Senin, 26 Maret 2012

Osama, Azzam, dan Qutb di Mata Siswa SMP dan SMU

Osama, Azzam, dan Qutb
di Mata Siswa SMP dan SMU
Syaefudin Simon, Periset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian, Jakarta
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 26 Maret 2012



OSAMA bin Laden telah tewas. Pemimpin organisasi teroris Al Qaeda itu diserbu pasukan elite antiteror AS, Seal Team Six (ST6), beberapa bulan lalu di Kota Abbottabad, Pakistan. Dalam serbuan kilat itu, Osama, istri muda, dan anaknya tewas. Osama sendiri tertembak di kepala sehingga langsung mati. Tak ada satu pun negara yang mau menerima mayatnya. Jasad Osama pun akhirnya dikubur di laut oleh tentara AS. Semua orang sudah tahu siapa Osama bin Laden dan bagaimana sepak terjangnya. Namun, tak banyak orang yang tahu siapa mentor dan pembimbing Osama. Juga, siapa pula yang menginspirasi tindakan terorisme tersebut.

Azzam dan Qutb

Ketika Rudy Harisyah Alam, salah seorang peneliti dari Badan Litbang Kemenag, mengusulkan nama Osama bin Laden, Abdullah bin Azzam, dan Sayyid Qutb sebagai bagian dari sejumlah indikator pengenalan `terorisme dan tokoh-tokohnya' untuk survei radikalisme di SMP, SMU, dan guru pendidikan agama Islam (PAI) seJabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), Oktober 2010 sampai Januari 2011, beberapa peneliti menanyakan, “Siapa Abdullah bin Azzam dan apa hubungan Sayyid Qutb dengannya?“ Mungkinkah siswa kelas 8 dan 9 SMP, siswa SMU, dan guru PAI mengenal dua nama (Azzam dan Qutb) tersebut?

Rudy menjelaskan, jika siswa SMP, SMU, dan guru PAI itu orang-orang yang tertarik dengan radikalisme dan siap berjuang untuk menegakkan negara Islam dengan jalan apa pun, termasuk terorisme, mereka niscaya akan mengenal kedua tokoh tersebut. Menurut Rudy, posisi Abdullah bin Az zam sangat istimewa dalam gerakan terorisme karena ia mentor Osama bin Laden.

Buku-buku karya Abdullah Azzam saat ini menjadi `buku wajib' untuk kelompok-kelompok radikal di Indonesia. Banyak buku karya Azzam yang diterbitkan di Surakarta, Jawa Tengah, disebar ke Poso dan Aceh.

Lalu siapa Sayyid Qutb? Ternyata, penulis tafsir Fii Dzilaalil Qur'an itu ulama yang memberi inspirasi terorisme kepada Azzam dan Bin Laden.
Baik Azzam maupun Osama menganggap Qutb sebagai tokoh ulama panutan. Atas dasar itulah Rudy yakin bila seseorang punya niat untuk melakukan jihad guna mendirikan negara Islam, pikiran Azzam dan Qutb pasti merupakan referensi utamanya.

Entah bermaksud akan mendirikan negara Islam atau tidak, salah satu buku pegangan untuk kader sebuah partai berbasis Islam di Indonesia adalah buku-buku tentang perjuangan dan jihad karya Sayyid Qutb. Dari fakta itu, AM Hendropriyono­-mantan Kepala BIN dan penulis buku Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam--sering menuduh partai tersebut tidak nasionalis karena cita-cita mereka ialah mendirikan negara Islam. Meski tuduhan Hendropriyono itu ditepis tokoh-tokoh elite partai tersebut, kader-kader partai itu setidak-tidaknya telah mengenal pikiran-pikiran Qutb yang cenderung ekstrem tadi dan memakainya sebagai panduan untuk menggerakkan partai.

Kembali ke Rudy, ide untuk mencantumkan nama Abdullah bin Azzam dan Sayyid Qutb sebagai indikator dalam survei radikalisme di LaKIP akhirnya diterima. Setelah kuesioner disebar ke sekolah-sekolah (SMP dan SMU) serta guru PAI (baca: 590 dari 1639 guru PAI dan 993 dari 611.878 siswa di Jabodetabek), hasilnya ternyata cukup mengejutkan: tingkat pengenalan siswa dan guru terhadap Osama, Azzam, dan Qutb masing-masing 39,1% dan 82% (Osama); lalu 7% dan 14,1% (Azzam), dan 4% dan 59,2% (Qutb). Adapun tingkat (Qutb). Adapun tingkat dukungan (kesetujuan) siswa dan guru terhadap ketiga tokoh radikal tersebut ma sing-masing 15,4% dan 22,3% (Osama), lalu 4,8% dan 7,9% (Azzam), dan 2,3% dan 44,4% (Qutb). dan 44,4% (Qutb).

Dari keseluruhan survei, rata-rata tingkat pengenalan dan kesetujuan guru dan siswa terhadap tokoh-tokoh radikal (termasuk tokoh-tokoh radikal lain di samping Osama, Azzam, dan Qutb yang tak bisa disebutkan dalam tulisan ini karena bersifat konfidensial) mencapai 26,6% dan 69,2% (pengenalan) serta 13,4% dan 23,8% (kesetujuan). Hasil penting lain dari survei LaKIP, ternyata persentase tingkat dukungan siswa terhadap organisasi dan tokoh radikal dalam melaksanakan aksi-aksi kekerasan yang berkaitan dengan agama lebih tinggi ketimbang guru PAI. Sebanyak 14,2% siswa menye tujui tindakan pengeboman seperti dilakukan Imam Samu dra, Amrozi, dan kawan-kawannya, sedangkan dukungan guru terhadap hal yang sama hanya 7,5%.

Apa yang bisa kita katakan terhadap siswa dan guru pendidikan agama Islam itu? Masa depan Indonesia mengkhawa tirkan! Meski persentase jumlah mereka yang cenderung radikal itu kecil bila dikaitkan dengan jumlah siswa SMP, SMU, dan guru PAI yang ada di Jabodetabek yang jumlahnya masing-masing 1.639 dan 611.678, jumlah siswa dan guru PAI yang cenderung radikal sebetulnya amat besar. Sebagai gambaran, guru PAI di Jabodetabek yang mendukung tindakan Osama bin Laden mencapai 22,3% dari populasi atau sekitar 365 orang, sedangkan siswanya 15,4% dari populasi, menca pai 94.198 orang. Kalau saja yang setuju tindakan Osama bin Laden melakukan demo di Jakarta, jumlah mereka mencapai hampir 94.563 orang. Itu sebuah jumlah yang bisa memenuhi Jalan Thamrin, Jakarta.

Memang survei ini dilakukan di wilayah Jabodetabek. Akan tetapi kalau kita sepakat bahwa Jabodetabek merupakan etalase dan cermin Indonesia, hasil survei tadi sedikit banyak merupakan etalase dan cermin Indonesia juga. Bila itu yang terjadi, masa depan Indonesia sa ngat rawan terorisme, kecuali bila pemerintah mampu mencegah kecenderungan radikalisme ter EBET sebut dengan desain dan program aksi yang sistematis, strategis, dan berkelanjutan.

Banyak pihak tidak setuju dengan hasil survei LaKIP tersebut. Menag Suryadarma Ali, misalnya, selalu mempertanyakan metode survei tersebut, padahal metode survei yang dilakukan LaKIP juga dilakukan Litbang Kemenag dalam melaksanakan survei yang temanya nyaris sama pada 2007 di wilayah Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Hasilnya nyaris sama, bahwa masyarakat Indonesia makin radikal. Bedanya, hasil survei LaKIP dipublikasikan, sedangkan hasil survei Kemenag disembunyikan.

Kini Osama telah tiada. Untuk sementara masyarakat internasional bisa bernapas lega. Namun, jangan pernah berpikir terorisme akan berhenti setelah pemimpinnya tewas. Ideologi terorisme akan tetap hidup bila menemukan ‘habitat’ yang subur untuknya. Saat ini yang menjadi persoalan ialah bagaimana menghilangkan lahan subur untuk ideologi terorisme itu. Di antara obat mujarab untuk menghilangkan ideologi terorisme, kata mantan Wapres M Jusuf Kalla, ialah tegaknya keadilan ekonomi, hukum, dan kemanusiaan. Karena itu, semua komponen bangsa dan negara hendaknya berusaha keras untuk mencapai kondisi yang meminimalkan tumbuhnya ideologi terorisme tersebut.

Di samping menegakkan keadilan, ekonomi, hukum, dan kemanusiaan untuk mencegah tumbuhnya terorisme, pemerintah perlu memikirkan kembali paradigma dan visimisi pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum. Gambaran pengenalan dan kesetujuan siswa terhadap tindakan terorisme Osama, mentor (Azzam), dan ideolognya (Qutb) itu menunjukkan ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam pendekatan dan materi pendidikan agama Islam di sekolahsekolah di Indonesia. Tak ada gunanya menutup diri dari kesimpulan survei LaKIP tersebut dengan cara mempertanyakan keabsahan metodologi survei, mempertanyakan objek survei, dan lain-lain.

Dengan merespons survei secara terbuka dan rasional untuk mencari solusi terhadap fenomena radikalisme pada siswa sekolah umum itu, semua komponen bangsa diharapkan urun rembuk memikirkan cara mencari rumusan yang tepat agar pendidikan agama Islam di sekolah umum tidak menjerumuskan siswa-siswanya pada sikap beragama yang radikal dan ekstrem. Sebaliknya, pendidikan agama akan membawa siswa menuju pada pandangan bahwa Islam itu agama yang toleran, ramah, dan rahmah.

Ada begitu banyak agenda dalam skema prevention program untuk mengatasi radikalisme di kalangan pelajar ini yang belum dijalankan. LaKIP sendiri, pascadipublikasikannya hasil riset tersebut, telah dua kali mengadakan workshop bina damai bagi guru-guru agama dan sekolah yang terlibat serta menjadi target proses riset. Balutan program yang diusung ialah sejenis kursus intensif bina damai (peacebuilding intensive course) bagi guru-guru agama dan manajemen konfl ik berbasis sekolah (MKBS) sebagai sebuah mekanisme bagi sekolah untuk mengelola sekaligus mendeteksi akar-akar kekerasan yang terjadi di tingkat sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar