Langit
Makin Mendung
Ikrar
Nusa Bhakti, Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs,
LIPI
SUMBER : KOMPAS, 26 Maret 2012
Judul artikel ini diilhami oleh tulisan Ki
Pandji Kusmin dalam majalah Budaya yang diasuh HB Jassin, awal 1970-an. Tulisan
yang menimbulkan kegegeran tersebut bergaya satire, mengambil latar pertengahan
1960-an, sebelum prahara menimpa Indonesia.
Berbeda dengan tulisan Ki Pandji Kusmin yang
menggambarkan tokoh suci dalam agama tertentu menengok daerah ”Planet Senen”
(dulu daerah pelacuran) di Jakarta, artikel saya semata-mata analisis politik
murni.
Mengapa artikel ini saya beri judul ”Langit
Makin Mendung”? tak lain karena situasi politik menjelang 1 April 2012—tanggal
ditetapkannya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)—bagaikan cakrawala yang
diselimuti awan yang makin hari makin gelap.
”Mendung” dalam bahasa sastra bisa berarti
suasana hati yang sedang sedih atau galau. Jika langit makin mendung, hati ini
terasa miris. ”Mendung” dari segi teori politik adalah suasana yang dapat
membuat cara berpikir kita menjadi tidak jernih. Seorang analis politik berbeda
dengan orang awam atau para aktor politik, diharapkan meletakkan emosinya
serendah mungkin karena emotion can cloud judgement (emosi bagaikan awan yang
dapat menyelimuti penilaian kita).
Mendung
Makin Gelap
Mari kita lihat betapa ”mendung” sudah
semakin gelap menyelimuti suasana batin dan pikiran para aktor di pemerintahan
dan oposan, termasuk mahasiswa yang sejak dulu merupakan kekuatan moral. Hanya
gara-gara kenaikan harga minyak mentah dunia yang makin lama makin melambung
tinggi—mencapai lebih dari 100 dollar AS per barrel—pemerintah sudah kalang
kabut membuat berbagai skenario: mulai dari pembedaan harga buat angkutan umum
dan mobil pribadi, pengurangan subsidi, sampai menaikkan harga bensin Premium
menjadi Rp 6.000 per liter. Anehnya, di sisi lain pemerintah selalu
membangga-banggakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia naik menjadi 6,5 persen
dan cadangan devisa kita juga terus meningkat dan cukup untuk impor hingga enam
bulan mendatang.
Lebih aneh lagi, pemerintah selalu mengatakan
bahwa subsidi BBM sudah amat membebani anggaran negara. Subsidi harus dikurangi
demi pencapaian tujuan-tujuan nasional yang lebih luhur. Tetapi, tahukah Anda
bahwa subsidi BBM hanya 8,5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN)?
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Jero Wacik juga berwacana, menaikkan harga BBM tak ada kaitannya dengan
politik. Padahal, kita semua tahu keputusan apa pun yang dibuat pemerintah—apakah
itu terkait dengan ekonomi, budaya, atau pertahanan—adalah keputusan politik
pemerintah! Apakah nalar Pak Menteri sudah diselimuti oleh mendung gelap
sehingga pilihan kata dalam kalimatnya pun menjadi kacau?
Anehnya, meski pemerintah berupaya memotong
anggaran berjalan 2012 pada setiap instansi pemerintah 8-10 persen, bahkan
perwakilan kita di luar negeri konon dipotong sampai 37 persen, pemerintah
malah membeli pesawat kepresidenan yang aduhai mewahnya. Instansi pemerintah,
termasuk lembaga pemerintah non-kementerian, juga masih membeli mobil-mobil
mewah buat para pejabat eselon I, sementara anggaran buat penelitian, seminar
ilmiah, atau kegiatan lainnya dipotong demi BBM.
Tampaklah bahwa para pejabat pemerintah tak
mau kehilangan kenikmatan jabatan di tengah situasi ekonomi yang menyulitkan
rakyat sekalipun! Nalar jernih para pemimpin kementerian dan lembaga pemerintah
non-kementerian rupanya memang diselimuti mendung!
Makin mengherankan lagi, Menteri ESDM Jero
Wacik baru-baru ini menyatakan di sebuah acara televisi bahwa pemerintah tidak
dapat berbuat apa-apa terhadap para kontraktor minyak asing yang memiliki hak
mengekspor minyak sebagai bagian bagi hasil mereka. Di tengah semakin
meningginya harga minyak dunia, adalah mengherankan apabila pemerintah sama
sekali tidak memiliki kemampuan untuk bernegosiasi agar minyak digunakan untuk
kebutuhan dalam negeri saja. Apakah kita sudah tidak lagi memiliki kedaulatan
di negeri sendiri?
Pertanyaan lain, tidak dapatkah kita, sebagai
negara anggota Non-Blok, membeli minyak dari Iran atau Venezuela dengan harga
yang jauh lebih rendah daripada harga pasar? Mengapa kita tidak melakukan
diplomasi minyak lebih apik lagi? Apakah kita memang sudah benar-benar menjadi
”kaki tangan AS” yang tak mampu bergerak sedikit pun?
Akal
Sehat Menghilang
Dalam menghadapi gelombang demonstrasi
mahasiswa pun, bukan pendekatan dialogis yang dikedepankan pemerintah,
melainkan pendekatan militeristis dengan menggunakan polisi dan tentara sebagai
penjaga kepentingan penguasa. Kalaupun ada dialog, semua dilakukan secara tidak
langsung (communication by proxy), yakni antara Menteri Koordinator
Perekonomian dan Forum Rektor dan bukan langsung antara para menteri ekonomi
dan mahasiswa, seperti yang dilakukan pemerintahan Presiden Soekarno dan
Presiden Soeharto. Sudah tidak punya akal sehat dan nyalikah pemerintah dalam
menghadapi demo mahasiswa?
Sebaliknya, para penentang pemerintah dan
sebagian mahasiswa juga terselimuti nalar sehatnya oleh mendung. Mereka
membakar foto dan menggemakan kata-kata ”Lawan”, ”Serbu”, atau ”Jatuhkan Rezim
SBY-Boediono”. Seolah sudah tertutup bagi mahasiswa untuk melakukan dialog
terbuka dengan pemerintah.
Memang, tidak semua pandangan para penentang
pemerintah itu salah. Teman saya, Airlangga Pribadi—dosen di FISIP Universitas
Airlangga yang sedang mengambil program doktor di Murdoch University,
Australia—mengirim berbagai data ke saya. Ternyata Presiden SBY pada 2009
pernah gembar-gembor bahwa negeri ini merdeka dari utang IMF. Ternyata, utang
luar negeri kita pada 2007 mencapai Rp 1.389 triliun, pada 2008 Rp 1.367
triliun, pada 2009 Rp 1.591 triliun, pada 2011 menjadi Rp 1.803 triliun, dan
pada 2012 menjadi Rp 1.937 triliun. Angka-angka kemiskinan dan pengangguran
juga ”disulap sedemikian rupa” agar kemiskinan dan pengangguran tidak tampak.
Para mahasiswa juga sudah capai mengupayakan
dialog dengan pemerintah sehingga demonstrasi adalah cara yang tersisa untuk
menyatakan tuntutan. Kita berharap kemarahan mahasiswa dan rakyat tidak
berujung pada kekerasan dan perusakan. Kita juga berharap tidak akan ada
aktor-aktor politik yang berupaya kembali kepada ”romantisisme” masa lalu,
yakni menyatukan antara kekuatan moral mahasiswa, kekuatan rakyat, kekuatan
ekonomi, dan kekuatan tentara untuk menggulingkan pemerintahan yang terpilih
secara demokratis.
Di mata penulis, ”Ibu Pertiwi belum hamil
tua” sehingga tidak perlu dilakukan operasi caesar yang hanya akan melahirkan
bayi yang prematur. Keadaan ekonomi, politik, sosial, dan keamanan kita masih
kondusif. Tentara juga tidak dalam situasi kepentingan politik yang berbeda
dengan pemerintah seperti pada 1965.
Rezim yang sedang berkuasa juga tidak dalam
keadaan fatique atau lelah sehingga tidak perlu terjadi perpecahan di dalam
yang dapat menghancurkan rezim seperti 1998. Kita tak ingin terjadi prahara
baru di negeri ini. Karena itu, kita berharap pemerintah dan para penentangnya
lebih mengutamakan ”bicara” ketimbang ”senjata”. Hanya dengan dialog negeri ini
terhindar badai dampak awan hitam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar