Sosiologi
Kenaikan BBM
Andi
Irawan, Doktor Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor
SUMBER : REPUBLIKA, 26 Maret 2012
Ada
perspektif pandang yang berbeda antara publik dan para elite di pemerintahan dalam
menilai kelayakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Bagi pemerintah,
kenaikan harga BBM adalah keniscayaan yang harus diambil, menimbang kondisi
kenaikan harga BBM dunia yang sudah melampaui asumsi harga BBM pada APBN 2012.
Selain itu juga alasan keadilan karena banyak penikmat BBM adalah masyarakat
menengah ke atas bukan rakyat miskin kebanyakan.
Tetapi,
bagi publik, ada persepsi yang berbeda. Hasil survey LSI (Lingkaran Survei
Indonesia) menunjukkan, 86,6 persen orang menolak kenaikan harga BBM ini. Dan,
menurut hemat kita, penolakan publik yang sedemikian itu punya rasionalisasi
yang kuat.
Sebagaimana
yang diketahui, sudah tiga kali kenaikan harga BBM pada pemerintahan SBY sejak
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I. Kenaikan-kenaikan tersebut terjadi relatif
lancar tanpa gejolak yang berarti karena publik bisa memaklumi sejumlah
argumentasi yang melandasinya.
Tetapi,
untuk fenomena kenaikan saat ini, semua argumentasi yang bisa disampaikan oleh
pemerintah menjadi tidak relevan. Ketidakrelevanan itu karena semua alasan
pembenar yang diutarakan pada tiga kali kenaikan harga BBM sebelumnya, tidak
ada yang di bisa dihadirkan ke hadapan publik sampai saat ini.
Pertama,
penaikkan harga BBM diambil dalam rangka melonggarkan APBN sehingga tersedia anggaran
dalam jumlah yang memadai bagi kalangan miskin untuk kepentingan pendidikan,
kesehatan, proteksi, dan lain-lain.
Tetapi, nyata bahwa kebijakan fiskal pemerintah selama KIB I sampai sekarang
melalui perangkat APBN tidak efektif menyejahterakan orang miskin.
Secara
agregatif, angka-angka kuantitatif makro ekonomi memang menggembirakan.
Perekonomian Indonesia ternyata mampu tumbuh lima sampai 6,5 persen per tahun
sejak KIB I. Tak cuma itu, saat ini pendapatan per kapita kita sudah mencapai
Rp 30,8 juta (3.542,9 dolar AS).
Tetapi,
benarkah prestasi makro ekonomi itu dinikmati merata seluruh warga bangsa? Data
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per September 2011 yang menyatakan terdapat
591.890 rekening premium di perbankan Indonesia dengan isi rata-rata Rp 500
juta ke atas dengan total Rp 1.750,07 triliun.
Bandingkan
dengan jumlah belanja negara dalam APBN 2012 yang hanya lebih kurang Rp 1.435
triliun. Artinya, angka-angka pertumbuhan ekonomi yang dicapai sejak KIB I
sampai saat ini hanya dinikmati oleh segelintir orang yang jumlahnya tidak
mencapai satu juta orang dari penduduk Indonesia.
Kedua,
konsumsi BBM terbesar adalah sektor transportasi. Untuk mengurangi jumlah
konsumsi BBM sektor ini, langkah yang harus dilakukan pemerintah dari sisi
permintaan dalam jangka menengah-panjang adalah mengurangi permintaan domestik
BBM secara signifikan.
Ketiga,
untuk mencukupi kebutuhan domestik ini, pertamina mengimpor 350 ribu barel
minyak mentah setiap hari dan 400 ribu barel produk BBM setiap hari. Impor
minyak mentah dilakukan untuk memenuhi kapasitas pengolahan di kilang pertamina
yang membutuhkan minyak mentah sebanyak 1,05 juta barel per hari. Dari jumlah
total produksi minyak mentah Indonesia, yang diproduksi sendiri oleh Pertamina
dan bagian pemerintah hanya mencapai 650 ribu barel per hari, sisanya merupakan
bagian dari kontraktor bagi hasil.
Seharusnya
sejak awal (2004) atau setidaknya ketika mendapatkan shock harga minyak pertama
di era kepemimpinannya (penghujung tahun 2005), SBY sudah mengkoreksi kebijakan
sisi suplai perminyakan domestik. Seperti, revisi kebijakan bagi hasil dan cost
recovery dari para investor multinational corporation minyak di Indonesia,
konversi BBM ke gas, dan program diversifikasi energi dari bahan bakar fosil ke
bio-fuel.
Tetapi,
implementasi dari kebijakan sisi suplai tersebut tidak tampak nyata dilakukan
oleh pemerintah. Semuanya business as usual, tidak ada terobosan yang nyata.
Sebagai pembanding, Hugo Chavez ketika pertama kali terpilih menjadi Presiden
Venezuela, salah satu langkah pentingnya adalah mengubah kebijakan di bidang
migas. Di antaranya, melipatgandakan royalti yang dikenakan kepada perusahaan
minyak asing.
Dengan
demikian, sangat wajar kalau mayoritas publik tidak sepakat dengan penaikan
harga BBM saat ini.
Dan, kalau kebijakan penaikan harga BBM didukung oleh DPR karena dukungan
partai-partai pemerintah, tidak mustahil penolakan yang masif akan terjadi
melalui parlemen jalanan yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa dan para buruh.
Terlebih,
kalau kita melihat kondisi psikologi massa saat ini. Kekerasan konflik yang
kerap diberitakan media cetak dan eletronik, baik antarmasyarakat, aparat dan
masyarakat, aparat dengan aparat (TNI dan Polri) yang mencerminkan masyarakat
yang mudah untuk dirangsang melakukan kekerasan dan konflik. Kenaikan harga BBM
bisa menaikkan tingkat stres, kegelisahan, dan kekecewaan sosial tersebut. Dan,
itu bisa menciptakan situasi sosial yang kondusif untuk terjadinya
revolusi/gejolak sosial. ●
wah, disini ada materi sosiologi juga..
BalasHapusXD