Konstitusi
dan UU Penyiaran
Amir Effendi Siregar, PENGAMAT
PENYIARAN DAN DOSEN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
SUMBER : KORAN TEMPO, 14 Maret 2012
Pembahasan Undang-Undang Penyiaran yang baru
di Dewan Perwakilan Rakyat kini intensif berlangsung. Sementara itu, sekarang
terjadi pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta yang berlebihan. Stasiun
berjaringan belum berjalan sebagaimana seharusnya. Sebanyak 10 stasiun nasional
dengan ratusan stasiun lokal/relai dikuasai oleh lima badan hukum. Stasiun
televisi nasional menguasai daerah. Semua ini dilakukan dengan penafsiran yang
keliru terhadap undang-undang, sedangkan regulator sangat lemah. Industri
penyiaran, khususnya swasta, berjalan atas prinsip neoliberal.
Indonesia telah memilih demokrasi. Sayangnya,
yang terjadi saat ini adalah berpindahnya kontrol yang terpusat oleh rezim
pemerintahan yang otoriter ke dalam pelukan modal lewat pasar bebas yang tidak
terkontrol, yang dapat melahirkan otoritarianisme kapital dan akan membunuh demokrasi.
Akumulasi kapital itu sah, tapi tidak boleh menghilangkan kesempatan yang lain
untuk berkembang. Terlebih lagi bila dilakukan melalui kolaborasi antara
birokrasi dan pemilik modal serta kooptasi modal terhadap berbagai pihak.
Dalam penyusunan UU Penyiaran yang baru ini,
konstitusi/Undang-Undang Dasar 1945 harus menjadi landasan, juga berlandaskan
prinsip universal yang berlaku di dunia demokrasi sebagaimana diuraikan di
bawah ini.
Demokrasi Indonesia
UUD 1945 adalah filsafat dan ideologi negara
yang menjadi dasar dan arah untuk membangun Indonesia yang demokratis. Prinsip
keadilan mendapat tempat yang sangat penting, yaitu kemanusiaan yang adil dan
beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negeri ini secara tegas menyatakan ingin menegakkan
desentralisasi melalui otonomi daerah yang luas sesuai dengan UUD 1945 Pasal
18, 18A, dan 18B. Selanjutnya, Indonesia tidak hanya menjamin kebebasan
berbicara, berpendapat, berorganisasi, dan berpolitik sebagaimana tercantum
pada pasal 27, 28, dan 29, tapi juga menjamin hak ekonomi, sosial, dan budaya
masyarakat sebagaimana tercantum pada pasal 31, 32, 33, dan 34.
Ini memperlihatkan Indonesia seharusnya
bergerak dari sistem otoriter yang sentralistis ke sistem demokratis yang
desentralistis. Kemudian negeri ini bukanlah negara liberal ortodoks atau
neoliberal dan juga bukan diktator otoriter, tapi negara demokrasi yang
menjalankan prinsip ekonomi pasar sosial, berlandaskan hukum, serta menekankan
pelaksanaan keadilan dan penghargaan terhadap minoritas.
Demokratisasi Media
Indikator sebuah negara yang demokratis
adalah terdapatnya jaminan kemerdekaan berekspresi (freedom of expression),
kemerdekaan berbicara (freedom of speech), dan kemerdekaan pers (freedom
of the press). Namun jaminan terhadap ketiga freedom itu saja tidak
cukup. Harus ada jaminan terhadap diversity of voices, diversity of content,
dan diversity of ownership.
Jaminan terhadap diversity itu
menuntut dan memerlukan pelaksanaan keadilan dan penghargaan terhadap
minoritas. Tanpa adanya jaminan terhadap diversity ini, akan terbuka
peluang munculnya otoritarianisme kapital serta oligarki atas nama freedom,
dan dengan sendirinya akan membunuh demokrasi.
Regulasi Penyiaran
Ada dua macam regulasi, yaitu media yang
mempergunakan ranah publik dan yang tidak mempergunakan ranah publik. Lembaga
penyiaran televisi diatur secara ketat karena mempergunakan ranah publik, dan
frekuensi itu terbatas. Juga siaran televisi dapat menembus ruang keluarga
tanpa kita undang. Itu sebabnya, prinsip lex specialis derogat legi generali
seharusnya dilakukan. Uraian berikut ini adalah beberapa usul dan masalah
penting yang harus mendapat perhatian dalam UU Penyiaran agar sesuai dengan
konstitusi dan prinsip di atas.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah,
untuk Indonesia, sistem yang tepat adalah sistem penyiaran yang berlandaskan
stasiun televisi berjaringan dan stasiun lokal. Induk stasiun berjaringan tidak
harus terletak di ibu kota negara, tapi juga bisa terdapat dan dibangun di
daerah, misalnya ibu kota provinsi. Suatu hari nanti diharapkan lahir puluhan
stasiun jaringan, dan ribuan stasiun televisi lokal yang bisa independen,
berafiliasi, serta dimiliki jaringan.
Negeri ini memang sudah seharusnya melibatkan
kepemilikan lokal dan isi lokal. Bila tidak, UU Penyiaran berpotensi
diujimaterikan oleh penduduk lokal karena bertentangan dengan otonomi daerah.
Pengaturan kepemilikan
Pemusatan kepemilikan oleh satu orang atau
satu badan hukum terhadap lembaga penyiaran swasta, baik yang merupakan stasiun
lokal maupun stasiun berjaringan, harus diatur ketat. Menurut pendapat saya,
kepemilikan dan penguasaan oleh seseorang atau suatu badan hukum apa pun serta
di tingkat mana pun terhadap lebih dari satu stasiun jaringan harus sangat
dibatasi, demikian juga terhadap stasiun televisi lokal.
Pada zaman digital ini, bagaimana
pembatasannya? Kombinasi pengaturan yang terjadi di Amerika Serikat dan
Australia dapat menjadi contoh. Misalnya, seseorang atau suatu badan hukum apa
pun di tingkat mana pun: (1) Boleh memiliki dua stasiun televisi berjaringan,
tapi yang kedua harus berada di kota lain dan tidak boleh berada pada peringkat
ke-1 sampai ke-4 dalam penerimaan iklan secara nasional; (2) Boleh memiliki
banyak stasiun televisi lokal melalui stasiun televisi jaringan atau badan
hukum apa pun selama jangkauan siaran dari stasiun televisi yang dimilikinya
tidak melebihi 75 persen penduduk Indonesia (15 persen berada di daerah ekonomi
belum maju); (3) Dilarang memiliki dan menguasai lebih dari satu stasiun
televisi lokal di satu wilayah siaran. Pengaturan berdasarkan daya jangkau
terhadap penduduk ini sudah mampu mengatasi dan mengakomodasi perkembangan
teknologi digital.
Regulator Penyiaran
Di negara demokrasi, regulator utama
penyiaran adalah lembaga negara independen sebagaimana FCC di Amerika, Ofcom di
Inggris, ACMA di Australia, ICASA di Afrika Selatan, serta CSA di Prancis dan
banyak negara demokrasi lainnya. Demikian juga seharusnya di Indonesia, yaitu
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI tidak hanya mengurus soal isi, tapi juga
hal-hal yang berhubungan dengan penyiaran, termasuk memberikan izin penyiaran.
Pemerintah mengurus infrastruktur dan alokasi frekuensi. Selanjutnya, berpindah
tangannya sebuah perusahaan melalui jual-beli saham pengendali seharusnya
dilaporkan dan mendapat izin dari regulator penyiaran.
Digitalisasi
Digitalisasi
Penyiaran kini memasuki era digitalisasi,
yang karena itu akan ada dua lembaga penyiaran: (1) lembaga penyiaran yang
menyediakan berbagai macam program, dan (2) lembaga penyiaran yang menyalurkan
program-program, yaitu lembaga penyelenggara multiplexing. Untuk
menjamin terselenggaranya penyiaran yang demokratis, seharusnya penyelenggara multiplexing
ini adalah sebuah badan usaha yang independen dan profesional: bisa merupakan
konsorsium dari banyak banyak badan usaha atau badan usaha milik negara. Negara
harus mengontrol dan tidak melepaskannya begitu saja kepada pasar.
Apa yang disebut dengan netralitas isi media
juga harus jelas dan tegas, termasuk batasan intervensi pemilik atas berita
yang disiarkan. Sebagaimana kita ketahui, para pemodal dan pemilik stasiun
televisi yang mempergunakan ranah publik ini juga mempergunakan stasiun
televisinya untuk kepentingan pribadi, termasuk politik.
Lembaga Penyiaran Publik
TVRI dan RRI sebagai
lembaga penyiaran publik harus diperkuat, baik melalui undang-undang terpisah
maupun berada dalam satu undang-undang bersama lembaga penyiaran lainnya.
Sebagaimana dinyatakan oleh World Radio and Television Council (2002), lembaga
ini bukanlah lembaga komersial ataupun dikontrol oleh pemerintah. Alasan utama
kehadirannya adalah melayani publik. Ini lembaga independen milik publik. Ia
berbicara kepada setiap warga negara, serta memberikan akses dan partisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat. Ia memberikan dan mengembangkan pengetahuan
serta membantu masyarakat agar lebih memahami dirinya dan dunia sekitarnya.
Lembaga ini diharapkan menjadi alternatif dan
penyeimbang lembaga penyiaran swasta, bukan sebagai pesaing. Itu sebabnya,
undang-undang yang baru nanti harus mengatur secara terperinci, jelas, lengkap,
dan tegas agar transformasi yang saat ini belum terjadi dengan baik dapat
berjalan tuntas. Semoga negeri ini segera memiliki undang-undang penyiaran yang
maju dan demokratis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar