Minggu, 25 Maret 2012

Ikuti Saja Fatwa MUI


Ikuti Saja Fatwa MUI
( Wawancara )
Moh Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi
SUMBER : SINDO, 25 Maret 2012



Ketua MK Mahfud MD menjelaskan posisi vonis MK tentang anak di luar nikah yang dipersoalkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya. Bagaimana sebenarnya putusan tersebut? Berikut pertanyaan SINDO dan jawaban Mahfud MD.

MUI mengeluarkan fatwa agar masyarakat menolak vonis MK?

Saya juga menyarankan agar umat Islam mengikuti fatwa MUI sebab tujuannya baik yaitu menaati ajaran agama yang memuliakan manusia. Substansi fatwa MUI itu tak ada yang bertentangan dengan vonis MK. Judulnya saja yang membingungkan.

MUI meminta agar vonis MK tentang hubungan keperdataan anak di luar nikah terkait dengan Pasal 43 Ayat (1) dicabut. Tanggapan Anda?

Usul itu tak ada urgensinya sebab isi fatwa MUI itu bisa dilaksanakan tanpa harus mencabut vonis MK. Lagi pula bagaimana cara mencabut vonis MK? Terlebih lagi kalau vonis MK dicabut berarti mengilegalkan lagi hasil nikah siri yang sudah sah menurut agama. Menurut MK, perkawinan yang sudah sah menurut agama seperti kawin siri adalah sah sehingga anaknya punya hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Apakah itu harus dicabut?

Bukankah memberi hubungan keperdataan dan nasab kepada anak hasil perzinaan itu melanggar syariah?

Nah,di situ salahnya karena menyamakan hubungan keperdataan dan hubungan nasab. Hubungan keperdataan itu tak selalu berarti hubungan nasab.Hubungan keperdataan anak yang lahir dari pernikahan yang sah seperti nikah siri memang mempunyai hubungan nasab dengan ayah biologisnya, tapi anak hasil perzinaan hanya punya hubungan keperdataan di luar hubungan nasab. Mereka tak punya hak waris, hak perwalian, atau nafkah, tapi bisa menuntut hak keperdataan lainnya.

Misalnya hak keperdataan lain yang seperti apa?

Banyak misalnya menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata yaitu menuntut ganti rugi karena sang ayah biologis telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Bisa juga menuntut karena perbuatan ingkar janji atau hakhak lain yang bukan hak karena nasab. Menurut saya sih, vonis MK malah bisa jadi pintu masuk untuk mengatur masalah seperti itu secara lebih manusiawi tanpa melanggar syariah.

Jadi bagaimana soal fatwa MUI itu?

Fatwa itu bagus sekali,umat Islam harus mengikuti untuk tidak menghalalkan yang haram. Tapi, karena fatwa itu di mana pun tak pernah mengikat secara hukum, fatwa itu harus ditindaklanjuti dengan pengaturan agar jelas pembedaannya antara hubungan keperdataan karena nasab dan hubungan keperdataan yang bukan nasab.Pokoknya vonis MK itu tak bertentangan, bahkan sejalan dengan fatwa MUI.

Bagaimana tindak lanjut bentuk pengaturannya?

MUI bisa duduk bersama dengan Kemendagri dan Kemenkumham untuk memberi penegasan dan mengatur hak keperdataan yang berdasar hubungan nasab dan hak keperdataan di luar hubungan nasab. Prinsipnya,menurut UU No 1 Tahun 1974,perkawinan itu sah kalau dilaksanakan sesuai ajaran agama masing-masing. Itu saja yang harus dipedomani secara ketat.

Jadi tidak benar ya,vonis MK itu melegalkan perzinaan?

Naudzubillah min dzaalik. Sikap antiperzinaan hakim-hakim MK tak kalah hebat daripada MUI.Vonis MK itu justru untuk menghalangi laki-laki agar tak berzina sebab kalau itu dilakukan,bisa dituntut secara perdata.

Dasar prinsipnya apa?

Konstitusi kita dan tren konstitusi modern yang akan terus merasuk karena globalisasi. Manusia lahir dengan suci dan mulia dengan hakhak konstitusional yang harus dilindungi.Kita harus antisipasi dan atur globalisasi perlindungan HAM tanpa melanggar ajaran agama agar ke depan tak kisruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar