Minggu, 25 Maret 2012

Musuh Presiden

Musuh Presiden
Garin Nugroho, Sutradara Film
SUMBER : KOMPAS, 25 Maret 2012



”Presiden televisi”, inilah julukan bagi presiden yang terpilih di era televisi. Inilah era bahasa televisi menjadi alfabet terbesar masyarakat dunia. Harap mafhum, elite politik hanya akan dikenal di masyarakat, sekiranya mampu hidup di televisi, tidak lagi lewat buku-buku. Dalam buku terkenal Fictional Futures (1988), David Foster Wallace menulis tentang generasi televisi:

”Tak seperti generasi yang lebih tua, kami tak akan punya ingatan tentang dunia, tanpa membicarakan televisi.”

Budaya televisi sebagai kekuatan politik sesungguhnya diawali dengan kejelian Eisenhower yang memilih untuk duduk di studio televisi sebelum berkeliling menemui masyarakat Amerika Serikat. Bahkan, ia membuat iklan bergaya kartun Disney, menggambarkan arak-arakan manusia dan binatang mengusung namanya. Terbukti, sang jenderal sontak dikenal di seluruh Amerika. Eisenhower menjadi presiden pertama Amerika Serikat (1955) yang mengundang kamera televisi ke Gedung Putih saat pelantikan presiden.
Televisi adalah panggung terbesar politik.

Pengadilan Terbesar

Sejarah televisi senantiasa mencatat nama Presiden Nixon. Inilah tokoh politik yang meraih kursi presiden lewat keterampilannya di panggung televisi, tetapi mati dan dimatikan oleh televisi ketika skandal Watergate menjadi berita terpenting sejarah investigasi jurnalisme televisi.

Bisa diduga, televisi menjadi pengadilan terbesar elite politik abad ini. Pengadilan yang langsung masuk ke ruang keluarga-keluarga hingga berbagai ruang publik. Simak proses pengadilan Nazaruddin hingga Angelina Sondakh. Bisa diduga, televisi adalah teknokapitalis berwajah dua bagi presiden beserta aparatnya, yakni menjadi sahabat atau musuh nomor satu.

Namun jangan lupa, sejarah televisi mencatat peristiwa penting ketika televisi-televisi Amerika mendapatkan pengadilannya oleh masyarakatnya sendiri. Sebutlah tahun 1990-an, masyarakat Amerika sangat gusar dengan isi program televisi yang vulgar, konsumtif, penuh kekerasan, serta kehilangan berbagai kode etik yang melekat di televisi sebagai tontonan keluarga dan publik. Masyarakat mengancam akan memboikot produk-produk yang mensponsori program-program televisi yang abai dengan kode etik tersebut.
Alhasil, direktur-direktur televisi meminta maaf kepada publik.

Merampok Demokrasi

Catatan di atas menunjukkan, di negara penuh adab, daya hidup kompetisi antarstasiun televisi, meski berbasis rating meraih perhatian tiap detik, tidak lagi sekadar mengelola hak kebebasan informasi dan ekspresi, tetapi juga berbasis pada kewajiban demokrasi televisi, yakni menjaga beragam kode etik yang melekat di televisi, sebutlah kode etik perlindungan anak, kode etik jurnalistik, kode etik perlindungan konsumen, hingga kode etik hak informasi.

Bisa diduga sekiranya sekarang masyarakat banyak yang merasa gusar terhadap sebagian besar stasiun televisi Indonesia.

”Demokrasi enaknya sendiri, merampok demokrasi....” Inilah keluhan seorang guru merujuk kandungan berita di sebagian televisi Indonesia, yang terus-menerus menyiarkan berbagai bentuk kekerasan, dari demonstrasi hingga perampokan dan kecelakaan, bahkan di ruang waktu tayang keluarga. Di sisi lain, untuk menarik perhatian tiap detik, program televisi menjadi semakin vulgar dan seronok.

Agaknya, di era televisi, ketika televisi menjadi bahasa terpopuler masyarakat, musuh presiden adalah televisi yang merampok demokrasi dengan abai terhadap beragam kode etik yang melekat di televisi.

Sekiranya hal itu terjadi, televisi menjadi pengadilan politik terbesar yang merampok demokrasi atas nama demokrasi itu sendiri! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar