Sabtu, 24 Maret 2012

Menilai Kualitas Visi Calon Gubernur DKI


Menilai Kualitas Visi Calon Gubernur DKI
  Effnu Subiyanto, Mahasiswa Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
SUMBER : KORAN TEMPO, 24 Maret 2012



Enam pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta periode 2012-2017 akhirnya ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum DKI pada 19 Maret 2012. Calon inkumben Fauzi Bowo masih saja tetap maju, berpasangan dengan Nachrowi Ramli, berbekal restu Partai Demokrat, PAN, Hanura, dan PKB.

Lima pasangan lainnya masing-masing adalah Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), diusung oleh koalisi PDIP-Partai Gerakan Indonesia Raya. Partai Keadilan Sejahtera menjagokan Hidayat Nur Wahid, yang berpasangan dengan Didik J. Rachbini. Calon lain, Alex Noerdin-Nono Sampono, yang diusung Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Damai Sejahtera. Sementara itu, dua pasangan dari jalur perseorangan adalah pasangan Faisal Basri-Biem Benyamin dan Hendardji Soepandji-A. Riza Patria.

Keenam pasangan ini akan bersaing keras untuk menarik simpati sekitar 7,5 juta suara pemilih DKI Jakarta pada Agustus mendatang. Yang menarik dari pemilihan gubernur di DKI kali ini, bukan hanya asli putra daerah DKI yang bertarung, namun tercatat ada beberapa calon yang bukan kelahiran DKI. Apakah ini era berakhirnya kebanggaan putra daerah, sejarah yang akan mencatatnya. Namun, berbekal pengalaman dipimpin pasangan Foke lima tahun ini, putra daerah ternyata tidak mampu menunjukkan perubahan berarti. Jakarta tetap dalam kubangan banjir, terjebak macet, dan ketambahan penduduk miskin urban.

Tidak Berhasil

Apa yang dikampanyekan pasangan Foke sejak memenangi pilkada DKI pada 8 Agustus 2007 dapat dikatakan gagal total, tidak satu pun yang bisa dinilai berhasil. Mendapatkan 57,87 persen suara ternyata tidak menjadi garansi keberhasilan program Foke.

Janji yang tidak bisa dilupakan publik, karena ketika Foke tampil pada media elektronik dalam debat kandidat gubernur, dia berniat mengaplikasikan e-procurement sebelum 2007 berakhir. Implementasi IT dalam birokrasinya diharapkan akan menyelesaikan juga tiga problem utama Jakarta, yakni kemacetan, banjir, dan kemiskinan urban. Namun entah bagaimana rupa e-procurement itu, sampai kini pun tidak jelas. Apalagi mimpi DKI Jakarta untuk men-deploy aturan baru dengan e-government sebagai portal negeri ini ternyata jauh panggang dari api. Ia sama sekali tidak ada, kini barangkali sudah dilupakan.

Fauzi Bowo boleh-boleh saja sangat optimistis, mengingat hampir 30 tahun berpengalaman malang-melintang sebagai pegawai negeri DKI Jakarta, apalagi pendidikan level doktor diperolehnya dari kampus Jerman yang merupakan barometer IT. Namun, yang tidak pernah dipertimbangkan Fauzi--padahal mengaku asli putra daerah adalah bahwa keterkejutan budaya karena implementasi kebijakan yang progresif ternyata kontraproduktif bagi Jakarta.

Tidak semua pebisnis Jakarta paham e-procurement, bahkan survei Bapepam-LK baru-baru ini menyebutkan bahwa 35 persen eksekutif Indonesia memiliki pemahaman yang minim tentang bisnis elektronik pada bursa saham. Data ini tentu mengejutkan, karena pebisnis diklasifikasikan sebagai kelompok yang paham teknologi. Bisa dibayangkan bagaimana tingkat pemahaman IT oleh pegawai negeri kendati mereka ada pada birokrasi DKI Jakarta. Janji di bidang IT oleh Gubernur Foke sekali lagi tidak bisa direalisasi.

Waspada Janji

Kini enam pasangan kandidat Gubernur-Wakil Gubernur DKI juga berjanji-janji pula. Ada yang optimistis, ragu-ragu, dan ada yang spekulatif. Pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono, misalnya, berjanji mampu mengatasi macet dan banjir DKI dalam waktu tiga tahun atau mundur jika tidak berhasil. Masalah keamanan dijanjikan dalam setahun. Juga janji bebas biaya kesehatan dan pendidikan gratis dari SD hingga SMA bagi penduduk DKI.

Pasangan Jokowi-Ahok mempunyai janji (tidak optimistis) perubahan ke arah nyata. Inkumben Fauzi-Nachrowi kini berjanji lebih tidak optimistis, yakni “menata Jakarta”. Pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini tertarik menggarap kemacetan, banjir, dan transportasi. Sementara itu, dua pasangan calon dari jalur perseorangan, Faisal Basri-Biem dan Hendardji-Riza Patria, masing-masing hanya berjanji “merawat Jakarta” dan “peremajaan kota”.

Penduduk DKI Jakarta harus jeli dalam merespons janji para kandidat pemimpinnya, agar tidak bernasib sama dengan era Gubernur Foke. Pilihlah janji yang berkualitas dan memiliki relevansi dengan kondisi DKI Jakarta yang mendesak untuk diperbaiki. Meski misalnya janji itu tidak berhasil direalisasi, minimal sudah dimulai pekerjaan pendahuluan sehingga memuluskan langkah selanjutnya.

Janji Gubernur Foke lima tahun silam yang memimpikan IT sebenarnya tidak buruk, hanya saja sedikit berkorelasi dengan problem kemacetan atau banjir. Kemenangan Foke adalah kecelakaan, dan seharusnya warga DKI Jakarta belajar banyak sejak pemerintahan Foke.

Dari keenam pasangan kandidat gubernur sekarang, pasangan Alex-Nono sepertinya menjanjikan untuk kebutuhan DKI Jakarta, disusul pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini. Tokoh fenomenal Jokowi, kendati sangat berhasil di Solo, tampaknya masih meraba-raba situasi DKI Jakarta. Karena itu, belum begitu menjanjikan banyak.

Kans berikutnya tentu saja dua pasang kandidat perseorangan, kendati sangat tidak yakin melihat dinamisnya politik DKI Jakarta. Kandidat yang berangkat bukan dari parpol akan mengalami lebih banyak tekanan ke depan. Kandidat Fauzi Bowo, yang baru saja bercerai dengan Prijanto, sebaiknya mundur saja. Di samping eranya sudah usai, sudah tidak ada lagi ruang untuk janji kedua. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar