Pancasila dan
Superioritas Pangan
Fuad Nur Azis ; Mahasiswa Beasiswa Unggulan Magister Pertanian
Universitas
Jenderal Soedirman
|
SUARA
KARYA, 01 Oktober 2012
Semenjak menapaki era reformasi, superioritas
bangsa ini dalam urusan pangan mulai memudar dan luntur. Jangankan untuk
membanggakan diri dalam kawasan regional ASEAN, upaya untuk pemenuhan kebutuhan
dalam negeri sendiri pun masih pasang surut dan kembang kempis. Hal tersebut berimbas
kepada babak belurnya negara, anggaran negara (APBN) dan rakyat karena menjadi
korban dari gempuran luar (asing) terkait kurang tepatnya kebijakan politik
superioritas pangan yang diambil pemerintah.
Jika keadaan seperti ini terus dibiarkan, bukan
hal mustahil, perlahan-lahan pendiskreditan terhadap pemerintah dapat terjadi.
Tentunya ini akan merugikan banyak pihak dan juga bangsa Indonesia sendiri,
karena legitimasi pemerintah dalam hal pangan baik di mata rakyat ataupun
negara lain akan hilang.
Tak bisa dipungkiri bahwa pengikisan
suprioritas tersebut disebabkan oleh beberapa hal internal dan eskternal
semisal bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, efek perubahan lingkungan (global warming), dan semakin lesunya
dunia industri agraria di Indonesia, baik yang berskala besar maupun kecil.
Jika menilik luas wilayah Indonesia dan latar
belakang Indonesia sebagai negara agraris, pelunturan dan pengikisan
superioritas pangan Indonesia saat ini merupakan sebuah ironi parsial.
Bandingkan dengan era pembangunan Indonesia di masa Orde Baru manakala
Indonesia mampu mengangkat kepala dengan tegak karena pencapaian dalam urusan
pangan.
Tetapi yang terjadi saat ini justru
kebalikannya. Di saat teknologi semakin maju, dan geliat pembangunan semakin
pesat, justru berdampak pada konvergensi bias pembangunan urban yang berujung
semakin tersudutnya sektor agraria. Selain itu, persoalan ekonomi dan sosial
juga menjadi permasalahan tersendiri yang mengakibatkan lesunya industri
agraria di Indonesia.
Tercatat, sejak 2003 hingga 2012 telah terjadi
penyusutan lahan pertanian sebanyak 1,5 juta hektar (ha). Alih fungsi lahan
pertanian seperti ini mempunyai efek samping yang sangat besar. Sebanyak 750
ribu petani beralih profesi ke sektor lain. Ditambah lagi, Industri perbankan yang
sebelumnya mempunyai andil besar dalam hajat hidup industri agraria Indonesia,
kini perlahan-lahan mulai menarik diri dan berpaling pada sektor properti yang
dianggap lebih menjual dan lebih cepat mengembalikan keuntungan.
Kucuran kredit segar untuk sektor properti yang
sangat timpang bila dibandingkan dengan kredit untuk pertanian dan sepinya
peminat investor untuk menanamkan modalnya dalam industri agraria semakin
mematikan denyut nadi industri agraria nasional dan menghambat kesuperioritasan
Indonesia dalam urusan pangan.
Sektor pangan memainkan posisi dan peranan
penting dalam perekonomian dunia, dan tak terkecuali dalam perekonomian
Indonesia. Hal ini dapat terlihat pada neraca penyumbang utama penyebab inflasi
dalam negeri selama Januari-Mei 2012, di mana mayoritas penyumbang utamanya
berasal dari sektor pangan berupa komoditas hortikultura. Tercatat, dalam dua
triwulan di 2012 ini, mayoritas penyumbang terbesar inflasi perbulanannya
disumbangkan dari sektor agraria, terutama komoditas hortikultura, seperti
cabai, bawang, dan beras.
Selain itu, menurut laporan data kinerja dari
kementerian pertanian, kontribusi sektor pertanian di luar perikanan dan
kehutanan, pada tahun 2011 mengambil porsi 11,88 persen dari Produk Domestik
Bruto (PDB) nasional. Sedangkan apabila digabung secara keseluruhan, kontribusi
sektor pangan di tahun 2011 memberikan porsi sekitar 30 persen atau senilai
sekitar Rp 1.500 triliun bagi PDB Nasional.
Di sisi lain, sektor pangan juga memainkan
peranan penting dalam upaya pemerintah mengurangi tingkat pengangguran dalam
negeri. Porsi yang diambil pun terbilang lumayan, yakni sekitar 44 persen dari
total kesempatan kerja nasional, dan ini tersebar mulai dari sektor industri
agribisnis, pertanian atau bahkan manufaktur yang bergerak dalam bidang pangan
seperti makanan dan minuman. Dan, selain itu, setidaknya terdapat lebih dari
sekitar 90 persen kesempatan peluang kerja yang terkait dengan bisnis di sektor
pangan.
Hal ini tak lepas dari vitalnya peran rumah
tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang memiliki rata-rata konsumsi
pangan sekitar 47 persen. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240
juta lebih penduduk, perputaran perekonomian negara dapat ditopang melalui
sektor pangan sebagai komplemen penunjang hajat hidup manusia.
Oleh karenanya, potensi ini harus dimanfaatkan
dengan seksama. Berbagai cara dapat dilakukan, misalnya, dengan mulai
merevitalisasi industri pangan, mempermudah pengucuran kredit untuk sektor
pangan, ekstensifikasin dan intensifikasi industri sektor agraria dan pangan,
atau bahkan dengan menambahkan lahirnya ahli-ahli di bidang agraria dan
industri sektor pangan melalui stimulus pemberian program beasiswa unggulan.
Sebagai refleksi Hari Kesaktian Pancasila, kesuperioritasan sebuah negara yang berdikari
dalam urusan pangan merupakan sebuah tuntutan dan keharusan. Sebagaimana
unsur-unsur dan nilai-nilai yang terkandung dalam bait demi bait bulir bulir
pancasila. Bahkan, penegasan keharusan negara untuk superior dalam urusan
pangan sangat terlihat jelas dengan pemberian dan simbolisasi bulir pancasila
dalam sila kelima yang dilambangkan dengan padi dan kapas.
Penggunaan padi dan
kapas memberikan makna mendalam tapi juga meluas, karena di dalamnya tersirat
pesan yang sejatinya diperuntukkan oleh pendiri bangsa ini kepada calon-calon
pemimpin bangsa di masa depan untuk selalu mengutamakan dan mengedepankan
elemen pangan sebagai kekuatan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar