebelum dibicarakan di DPR), kurikulum
persekolahan, gurunya, dan bahkan kementeriannya. Juga para ”pendidik luar
sekolah”-nya, mulai dari orangtua dalam keluarga, petugas kampung, pelayanan
publik, media, DPR, para pemimpin negara, dan pemuka agama.
Tentu saja, pelaku kejahatan, pembunuh,
perampok, dan koruptor harus diadili dan dihukum. Memang orang cenderung
”menyederhanakan” urusan juga pendidikan yang rumit; apalagi dalam pemerintahan
dan dunia politik serta ekonomi yang cenderung pragmatis; mau menyelesaikan
masalah secara praktis.
Selesai? Tidak! Di balik itu, seluruh jajaran
persekolahan sebenarnya ikut bertanggung jawab, bahkan jajaran pendidik.
Bukankah dalam prinsip hukum ada tuntutan bahwa ”complices” juga harus kena
hukuman?
Kita perlu ingat bahwa murid hanya empat jam
sehari bertemu dengan guru. Sesudah itu (selama 20 jam) mereka dididik oleh
sopir, pengendara bus, pekerja rumah tangga, polisi lalu lintas,
karyawan/karyawati toko, penyusun sinetron/film, menteri dan pemuka agama; dan
yang terpenting adalah bapak-ibu. Apakah semua complices itu tidak harus
dihukum juga? Begitu kalau pendekatan kita dengan hukuman.
Acquaviva pada abad ke-16 sudah mendesak
supaya murid dan guru mementingkan hubungan batin justru demi perkembangan
intelektualitas mereka. Seorang tokoh pendidik Jawa pada abad ke-19 menegaskan
supaya anak menyatu dengan guru atas dasar karakter yang baik. Ki Hadjar
Dewantara meminta agar diciptakan taman-taman belajar; bukan kursus-kursus
dengan sejenis kurikulum yang menonjolkan hafalan. Hal serupa dicoba di Kayutanan,
Sumatera Barat. John Dewey sudah lama menekankan perlunya relasi
inter-subyektif positif antara murid dan guru, bukan pertama-tama administratif
dan legalistik.
Banyak murid kita kehilangan relasi kasih
dalam keluarga dan sering teronggokkan dalam sistem persekolahan yang
menonjolkan otak (termasuk dalam apa yang diakukan sebagai pengajaran agama).
Tak jarang mereka bahkan tidak secara utuh belajar dari tokoh pendidik yang
meminta perhatian untuk pendidikan perasaan, pencerdasan musik, kepekaan atas gerak
batin, keunggulan relasi antarsubyek, kedalaman refleksi rohani.
Segi-segi pembelajaran yang ditawarkan Howard
Gardner itu memang sulit diperhatikan oleh sistem persekolahan yang adalah
”pabrik sertifikat-ijazah massal” dan ”gudang borang-borang”, serta menjejali
anak dengan belasan mata-ajar yang menuruti saja aneka permintaan publik tanpa
dikaji secara metodik-didaktik. Terlewatkanlah pewarisan prinsip-prinsip dasar
pendalaman ilmu, digantikan ratusan kepingan teknik aplikasi dan
kontekstualisasi pengetahuan. Dengan cara itu, terkikislah saat berharga untuk
berandai-andai demi mencintai dan memperdalam ilmu antara murid dan guru, yang
diserobot waktu dan kesibukannya untuk rapat dan penataran guna mengisi
borang-borang.
Apalagi di luar kelas/sekolah, murid dijejali
suapan lain, yang dapat menimbulkan banyak konflik batin. Sulitlah memahami,
mengapa murid harus mengikuti aturan, kalau di jalan mereka menyaksikan
bagaimana polisi dan rakyat kebanyakan diburu- buru ketatnya transportasi
sehingga bukan hanya membiarkan, melainkan bahkan mendorong pelanggaran aturan.
Bingunglah murid yang harus belajar sesuai pranata dan mempersiapkan kelas,
kalau sedikit sekali guru yang melakukannya secara serius.
Sukarlah murid memakai logika yang benar
kalau perdebatan di DPR lebih sering dimuati emosi dan interupsi yang tidak
sopan, kalau tayangan televisi memperlihatkan sidang pengadilan yang memaparkan
logika amburadul, kalau tayangan pengajaran agama di media sering juga tidak
logis dan merangsang kebencian. Tak mudahlah anak tak boleh tertidur di kelas
atau ruang ceramah kalau mereka dipaksa bangun pagi buta demi lalu lintas para
bapak-ibu, dan juga tak disapa dengan bahasa anak-anak oleh aneka pidato
seperti pada Hari Anak Nasional.
Masyarakat yang Sakit
Rupanya benar pendapat: perilaku murid kita
adalah cermin tindakan dan sikap orang-orang yang lebih tua dalam masyarakat
dan agama. Salahkah si cermin kalau memantulkan gambar yang terpampang di depan
mereka secara apa adanya? Jangan-jangan kemarahan sejumlah orang adalah tanda
bahwa tingkah lakunya justru secara gamblang terpampang dalam anak-anak kita
sendiri. Sebutan lain adalah ”itulah proyeksi dari kritik diri”.
Murid yang membunuh teman memang perlu
ditindak dan dihukum sesuai usia dan sifat pendidikan. Bila tidak
dipertimbangkan dan diputuskan dengan bijaksana, tidaklah perlu disesali kalau
bulan depan akan ada anak mati lagi karena dicelurit temannya atau korban
kebejatan orang dewasa. Menghukum itu mudah, mendidik itu maharumit. Apalagi
kalau tugas guru direcoki oleh orangtua yang tak terdidik atau pelayan publik
yang merusak tata susila, atau pemuka agama yang kurang peka, atau pengaturan
kementerian yang membanjiri guru/dosen dengan lautan tugas administratif
sehingga guru tak punya cukup waktu untuk interaksi subyek-subyek dengan murid.
Masalah tawuran dan kenakalan remaja adalah
cermin keadaan masyarakat sendiri. Murid nakal bukan akar masalah, tetapi
korban masalah kemasyarakatan. Saling menyiksa antarmurid sampai saling bunuh
adalah cermin dari masyarakat yang mudah melakukan ”pembunuhan karakter”,
merangsang kebencian, menghancurkan sportivitas, memalsukan kerohanian dengan
topeng kepentingan ekonomis/politis, dan sejenisnya.
Sayang kalau kita memecah
cermin karena lalu kita tak bisa/berani melihat wajah awak yang buruk juga.
Marilah kita buka kedok retorika dan statistik yang menonjolkan Indonesia yang
anonim dan impersonal, sehingga mendapat pujian semu dari luar negeri.
Jadi, catatan utama adalah ”cermin kok
dibelah”, padahal ”muka yang buruk”. Pun kalau orang luar negeri dengan sopan
memuji seakan-akan kita ini cantik atau tampan berkat kosmetik dan kemasan yang
akan lapuk dimakan masa. Sebab, yang dibunuh dan dihancurkan adalah murid,
pemuda-pemudi, anak- anak kita; bukan sekadar beberapa nomor induk sekolah
(rendah-menengah-tinggi), obyek tindak administratif atau materi pengumpulan
data. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar