Dari
Terorisme ke Premanisme
Sarlito
Wirawan Sarwono, Guru Besar
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SUMBER : SINDO, 25 Maret 2012
Hari
Selasa (20 Maret 2012) dini hari, di dua tempat yang berbeda di Denpasar, Bali,
Densus 88 menembak mati lima tersangka teroris karena para tersangka ternyata
bersenjata dan melawan.
Dilaporkan
di media massa bahwa mereka berencana merampok beberapa bank di Bali demi
mengumpulkan dana untuk perjuangan Islam (mereka namakan fa’i). Yang janggal
menurut saya adalah bahwa para tersangka telah memesan lima wanita simatupang
(siang malam tunggu panggilan). Suatu hal yang menurut pengalaman saya sesudah
sekian tahun bergaul dengan para mantan teroris (dalam rangka penelitian
deradikalisasi) tidak akan dilakukan teroris “sejati”seperti Imam Samudra dan
kawankawan.
Noordin M Top menikah beberapa kali di setiap tempat persembunyiannya, tetapi dia tidak akan memesan perempuan- perempuan simatupang. Jadi siapakah mereka yang tewas di Bali itu? Teroris atau preman kriminal biasa? Dua dari lima tersangka, menurut polisi, adalah orang-orang yang masuk DPO (daftar pencarian orang) karena terkait dengan perampokan Bank CIMB Niaga Medan setahun yang lalu (yang menewaskan polisi yang berjaga), yang motifnya adalah fa’i.
Sementara yang menangkap mereka pun Densus 88, bukan polisi biasa. Karena itulah media massa memberi label teroris kepada mereka, padahal ada tiga orang lagi yang kriminal biasa. Mungkin saja kita bisa namakan mereka preman yang jadi teroris atau teroris yang jadi preman.Di zaman sekarang akar bisa meloncat,Golkar bisa jadi Demokrat, dan pedas makanan sampai meringis, pastilah preman bisa jadi teroris.
Masalahnya, secara akademis, dua kelompok ini sangat berbeda.Teroris sudah makin berkurang dan makin bisa dikendalikan oleh polisi. Walaupun makan waktu belasan tahun,tren terorisme jelas menurun.Sebaliknya,premanisme justru makin meningkat dan makin tak terkendali. Tawuran antarpreman minta korban jiwa dan tidak tanggung- tanggung, terjadi di depan umum dan masuk TV.
Mafia Amerika pun masih membunuh musuhnya di tempat sepi. Di Jakarta,geng preman masuk ke Rumah sakit Angkatan Darat dan membacok lawannya sehingga dua tewas. Kelompok Imam Samudra bisa mengebom Kuta dan menewaskan 200 orang, tetapi dia tidak akan membacoki orang yang sedang melayat di rumah sakit.
Terorisme yang selama ini diasosiasikan dengan kelompokkelompok Islam tertentu yang radikal mengikuti prinsipprinsip tertentu yang diyakini oleh para pelakunya sebagai kebenaran. Karena mengikuti ideologi tertentu, maka terorisme, walaupun mungkin samasama meminta korban warga yang tak bersalah, lebih mungkin untuk dianalisis dan ditelusuri sejarah masa lalunya dan kecenderungan perkembangannya di masa depan.
Ketika tumbuh sel-sel baru (seperti Pepy Fernando pelaku Bom Buku), itu pun masih mungkin dilacak kaitan sel-selnya.Karena itu,walaupun dengan susah payah bagaikan gajah yang sedang belajar terbang,lama kelamaan Densus 88 makin pandai dan bisa menguasai situasi agar selalu kondusif (bebas teror).Terbukti, rencana para mantan pelaku perampokan CIMB Medan untuk merampok lagi bisa dipatahkan polisi sebelum terlaksana.
Lain halnya dengan premanisme. Sampai hari ini Polri masih bingung menanganinya. Preman tidak punya ideologi. Dia hanya menjual jasa kekerasan yang bisa dibeli oleh siapa saja: dari bank (sebagai debt collector) sampai kepada bosbos narkoba untuk mengawal distribusi “barang”-nya. Lain kali preman disewa sebagai pembunuh bayaran oleh suami yang cemburu atau untuk menyerbu kantor KPU oleh seorang calon yang kalah pilkada.
Ada kalanya mereka juga melakukan kekerasan sekadar untuk mencari uang untuk makan atau mabuk-mabukan sendiri atau bersama teman-temannya. Preman ini bisa beroperasi sendiri atau dalam kelompokkelompok kecil yang tidak terorganisasi dan sasarannya adalah individu-individu atau anggota masyarakat dalam skala kecil. Tapi preman-preman itu bisa juga terorganisasi secara besar-besaran dan menjadi mafia ala gangster di Chicago.
Di Jakarta mereka bisa berkedok organisasi pemuda, kedaerahan atau agama. Pendek kata bisa tumbuh kapan saja,di mana saja. Perbedaan lain,radikalisme atau terorisme diawali dengan keinginan untuk menegakkan syariat Islam yang tidak terpenuhi. Sejarah radikalisme di Indonesia dimulai sejak proklamasi Negara Islam Indonesia oleh Kartosuwiryo di tahun 1949.
Walaupun gerakan ini sudah ditumpas pemerintah dan Kartowsuwiryo sudah dieksekusi pada 1962, ideologi itu tidak berhenti, melainkan berkembang terus dan muncul dalam berbagai format gerakan radikal sampai sekarang.Biasanya kalau suatu gerakan radikal berhasil ditumpas atau dipadamkan, akan timbul benih baru yang bermutasi bentuknya sehingga perlu penyesuaian lagi untuk memberantasnya.
Sebaliknya premanisme berawal dari masalah pribadi seperti kemiskinan keluarga, putus sekolah,ajakan atau ejekan teman, dendam pribadi,dan sebagainya. Intinya adalah pelarian dari masalah pribadi untuk mencari penyelesaian jalan pintas.Kebetulan dalam penyelesaian singkat itu,individu berkenalan dengan kekerasan dan selanjutnya ia akan menggunakan kekerasan itu sebagai sarana utamanya, bahkan lambat laun terlibat dalam organisasi yang jual jasa kekerasan,mulai jaga parkir, unjuk rasa, sampai debt collector.
Sering kali mereka ini menunjukkan identitas dirinya sebagai preman dengan cara menato tubuhnya.Seakan akan tato adalah “merek dagang” preman. Premanisme tidak akan berkembang kalau tidak didukung oleh situasi yang kondusif untuk tumbuhnya premanisme itu sendiri.
Situasi yang kondusif untuk premanisme antara lain lemahnya aparat keamanan/ kepolisian, adanya pihakpihak yang membutuhkan jasa kekerasan, adanya institusi, lembaga pemerintah, media massa, LSM, dan sebagainya yang justru membenarkan dan mendukung adanya premanisme. Mengundang Hercules di Forum Jakarta Lawyers Club di TV adalah salah satu contoh legitimasi premanisme oleh media massa. Apalagi Kadiv Humas Polri hadir di situ. ***
Preman tidak punya ideologi, apalagi iman.Tujuannya hanyalah hedonistis dengan cara kekerasan. Karena itu pemberantasan premanisme cuma perlu keberanian dan ketegasan. Siapa yang membunuh, merusak, anarkistis, mengancam, dsb ditangkap saja dan dikenai pidana. Jika melawan, laksanakan tindakan represif. Kalau sampai tersangka tewas, inna lillahi wainna ilaihi rajiun (kalau yang tewas itu muslim).
Adanya pelaku kriminal yang tewas masih lebih baik daripada polisi yang tewas. Polri pun sebetulnya sudah menyiapkan unit-unit khusus antipremanisme, jauh sebelum ada Densus 88.Dulu pernah ada Tekab (Tim Khusus Anti-Bandit) dan sekarang di setiap polda dan polres ada Resmob (Reserse Mobil) dan Tim Buser (Buru Sergap) yang tugasnya memang memberantas kejahatan-kejahatan dengan kekerasan dalam tempo singkat.
Maksud Polri tentu untuk mengayomi masyarakat dari ancaman preman, tetapi masyarakatnya sendiri yang malah menyalahkan polisi kalau ada preman yang tewas. Preman itu seperti anak macan. Waktu kecil lucu, bisa diajak main. Tapi sesudah dewasa, mungkin saja ia menerkam tuannya sendiri. ●
Noordin M Top menikah beberapa kali di setiap tempat persembunyiannya, tetapi dia tidak akan memesan perempuan- perempuan simatupang. Jadi siapakah mereka yang tewas di Bali itu? Teroris atau preman kriminal biasa? Dua dari lima tersangka, menurut polisi, adalah orang-orang yang masuk DPO (daftar pencarian orang) karena terkait dengan perampokan Bank CIMB Niaga Medan setahun yang lalu (yang menewaskan polisi yang berjaga), yang motifnya adalah fa’i.
Sementara yang menangkap mereka pun Densus 88, bukan polisi biasa. Karena itulah media massa memberi label teroris kepada mereka, padahal ada tiga orang lagi yang kriminal biasa. Mungkin saja kita bisa namakan mereka preman yang jadi teroris atau teroris yang jadi preman.Di zaman sekarang akar bisa meloncat,Golkar bisa jadi Demokrat, dan pedas makanan sampai meringis, pastilah preman bisa jadi teroris.
Masalahnya, secara akademis, dua kelompok ini sangat berbeda.Teroris sudah makin berkurang dan makin bisa dikendalikan oleh polisi. Walaupun makan waktu belasan tahun,tren terorisme jelas menurun.Sebaliknya,premanisme justru makin meningkat dan makin tak terkendali. Tawuran antarpreman minta korban jiwa dan tidak tanggung- tanggung, terjadi di depan umum dan masuk TV.
Mafia Amerika pun masih membunuh musuhnya di tempat sepi. Di Jakarta,geng preman masuk ke Rumah sakit Angkatan Darat dan membacok lawannya sehingga dua tewas. Kelompok Imam Samudra bisa mengebom Kuta dan menewaskan 200 orang, tetapi dia tidak akan membacoki orang yang sedang melayat di rumah sakit.
Terorisme yang selama ini diasosiasikan dengan kelompokkelompok Islam tertentu yang radikal mengikuti prinsipprinsip tertentu yang diyakini oleh para pelakunya sebagai kebenaran. Karena mengikuti ideologi tertentu, maka terorisme, walaupun mungkin samasama meminta korban warga yang tak bersalah, lebih mungkin untuk dianalisis dan ditelusuri sejarah masa lalunya dan kecenderungan perkembangannya di masa depan.
Ketika tumbuh sel-sel baru (seperti Pepy Fernando pelaku Bom Buku), itu pun masih mungkin dilacak kaitan sel-selnya.Karena itu,walaupun dengan susah payah bagaikan gajah yang sedang belajar terbang,lama kelamaan Densus 88 makin pandai dan bisa menguasai situasi agar selalu kondusif (bebas teror).Terbukti, rencana para mantan pelaku perampokan CIMB Medan untuk merampok lagi bisa dipatahkan polisi sebelum terlaksana.
Lain halnya dengan premanisme. Sampai hari ini Polri masih bingung menanganinya. Preman tidak punya ideologi. Dia hanya menjual jasa kekerasan yang bisa dibeli oleh siapa saja: dari bank (sebagai debt collector) sampai kepada bosbos narkoba untuk mengawal distribusi “barang”-nya. Lain kali preman disewa sebagai pembunuh bayaran oleh suami yang cemburu atau untuk menyerbu kantor KPU oleh seorang calon yang kalah pilkada.
Ada kalanya mereka juga melakukan kekerasan sekadar untuk mencari uang untuk makan atau mabuk-mabukan sendiri atau bersama teman-temannya. Preman ini bisa beroperasi sendiri atau dalam kelompokkelompok kecil yang tidak terorganisasi dan sasarannya adalah individu-individu atau anggota masyarakat dalam skala kecil. Tapi preman-preman itu bisa juga terorganisasi secara besar-besaran dan menjadi mafia ala gangster di Chicago.
Di Jakarta mereka bisa berkedok organisasi pemuda, kedaerahan atau agama. Pendek kata bisa tumbuh kapan saja,di mana saja. Perbedaan lain,radikalisme atau terorisme diawali dengan keinginan untuk menegakkan syariat Islam yang tidak terpenuhi. Sejarah radikalisme di Indonesia dimulai sejak proklamasi Negara Islam Indonesia oleh Kartosuwiryo di tahun 1949.
Walaupun gerakan ini sudah ditumpas pemerintah dan Kartowsuwiryo sudah dieksekusi pada 1962, ideologi itu tidak berhenti, melainkan berkembang terus dan muncul dalam berbagai format gerakan radikal sampai sekarang.Biasanya kalau suatu gerakan radikal berhasil ditumpas atau dipadamkan, akan timbul benih baru yang bermutasi bentuknya sehingga perlu penyesuaian lagi untuk memberantasnya.
Sebaliknya premanisme berawal dari masalah pribadi seperti kemiskinan keluarga, putus sekolah,ajakan atau ejekan teman, dendam pribadi,dan sebagainya. Intinya adalah pelarian dari masalah pribadi untuk mencari penyelesaian jalan pintas.Kebetulan dalam penyelesaian singkat itu,individu berkenalan dengan kekerasan dan selanjutnya ia akan menggunakan kekerasan itu sebagai sarana utamanya, bahkan lambat laun terlibat dalam organisasi yang jual jasa kekerasan,mulai jaga parkir, unjuk rasa, sampai debt collector.
Sering kali mereka ini menunjukkan identitas dirinya sebagai preman dengan cara menato tubuhnya.Seakan akan tato adalah “merek dagang” preman. Premanisme tidak akan berkembang kalau tidak didukung oleh situasi yang kondusif untuk tumbuhnya premanisme itu sendiri.
Situasi yang kondusif untuk premanisme antara lain lemahnya aparat keamanan/ kepolisian, adanya pihakpihak yang membutuhkan jasa kekerasan, adanya institusi, lembaga pemerintah, media massa, LSM, dan sebagainya yang justru membenarkan dan mendukung adanya premanisme. Mengundang Hercules di Forum Jakarta Lawyers Club di TV adalah salah satu contoh legitimasi premanisme oleh media massa. Apalagi Kadiv Humas Polri hadir di situ. ***
Preman tidak punya ideologi, apalagi iman.Tujuannya hanyalah hedonistis dengan cara kekerasan. Karena itu pemberantasan premanisme cuma perlu keberanian dan ketegasan. Siapa yang membunuh, merusak, anarkistis, mengancam, dsb ditangkap saja dan dikenai pidana. Jika melawan, laksanakan tindakan represif. Kalau sampai tersangka tewas, inna lillahi wainna ilaihi rajiun (kalau yang tewas itu muslim).
Adanya pelaku kriminal yang tewas masih lebih baik daripada polisi yang tewas. Polri pun sebetulnya sudah menyiapkan unit-unit khusus antipremanisme, jauh sebelum ada Densus 88.Dulu pernah ada Tekab (Tim Khusus Anti-Bandit) dan sekarang di setiap polda dan polres ada Resmob (Reserse Mobil) dan Tim Buser (Buru Sergap) yang tugasnya memang memberantas kejahatan-kejahatan dengan kekerasan dalam tempo singkat.
Maksud Polri tentu untuk mengayomi masyarakat dari ancaman preman, tetapi masyarakatnya sendiri yang malah menyalahkan polisi kalau ada preman yang tewas. Preman itu seperti anak macan. Waktu kecil lucu, bisa diajak main. Tapi sesudah dewasa, mungkin saja ia menerkam tuannya sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar