Tulus Abadi, ANGGOTA
PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA, ANGGOTA DEWAN TRANSPORTASI
KOTA JAKARTA
SUMBER : KORAN TEMPO, 14 Maret 2012
"Siap tindak lanjut, perlu waktu
pelan-pelan, tapi yakinlah saya tegas dalam memberi sanksi." Begitu pesan
pendek (SMS) yang penulis terima dari Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia
(PT KAI) terkait dengan implementasi larangan merokok di kereta api. SMS
Direktur Utama PT KAI itu merupakan respons atas SMS penulis tentang pengaduan
konsumen di kereta api Kahuripan tujuan Kediri, yang di dalamnya masih
ditemukan adanya orang merokok di kereta api, dan didiamkan oleh petugas kereta
api (kondektur).
Merokok di kereta api umumnya hal yang jamak dilakukan, bukan
hanya oleh penumpang kereta api, tapi juga awak kereta api, seperti kondektur,
atau bahkan masinis saat menjalankan kereta. Penumpang kereta api eksekutif
antarkota pun akan menyempatkan diri merokok di sepanjang perjalanan, sekalipun
harus menyelinap di antara bordes (sambungan gerbong). Namun, berdasarkan
Instruksi Direksi PT KAI Nomor 4/LL.006/KA-2012, yang diberlakukan per 1 Maret
2012, siapa pun dilarang merokok di kereta api, termasuk para awak kereta api.
Sudah bisa diduga, beleid baru manajemen PT
KAI melahirkan reaksi publik. Bagi yang kontra, kebijakan ini dinilai melanggar
hak (asasi) perokok. Karena itu, biar adil, mereka meminta manajemen PT KAI
menyediakan gerbong khusus untuk merokok. Sebuah permintaan yang tak mungkin
dipenuhi. Bagi yang pro, upaya inovatif manajemen PT KAI disambut dengan
gegap-gempita bak "mimpi indah" untuk mendapatkan pelayanan kereta
api yang nyaman, aman, selamat, dan manusiawi bagi penggunanya. Salah satunya
terbebas dari racun asap rokok.
Dalam konteks normatif, upaya manajemen PT
KAI tersebut mempunyai sandaran yang amat kuat. Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan jelas menegaskan angkutan umum adalah area kawasan tanpa
rokok. Demikian halnya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2003 tentang
Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang mengukuhkan hal yang sama.
"Haram" hukumnya menyediakan smoking room di dalam angkutan
umum. Relevan dengan hal itu, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mengamanatkan konsumen sebagai pengguna barang dan/atau jasa (kereta
api) mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan.
Pelaku usaha (PT KAI) pun wajib menyediakan
jasa yang memenuhi standar. Bahkan PT KAI sebagai sarana angkutan publik juga
tunduk pada UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam
undang-undang tersebut ditegaskan, organisasi pelayanan publik (PT KAI) wajib
membuat standar pelayanan, dan standar pelayanan itu wajib dimaklumatkan. Lebih
konkret lagi, sebagai tindak lanjut UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan juga mewajibkan adanya standar
pelayanan minimal (SPM) bagi sektor perkeretaapian, baik SPM di area stasiun
maupun di kereta api.
Larangan merokok di kereta api sejatinya juga
mengantongi dukungan sosiologis yang amat kuat. Berbagai survei yang dilakukan
oleh banyak institusi mengindikasikan hal itu. Misalnya, survei oleh YLKI
(2008) terhadap 1.000 responden di Jakarta (400 di antaranya perokok), 88
persen mendukung ditegakkannya larangan merokok di tempat umum. Bahkan, relevan
dengan hal itu, menurut survei YLKI di sepuluh kota di Indonesia (di delapan
provinsi), lebih dari 75 persen mendorong pemerintah agar serius melindungi
perokok pasif yang selama ini sering menjadi korban perokok aktif saat berada
di tempat-tempat umum. Maka, pada konteks normatif dan/atau sosiologis, upaya
manajemen PT KAI itu mempunyai legitimasi yang amat kokoh. Nyaris tak ada ruang
untuk menolaknya!
Kendati mempunyai legitimasi kokoh, bukan
perkara mudah menegakkan ketentuan ini. Bahkan bak menegakkan benang basah!
Mengapa? Secara sosiologis, bahkan kultural, masyarakat Indonesia adalah friendly
smoking. Tak kurang dari 68 juta rakyat Indonesia adalah perokok aktif
(sekitar 30 persen dari total populasi). Bahkan dua dari tiga laki-laki dewasa
di Indonesia adalah perokok. Dengan konfigurasi statistik semacam itu, sangat
boleh jadi lebih dari 30 persen penumpang kereta api adalah perokok. Apalagi
lamanya waktu tempuh kereta api menjadi tantangan tersendiri bagi perokok untuk
tidak merokok di sepanjang perjalanan. Namun, khususnya bagi penumpang muslim,
hal itu bukanlah kendala berarti, karena toh pada saat Ramadan, bisa berpuasa
merokok hingga lebih dari 14 jam!
Konklusi
Diperlukan konsistensi yang tinggi dan sanksi
tegas bagi pelanggarnya, sebagaimana dikatakan Direktur Utama PT KAI. Tanpa
itu, aturan manajemen PT KAI hanya akan menjadi macan kertas dan bahkan menjadi
bahan tertawaan belaka. Selain itu, diperlukan contoh konkret dari awak kereta
api. Janganlah awak kereta api memberi contoh buruk dengan melanggar ketentuan
ini (merokok di kereta api). Fenomena kolusi antara oknum petugas dan konsumen
yang melanggar juga harus dihindari. Namun yang tak boleh dilupakan adalah
bagaimana manajemen PT KAI melibatkan masyarakat dan penumpang kereta untuk
turut mengontrol pelaksanaan di lapangan.
Tanpa partisipasi masyarakat, ketentuan ini
tak akan efektif. Petugas kereta api sangat terbatas, dan bukan hal yang
berlebihan jika masih diragukan komitmennya. Idealnya, manajemen PT KAI
menyediakan akses seluas mungkin bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam
pengawasan. Jika perlu, masyarakat yang terlibat aktif diberi reward,
misalnya tiket gratis naik kereta api. Akses itu bukan hanya berupa telepon hotline
service atau kotak surat, tapi juga akses via jejaring sosial, semacam
Facebook dan Twitter. Sudah saatnya negara ini memfasilitasi terwujudnya
"mimpi indah" pelayanan kereta api yang nyaman, aman, selamat, dan
manusiawi bagi konsumennya, bukan malah sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar