Musuh
Presiden
Garin
Nugroho, Sutradara Film
SUMBER : KOMPAS, 25 Maret 2012
”Presiden televisi”, inilah julukan bagi
presiden yang terpilih di era televisi. Inilah era bahasa televisi menjadi
alfabet terbesar masyarakat dunia. Harap mafhum, elite politik hanya akan
dikenal di masyarakat, sekiranya mampu hidup di televisi, tidak lagi lewat
buku-buku. Dalam buku terkenal Fictional Futures
(1988), David Foster Wallace menulis tentang generasi televisi:
”Tak seperti generasi yang lebih tua, kami
tak akan punya ingatan tentang dunia, tanpa membicarakan televisi.”
Budaya televisi sebagai kekuatan politik
sesungguhnya diawali dengan kejelian Eisenhower yang memilih untuk duduk di
studio televisi sebelum berkeliling menemui masyarakat Amerika Serikat. Bahkan,
ia membuat iklan bergaya kartun Disney, menggambarkan arak-arakan manusia dan
binatang mengusung namanya. Terbukti, sang jenderal sontak dikenal di seluruh
Amerika. Eisenhower menjadi presiden pertama Amerika Serikat (1955) yang
mengundang kamera televisi ke Gedung Putih saat pelantikan presiden.
Televisi adalah panggung terbesar politik.
Pengadilan
Terbesar
Sejarah televisi senantiasa mencatat nama
Presiden Nixon. Inilah tokoh politik yang meraih kursi presiden lewat
keterampilannya di panggung televisi, tetapi mati dan dimatikan oleh televisi
ketika skandal Watergate menjadi berita terpenting sejarah investigasi
jurnalisme televisi.
Bisa diduga, televisi menjadi pengadilan
terbesar elite politik abad ini. Pengadilan yang langsung masuk ke ruang
keluarga-keluarga hingga berbagai ruang publik. Simak proses pengadilan
Nazaruddin hingga Angelina Sondakh. Bisa diduga, televisi adalah teknokapitalis
berwajah dua bagi presiden beserta aparatnya, yakni menjadi sahabat atau musuh
nomor satu.
Namun jangan lupa, sejarah televisi mencatat
peristiwa penting ketika televisi-televisi Amerika mendapatkan pengadilannya
oleh masyarakatnya sendiri. Sebutlah tahun 1990-an, masyarakat Amerika sangat
gusar dengan isi program televisi yang vulgar, konsumtif, penuh kekerasan,
serta kehilangan berbagai kode etik yang melekat di televisi sebagai tontonan
keluarga dan publik. Masyarakat mengancam akan memboikot produk-produk yang
mensponsori program-program televisi yang abai dengan kode etik tersebut.
Alhasil, direktur-direktur televisi meminta
maaf kepada publik.
Merampok
Demokrasi
Catatan di atas menunjukkan, di negara penuh
adab, daya hidup kompetisi antarstasiun televisi, meski berbasis rating meraih
perhatian tiap detik, tidak lagi sekadar mengelola hak kebebasan informasi dan
ekspresi, tetapi juga berbasis pada kewajiban demokrasi televisi, yakni menjaga
beragam kode etik yang melekat di televisi, sebutlah kode etik perlindungan
anak, kode etik jurnalistik, kode etik perlindungan konsumen, hingga kode etik
hak informasi.
Bisa diduga sekiranya sekarang masyarakat
banyak yang merasa gusar terhadap sebagian besar stasiun televisi Indonesia.
”Demokrasi enaknya sendiri, merampok
demokrasi....” Inilah keluhan seorang guru merujuk kandungan berita di sebagian
televisi Indonesia, yang terus-menerus menyiarkan berbagai bentuk kekerasan,
dari demonstrasi hingga perampokan dan kecelakaan, bahkan di ruang waktu tayang
keluarga. Di sisi lain, untuk menarik perhatian tiap detik, program televisi
menjadi semakin vulgar dan seronok.
Agaknya, di era televisi, ketika televisi
menjadi bahasa terpopuler masyarakat, musuh presiden adalah televisi yang
merampok demokrasi dengan abai terhadap beragam kode etik yang melekat di
televisi.
Sekiranya hal itu terjadi, televisi menjadi
pengadilan politik terbesar yang merampok demokrasi atas nama demokrasi itu
sendiri! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar