Kamis, 15 Maret 2012

Konstitusi dan UU Penyiaran


Konstitusi dan UU Penyiaran
Amir Effendi Siregar, PENGAMAT PENYIARAN DAN DOSEN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
SUMBER : KORAN TEMPO, 14 Maret 2012



Pembahasan Undang-Undang Penyiaran yang baru di Dewan Perwakilan Rakyat kini intensif berlangsung. Sementara itu, sekarang terjadi pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta yang berlebihan. Stasiun berjaringan belum berjalan sebagaimana seharusnya. Sebanyak 10 stasiun nasional dengan ratusan stasiun lokal/relai dikuasai oleh lima badan hukum. Stasiun televisi nasional menguasai daerah. Semua ini dilakukan dengan penafsiran yang keliru terhadap undang-undang, sedangkan regulator sangat lemah. Industri penyiaran, khususnya swasta, berjalan atas prinsip neoliberal.
Indonesia telah memilih demokrasi. Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah berpindahnya kontrol yang terpusat oleh rezim pemerintahan yang otoriter ke dalam pelukan modal lewat pasar bebas yang tidak terkontrol, yang dapat melahirkan otoritarianisme kapital dan akan membunuh demokrasi. Akumulasi kapital itu sah, tapi tidak boleh menghilangkan kesempatan yang lain untuk berkembang. Terlebih lagi bila dilakukan melalui kolaborasi antara birokrasi dan pemilik modal serta kooptasi modal terhadap berbagai pihak.

Dalam penyusunan UU Penyiaran yang baru ini, konstitusi/Undang-Undang Dasar 1945 harus menjadi landasan, juga berlandaskan prinsip universal yang berlaku di dunia demokrasi sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Demokrasi Indonesia

UUD 1945 adalah filsafat dan ideologi negara yang menjadi dasar dan arah untuk membangun Indonesia yang demokratis. Prinsip keadilan mendapat tempat yang sangat penting, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Negeri ini secara tegas menyatakan ingin menegakkan desentralisasi melalui otonomi daerah yang luas sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18, 18A, dan 18B. Selanjutnya, Indonesia tidak hanya menjamin kebebasan berbicara, berpendapat, berorganisasi, dan berpolitik sebagaimana tercantum pada pasal 27, 28, dan 29, tapi juga menjamin hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat sebagaimana tercantum pada pasal 31, 32, 33, dan 34.

Ini memperlihatkan Indonesia seharusnya bergerak dari sistem otoriter yang sentralistis ke sistem demokratis yang desentralistis. Kemudian negeri ini bukanlah negara liberal ortodoks atau neoliberal dan juga bukan diktator otoriter, tapi negara demokrasi yang menjalankan prinsip ekonomi pasar sosial, berlandaskan hukum, serta menekankan pelaksanaan keadilan dan penghargaan terhadap minoritas.

Demokratisasi Media

Indikator sebuah negara yang demokratis adalah terdapatnya jaminan kemerdekaan berekspresi (freedom of expression), kemerdekaan berbicara (freedom of speech), dan kemerdekaan pers (freedom of the press). Namun jaminan terhadap ketiga freedom itu saja tidak cukup. Harus ada jaminan terhadap diversity of voices, diversity of content, dan diversity of ownership.

Jaminan terhadap diversity itu menuntut dan memerlukan pelaksanaan keadilan dan penghargaan terhadap minoritas. Tanpa adanya jaminan terhadap diversity ini, akan terbuka peluang munculnya otoritarianisme kapital serta oligarki atas nama freedom, dan dengan sendirinya akan membunuh demokrasi.

Regulasi Penyiaran

Ada dua macam regulasi, yaitu media yang mempergunakan ranah publik dan yang tidak mempergunakan ranah publik. Lembaga penyiaran televisi diatur secara ketat karena mempergunakan ranah publik, dan frekuensi itu terbatas. Juga siaran televisi dapat menembus ruang keluarga tanpa kita undang. Itu sebabnya, prinsip lex specialis derogat legi generali seharusnya dilakukan. Uraian berikut ini adalah beberapa usul dan masalah penting yang harus mendapat perhatian dalam UU Penyiaran agar sesuai dengan konstitusi dan prinsip di atas.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, untuk Indonesia, sistem yang tepat adalah sistem penyiaran yang berlandaskan stasiun televisi berjaringan dan stasiun lokal. Induk stasiun berjaringan tidak harus terletak di ibu kota negara, tapi juga bisa terdapat dan dibangun di daerah, misalnya ibu kota provinsi. Suatu hari nanti diharapkan lahir puluhan stasiun jaringan, dan ribuan stasiun televisi lokal yang bisa independen, berafiliasi, serta dimiliki jaringan.

Negeri ini memang sudah seharusnya melibatkan kepemilikan lokal dan isi lokal. Bila tidak, UU Penyiaran berpotensi diujimaterikan oleh penduduk lokal karena bertentangan dengan otonomi daerah.

Pengaturan kepemilikan

Pemusatan kepemilikan oleh satu orang atau satu badan hukum terhadap lembaga penyiaran swasta, baik yang merupakan stasiun lokal maupun stasiun berjaringan, harus diatur ketat. Menurut pendapat saya, kepemilikan dan penguasaan oleh seseorang atau suatu badan hukum apa pun serta di tingkat mana pun terhadap lebih dari satu stasiun jaringan harus sangat dibatasi, demikian juga terhadap stasiun televisi lokal.

Pada zaman digital ini, bagaimana pembatasannya? Kombinasi pengaturan yang terjadi di Amerika Serikat dan Australia dapat menjadi contoh. Misalnya, seseorang atau suatu badan hukum apa pun di tingkat mana pun: (1) Boleh memiliki dua stasiun televisi berjaringan, tapi yang kedua harus berada di kota lain dan tidak boleh berada pada peringkat ke-1 sampai ke-4 dalam penerimaan iklan secara nasional; (2) Boleh memiliki banyak stasiun televisi lokal melalui stasiun televisi jaringan atau badan hukum apa pun selama jangkauan siaran dari stasiun televisi yang dimilikinya tidak melebihi 75 persen penduduk Indonesia (15 persen berada di daerah ekonomi belum maju); (3) Dilarang memiliki dan menguasai lebih dari satu stasiun televisi lokal di satu wilayah siaran. Pengaturan berdasarkan daya jangkau terhadap penduduk ini sudah mampu mengatasi dan mengakomodasi perkembangan teknologi digital.

Regulator Penyiaran

Di negara demokrasi, regulator utama penyiaran adalah lembaga negara independen sebagaimana FCC di Amerika, Ofcom di Inggris, ACMA di Australia, ICASA di Afrika Selatan, serta CSA di Prancis dan banyak negara demokrasi lainnya. Demikian juga seharusnya di Indonesia, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI tidak hanya mengurus soal isi, tapi juga hal-hal yang berhubungan dengan penyiaran, termasuk memberikan izin penyiaran. Pemerintah mengurus infrastruktur dan alokasi frekuensi. Selanjutnya, berpindah tangannya sebuah perusahaan melalui jual-beli saham pengendali seharusnya dilaporkan dan mendapat izin dari regulator penyiaran.

Digitalisasi

Penyiaran kini memasuki era digitalisasi, yang karena itu akan ada dua lembaga penyiaran: (1) lembaga penyiaran yang menyediakan berbagai macam program, dan (2) lembaga penyiaran yang menyalurkan program-program, yaitu lembaga penyelenggara multiplexing. Untuk menjamin terselenggaranya penyiaran yang demokratis, seharusnya penyelenggara multiplexing ini adalah sebuah badan usaha yang independen dan profesional: bisa merupakan konsorsium dari banyak banyak badan usaha atau badan usaha milik negara. Negara harus mengontrol dan tidak melepaskannya begitu saja kepada pasar.

Apa yang disebut dengan netralitas isi media juga harus jelas dan tegas, termasuk batasan intervensi pemilik atas berita yang disiarkan. Sebagaimana kita ketahui, para pemodal dan pemilik stasiun televisi yang mempergunakan ranah publik ini juga mempergunakan stasiun televisinya untuk kepentingan pribadi, termasuk politik.

Lembaga Penyiaran Publik

TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik harus diperkuat, baik melalui undang-undang terpisah maupun berada dalam satu undang-undang bersama lembaga penyiaran lainnya. Sebagaimana dinyatakan oleh World Radio and Television Council (2002), lembaga ini bukanlah lembaga komersial ataupun dikontrol oleh pemerintah. Alasan utama kehadirannya adalah melayani publik. Ini lembaga independen milik publik. Ia berbicara kepada setiap warga negara, serta memberikan akses dan partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Ia memberikan dan mengembangkan pengetahuan serta membantu masyarakat agar lebih memahami dirinya dan dunia sekitarnya.

Lembaga ini diharapkan menjadi alternatif dan penyeimbang lembaga penyiaran swasta, bukan sebagai pesaing. Itu sebabnya, undang-undang yang baru nanti harus mengatur secara terperinci, jelas, lengkap, dan tegas agar transformasi yang saat ini belum terjadi dengan baik dapat berjalan tuntas. Semoga negeri ini segera memiliki undang-undang penyiaran yang maju dan demokratis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar