Minggu, 25 Maret 2012

BBM dan Bayang-Bayang Kemiskinan


BBM dan Bayang-Bayang Kemiskinan
Posman Sibuea, Guru Besar Tetap di Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan
Unika Santo Thomas SU Medan
SUMBER : SINAR HARAPAN, 24 Maret 2012



Kado pahit dari pemerintah kepada rakyatnya di awal April mendatang adalah kenaikan harga BBM bersubsidi. Dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan pemerintah baru-baru ini, kenaikan harga jual BBM bersubsidi dipatok Rp 1.500 per liter. Artinya, harga Premium dan solar naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter. 

Hasil kajian ilmiah dari aspek sosial ekonomi dan fiskal, meski terjadi penghematan subsidi BBM nasional Rp 31,58 triliun, kenaikan harga BBM Rp 1.500 per liter akan menimbulkan tambahan inflasi dan penurunan daya beli. 

Konsekuensi logis kebijakan ini telah mengundang reaksi dari banyak kalangan. Harga barang-barang kebutuhan pokok yang dipastikan bakal naik dan beban yang ditanggung masyarakat akan kian berat, dan tidak berhenti di situ.

Kenaikan inflasi akan menggiring jutaan penduduk Indonesia yang semula berada di sekitar garis kemiskinan menjadi miskin dan yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi semakin miskin (the depth of poverty).

Secara kasatmata jumlah warga Indonesia yang masih hidup di bawah bayang-bayang kemiskinan masih besar, berkisar 13 persen. Ini menunjukkan target penurunan kemiskinan belum tercapai. Padahal, imbas krisis global dan kenaikan harga BBM yang segera dieksekusi sudah pasti mengatrol jumlah orang miskin di Indonesia.

Penduduk miskin di Indonesia jumlahnya masih sekitar 31 juta orang. Target pemerintah menurunkan angka kemiskinan menjadi 11,5 persen pada 2012 bakal sulit terealisasi. Tidak hanya itu, para pengamat ekonomi memprediksi pengurangan angka kemiskinan menjadi 7,5 persen pada 2015 sesuai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) untuk Indonesia juga tidak akan tercapai. 

Faktor yang akan mendorong laju penurunan angka kemiskinan yang kian melambat adalah terpuruknya daya saing ekonomi Indonesia dan tingginya angka inflasi yang diungkit oleh naiknya harga berbagai kebutuhan pokok yang dipicu kian mahalnya harga BBM dan tarif dasar listrik. 

Tidak pelak lagi, semua kenaikan kebutuhan pokok ini berdekatan pula dengan tahun ajaran baru sekolah yang membutuhkan biaya besar untuk biaya masuk siswa baru, membeli buku, dan peralatan sekolah lainnya. 

Pemerintah patut mengakui kegagalannya selama ini meningkatkan kesejateraan warganya. Daya beli merosot tajam. Untuk memperoleh sembako saja kian sulit, dan kalaupun ada harga sudah melambung tinggi. Lebih separuh rakyat Indonesia yang miskin hidup di perdesaan yang merupakan basis pertanian.

Padahal revitalisasi pertanian yang dikumandangkan pemerintah pada 2005 diyakini dapat memperkokoh ketahanan pangan, dan membangun perdesaan untuk menciptakan lapangan kerja, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat  pedesaan yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia. 

Ironis, ketika pemerintah acap menyebut-nyebut dalam pidato politiknya tentang pertumbuhan ekonomi 2011 yang mencapai 6,5 persen, nilai tukar petani–yang merupakan salah satu indikator kesejahteraan petani–justru menurun secara konsisten setiap tahun.

Bersamaan dengan itu, di saat pemerintah bernyanyi tentang swasembada beras, konsumen dan petani harus membeli beras dengan harga yang semakin mahal.

Kurang di Segala Hal

Kita menghuni negeri yang penuh ironi, yakni negeri yang memiliki segalanya namun mengalami kekurangan banyak hal. Kita memiliki lautan yang luas dan kaya dengan segala jenis ikan, tetapi rakyat masih banyak mengalami gizi buruk karena jarang mengonsumsi ikan.

Kita juga dikaruniai minyak bumi yang berlimpah, tetapi minyak tanah kerap hilang dari kehidupan “wong cilik” dan hidupnya kerap diteror ledakan tabung gas.

Kita kembali menjadi bangsa yang bergelut dan berkubang dengan urusan sembako, mulai dari beras, minyak tanah, minyak goreng, telur, hingga cabe. Jika terlalu lama menjadi bangsa sembako, harga paling mahal yang harus dibayar adalah kita kian jauh tertinggal dalam human development yang bermuara pada terbengkalainya peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pencapaian Visi Indonesia 2030.   

Meski pemerintah menyebutkan jumlah penduduk miskin tahun 2011 menurun 1,0 persen dibandingkan 2010, namun kenyataan ini menjadi hal paradoks di tengah ketidakberhasilan pemerintah menstabilkan harga kebutuhan pokok sehingga beban masyarakat kian berat. Patut diduga jumlah warga yang mengalami pemiskinan makin bertambah.

Meski di tingkat makro kondisi Indonesia membaik, nilai rupiah cenderung menguat terhadap dolar AS, tetapi di tingkat mikro puluhan juta penduduk hidup dalam lilitan kemiskinan. Kemelaratan hidup membalut kehidupan sejumlah besar warga. 

Hingga sekarang belum terlihat adanya grand design pembangunan nasional yang menyeluruh guna perwujudan Visi Indonesia 2030 yang telah diluncurkan sekitar lima tahun lalu.

Suka atau tidak suka, kita dibawa bermimpi. Pada 2030 Indonesia masuk dalam lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan pendapatan per kapita US$ 18.000 per tahun, atau Rp 500.000 per hari dengan kurs Rp 10.000. 

Visi Indonesia 2030 kurang memperhitungkan tantangan riil yang dihadapi warga. Visi memang mimpi, namun ketika visi dibuat dengan mengabaikan faktor yang memengaruhi kualitas sumber daya manusia, visi menjadi utopia.

Jurang antara visi dan realitas terbentang amat lebar. Kemiskinan adalah kenyataan hidup yang dialami sekitar 18,5 juta rumah tangga yang identik dengan 74 juta jiwa.
Ironisnya, setelah 14 tahun reformasi dengan agenda utama memerangi kemiskinan, perilaku koruptif di tengah warga kian membuih karena virusnya menyebar lebih meluas, lebih nekat, dan vulgar. Petugas pajak dengan mudahnya menilap uang rakyat ratusan miliar rupiah yang seharusnya dana itu bisa digunakan untuk pengentasan kemiskinan semisal pemberdayaan masyarakat mengatasi gizi buruk anak sekolah dan ibu hamil.

Kemiskinan dan busung lapar yang ditularkan virus koruptif tidak hanya bersemayam di Benua Afrika yang relatif tandus dan miskin sumber daya alamnya, tetapi sudah bertunas di Indonesia yang dikenal sebagai negeri “gemah-ripah loh jinawi”. Muaranya kualitas SDM Indonesia di masa datang akan mengalami pelapukan.

Jika hal ini dibiarkan terus menggerogoti sel-sel kehidupan warga sudah pasti mengancam pencapaian MDGs 2015. Kondisi sekarang mirip di awal 1960-an, yakni antrean panjang raskin, pemadaman listrik secara bergilir, pengangguran, dan pengimis terus memuai jumlahnya.

Revitalisasi di semua bidang dibutuhkan untuk menginfus vitamin pemberdayaan ke dalam sel kehidupan pembangunan ekonomi nasional agar mampu keluar dari bayang-bayang kemiskinan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar