BBM
dan Bayang-Bayang Kemiskinan
Posman
Sibuea, Guru Besar Tetap di Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan
Unika Santo Thomas SU Medan
SUMBER : SINAR HARAPAN, 24 Maret 2012
Kado pahit dari pemerintah kepada rakyatnya
di awal April mendatang adalah kenaikan harga BBM bersubsidi. Dalam rapat kerja
Komisi VII DPR dengan pemerintah baru-baru ini, kenaikan harga jual BBM
bersubsidi dipatok Rp 1.500 per liter. Artinya, harga Premium dan solar naik
dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter.
Hasil kajian ilmiah dari aspek sosial ekonomi
dan fiskal, meski terjadi penghematan subsidi BBM nasional Rp 31,58 triliun,
kenaikan harga BBM Rp 1.500 per liter akan menimbulkan tambahan inflasi dan
penurunan daya beli.
Konsekuensi logis kebijakan ini telah
mengundang reaksi dari banyak kalangan. Harga barang-barang kebutuhan pokok
yang dipastikan bakal naik dan beban yang ditanggung masyarakat akan kian berat,
dan tidak berhenti di situ.
Kenaikan inflasi akan menggiring jutaan
penduduk Indonesia yang semula berada di sekitar garis kemiskinan menjadi
miskin dan yang berada di bawah garis kemiskinan menjadi semakin miskin (the
depth of poverty).
Secara kasatmata jumlah warga Indonesia yang
masih hidup di bawah bayang-bayang kemiskinan masih besar, berkisar 13 persen.
Ini menunjukkan target penurunan kemiskinan belum tercapai. Padahal, imbas
krisis global dan kenaikan harga BBM yang segera dieksekusi sudah pasti
mengatrol jumlah orang miskin di Indonesia.
Penduduk miskin di Indonesia jumlahnya masih
sekitar 31 juta orang. Target pemerintah menurunkan angka kemiskinan menjadi
11,5 persen pada 2012 bakal sulit terealisasi. Tidak hanya itu, para pengamat
ekonomi memprediksi pengurangan angka kemiskinan menjadi 7,5 persen pada 2015
sesuai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) untuk Indonesia juga tidak akan
tercapai.
Faktor yang akan mendorong laju penurunan
angka kemiskinan yang kian melambat adalah terpuruknya daya saing ekonomi
Indonesia dan tingginya angka inflasi yang diungkit oleh naiknya harga berbagai
kebutuhan pokok yang dipicu kian mahalnya harga BBM dan tarif dasar
listrik.
Tidak pelak lagi, semua kenaikan kebutuhan
pokok ini berdekatan pula dengan tahun ajaran baru sekolah yang membutuhkan
biaya besar untuk biaya masuk siswa baru, membeli buku, dan peralatan sekolah
lainnya.
Pemerintah patut mengakui kegagalannya selama
ini meningkatkan kesejateraan warganya. Daya beli merosot tajam. Untuk memperoleh
sembako saja kian sulit, dan kalaupun ada harga sudah melambung tinggi. Lebih
separuh rakyat Indonesia yang miskin hidup di perdesaan yang merupakan basis
pertanian.
Padahal revitalisasi pertanian yang
dikumandangkan pemerintah pada 2005 diyakini dapat memperkokoh ketahanan
pangan, dan membangun perdesaan untuk menciptakan lapangan kerja, sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan yang menjadi mayoritas
penduduk Indonesia.
Ironis, ketika pemerintah acap
menyebut-nyebut dalam pidato politiknya tentang pertumbuhan ekonomi 2011 yang
mencapai 6,5 persen, nilai tukar petani–yang merupakan salah satu indikator
kesejahteraan petani–justru menurun secara konsisten setiap tahun.
Bersamaan dengan itu, di saat pemerintah
bernyanyi tentang swasembada beras, konsumen dan petani harus membeli beras
dengan harga yang semakin mahal.
Kurang di Segala Hal
Kita menghuni negeri yang penuh ironi, yakni
negeri yang memiliki segalanya namun mengalami kekurangan banyak hal. Kita
memiliki lautan yang luas dan kaya dengan segala jenis ikan, tetapi rakyat
masih banyak mengalami gizi buruk karena jarang mengonsumsi ikan.
Kita juga dikaruniai minyak bumi yang
berlimpah, tetapi minyak tanah kerap hilang dari kehidupan “wong cilik” dan
hidupnya kerap diteror ledakan tabung gas.
Kita kembali menjadi bangsa yang bergelut dan
berkubang dengan urusan sembako, mulai dari beras, minyak tanah, minyak goreng,
telur, hingga cabe. Jika terlalu lama menjadi bangsa sembako, harga paling
mahal yang harus dibayar adalah kita kian jauh tertinggal dalam human
development yang bermuara pada terbengkalainya peningkatan kualitas sumber daya
manusia dalam pencapaian Visi Indonesia 2030.
Meski pemerintah menyebutkan jumlah penduduk
miskin tahun 2011 menurun 1,0 persen dibandingkan 2010, namun kenyataan ini
menjadi hal paradoks di tengah ketidakberhasilan pemerintah menstabilkan harga
kebutuhan pokok sehingga beban masyarakat kian berat. Patut diduga jumlah warga
yang mengalami pemiskinan makin bertambah.
Meski di tingkat makro kondisi Indonesia
membaik, nilai rupiah cenderung menguat terhadap dolar AS, tetapi di tingkat
mikro puluhan juta penduduk hidup dalam lilitan kemiskinan. Kemelaratan hidup
membalut kehidupan sejumlah besar warga.
Hingga sekarang belum terlihat adanya grand
design pembangunan nasional yang menyeluruh guna perwujudan Visi Indonesia 2030
yang telah diluncurkan sekitar lima tahun lalu.
Suka atau tidak suka, kita dibawa bermimpi.
Pada 2030 Indonesia masuk dalam lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan
pendapatan per kapita US$ 18.000 per tahun, atau Rp 500.000 per hari dengan
kurs Rp 10.000.
Visi Indonesia 2030 kurang memperhitungkan
tantangan riil yang dihadapi warga. Visi memang mimpi, namun ketika visi dibuat
dengan mengabaikan faktor yang memengaruhi kualitas sumber daya manusia, visi
menjadi utopia.
Jurang antara visi dan realitas terbentang
amat lebar. Kemiskinan adalah kenyataan hidup yang dialami sekitar 18,5 juta
rumah tangga yang identik dengan 74 juta jiwa.
Ironisnya, setelah 14 tahun reformasi dengan
agenda utama memerangi kemiskinan, perilaku koruptif di tengah warga kian
membuih karena virusnya menyebar lebih meluas, lebih nekat, dan vulgar. Petugas
pajak dengan mudahnya menilap uang rakyat ratusan miliar rupiah yang seharusnya
dana itu bisa digunakan untuk pengentasan kemiskinan semisal pemberdayaan
masyarakat mengatasi gizi buruk anak sekolah dan ibu hamil.
Kemiskinan dan busung lapar yang ditularkan
virus koruptif tidak hanya bersemayam di Benua Afrika yang relatif tandus dan
miskin sumber daya alamnya, tetapi sudah bertunas di Indonesia yang dikenal
sebagai negeri “gemah-ripah loh jinawi”. Muaranya kualitas SDM Indonesia di
masa datang akan mengalami pelapukan.
Jika hal ini dibiarkan terus menggerogoti
sel-sel kehidupan warga sudah pasti mengancam pencapaian MDGs 2015. Kondisi
sekarang mirip di awal 1960-an, yakni antrean panjang raskin, pemadaman listrik
secara bergilir, pengangguran, dan pengimis terus memuai jumlahnya.
Revitalisasi di semua bidang dibutuhkan untuk
menginfus vitamin pemberdayaan ke dalam sel kehidupan pembangunan ekonomi
nasional agar mampu keluar dari bayang-bayang kemiskinan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar