Budaya Gotong
Royong ala Pancasila
Haryono Suyono ; Mantan
Menko Kesra dan Taskin
|
SUARA
KARYA, 01 Oktober 2012
Hari ini, tanggal 1 Oktober 2012, adalah Hari Kesaktian Pancasila.
Dengan berbekal kesaktian dan semangat Pancasila, kita bisa mengentaskan
kemiskinan melalui penyegaran hidup saling peduli, gotong-royong dan tindakan
nyata pro keluarga miskin.
Bangsa kita dewasa ini sudah maju pesat dan makin mampu untuk
saling berbagi. Apabila mau saja, dengan tindakan sederhana, tetapi nyata dan
ikhlas, untuk anak bangsa yang terpuruk, akan dengan mudah mengubah seluruh
bangsa ini bangkit mandiri menjadi bangsa besar sejajar dengan bangsa-bangsa
lain di dunia. Kita tidak perlu malu untuk dengan rendah hati kembali kepada
cita-cita para pendiri bangsa, mengakui bahwa dewasa ini budaya gotong-royong
yang digali dan ingin dijadikan pedoman untuk kehidupan bangsa, tidak
seluruhnya dikembangkan dan dijadikan pedoman pembangunan bangsa.
Gerakan pembangunan perlu disegarkan kembali, dengan pertama-tama
menghidupkan budaya gotong royong bukan hanya melalui pidato saja, tetapi
dengan keteladanan oleh para pemimpin dan panutan bangsa, dan utamanya oleh
anak bangsa yang kehidupannya sudah lebih mapan berkat perjuangan para
pendahulu bangsa. Contoh-contoh nyata kehidupan gotong-royong perlu dikobarkan
dan diangkat tinggi-tinggi kepermukaan.
Salah satu upaya yang dewasa ini yang mendapat perhatian sangat
luas di kalangan masyarakat adalah pembentukan forum atau pos pemberdayaan
keluarga (posdaya) di desa-desa dan pedukuhan-pedukuhan. Di dalam forum atau
pos pemberedayaan itu, seluruh anak bangsa diajak bergabung, membicarakan
masalah bukan sekedar untuk dibeberkan sebagai tontonan, tetapi masyarakat
diajak bekerja gotong-royong mencari penyelesaian dan bekerja cerdas, mandiri
dan keras menyelesaikan masalah yang dihadapi dan mengantar serta mendukung
keluarga terpuruk di wilayahnya menjadi keluarga sejahtera.
Keluarga miskin yang mempunyai anak balita diajak mengirim anak
balitanya ke Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), bukan diantar oleh orangtuanya,
ibunya atau bapaknya, tetapi dianjurkan agar para penduduk lanjut usia di
daerahnya, kakek atau neneknya, atau kakek dan nenek tetangganya, mengantar dan
menunggu anak balita itu belajar bersama guru-guru tercinta di pusat-pusat
pendidikan tersebut.
Tujuannya, memupuk saling kerja sama agar pasangan muda yang
sedang membangun dapat mempersiapkan diri bekerja dan memperoleh pendapatan
yang cukup untuk bekal hidup yang lebih mandiri. Penduduk lanjut usia membangun
kepedulian dan kasih sayang kepada tiga generasi, yaitu anak-anak, dewasa dan
sesama lansia, serta ikut mempersiapkan masa depan bangsa dengan kebanggaan.
Dalam semangat gotong-royong berbasis Pancasila, pertama-tama
perlu diupayakan agar tidak ada seorang pun anak usia sekolah yang tidak
sekolah. Masalahnya, bukan sekolah gratis atau sekolah unggulan, tetapi seperti
ditegaskan dalam falsafah Pancasila, adalah keadilan untuk semua dan persiapan
menjadi sejahtera bagi anak bangsa secara merata.
Karena itu, keluarga yang tergabung dalam posdaya harus sepakat
berjuang keras agar semua anak usia sekolah, utamanya anak keluarga miskin,
dapat dibantu untuk sekolah setinggi-tingginya, agar kelak dapat memotong
rantai kemiskinan yang secara kultural menjadi bagian hidup dari generasi ke
generasi berikutnya tanpa ada akhir. Keluarga mampu dengan semangat
gotong-royong mengangkat anak keluarga kurang mampu tanpa harus memindahkannya
ke rumah, tetapi cukup dengan menjamin agar anak-anak keluarga miskin bisa
sekolah dengan baik.
Dalam semangat Pancasila itu pula, keluarga miskin dan telantar
perlu dijamin agar tetap sehat, bukan hanya dengan memberi kesempatan berobat
gratis, tetapi utamanya memberi fasilitasi untuk mencegah agar setiap keluarga
memahami budaya hidup sehat dan mencegah penyakit secara dini. Mereka
diharapkan hidup dengan gizi yang mencukupi. Biarpun halaman rumahnya sempit,
tetapi setiap keluarga dapat mengubahnya menjadi kebun bergizi yang setiap kali
bisa dipetik hasilnya untuk makanan sehari-hari. Halaman sempit dikembangkan
dengan tanaman bertingkat sehingga asupan sayur dan bahan makanan bergizi
menjadi lebih murah dan memberi manfaat yang tinggi.
Hidup gotong-royong dapat
dilakukan dengan mengangkat keluarga miskin dan anak-anaknya yang sudah dewasa
menjadi pekerja magang dalam usaha ekonomi sebagai awal dari upaya menjadikan
mereka pengusaha baru di masa depan. Hal itu bermakna menularkan semangat
entrepreneur dan kemandirian pada masa depan anak anak muda sebagai bagian dari
anak bangsa dengan usaha yang mandiri dan menguntungkan. Semangat Pancasila
mengharuskan setiap anak bangsa yang mampu bukan mematikan usaha baru, tetapi
justru menjadikannya mitra usaha yang didukung dan didorong untuk maju.
Pengembangan koperasi Centra Kulakan Posdaya di Bantul, Kulon
Progo dan Pacitan adalah contoh awal, di mana suatu centra kulakan yang
dikelola oleh koperasi primer, tujuannya bukan untuk menjadi warung eceran yang
besar dan laris, tetapi keberhasilannya justru diukur dari pelayanannya kepada
warung-warung kecil milik atau yang dikelola oleh keluarga miskin yang bekerja
sama dengan keluarga mampu di desa.
Keluarga miskin menjadi mitra keluarga mampu di pedesaan dan
diantar melalui kerja keras dan disiplin tinggi untuk mengelola warung, yang
menjamin supply barang kebutuhan
pokok kepada keluarga di sekitarnya. Kalau upaya ini berhasil, tidak mustahil
keluarga miskin yang bekerja keras dengan disiplin itu akhirnya mampu memotong
rantai kemiskinan.
Semangat gotong-royong menjadi basis kerja sama yang lebih erat
antara keluarga mampu dan keluarga miskin. Kalau ini bisa ditularkan ke daerah
lain, tidak mustahil budaya dan semangat Pancasila kembali menjadi pedoman yang
ampuh untuk mengantar masa depan bangsa yang lebih sejahtera. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar