Senin, 26 Maret 2012

BBM dan Senja Kala Ekonomi


BBM dan Senja Kala Ekonomi
Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 26 Maret 2012



“Dampak tersebut masih bisa diteruskan efeknya terhadap kenaikan pengangguran, penurunan ekspor, dan lain sebagainya. Ringkasnya, pemerintah mesti berhitung neraca laba rugi sosial-ekonomi lebih cermat lagi dalam soal rencana penaikan harga BBM itu agar senja kala perekonomian nasional tidak terjadi."

MALAPRAKTIK pengelolaan ekonomi meru pakan kisah kelabu yang seakan tidak ada ujungnya di Indonesia. Aneka kebijakan ekonomi yang tak masuk akal silih berganti diproduksi pemerintah untuk menyantuni kepentingan mereka sendiri. Di sektor perdagangan terjadi persaingan mematikan antara usaha skala besar dan kecil, investasi dibuka secara telanjang, sektor pertanian dibiarkan tersengal-sengal, industri manufaktur jauh dari basis sumber daya ekonomi domestik, dan masih banyak lagi keganjilan lain yang bisa disampaikan. Di antara keanehan-keanehan itu yang paling menyedihkan ialah pengelolaan kekayaan sumber daya alam (SDA), khususnya minyak dan gas (migas). 

Saat produksi minyak masih melimpah (sebelum 2003) masyarakat tidak bisa menikmati karena hasilnya sebagian tidak dipakai untuk pembangunan, tapi saat sekarang volume minyak tidak mencukupi kebutuhan domestik (dan harganya melambung) masyarakat juga yang menjadi korban. Situasi itu terjadi karena satu hal tadi: malapraktik pengelolaan SDA.

Malapraktik Pengelolaan SDA

Dalam eksplorasi migas di Indonesia, pemain domestik (Pertamina dan perusahaan swasta dalam negeri) melakukan ekplorasi kurang dari 20% sehingga mayoritas dikerjakan pelaku ekonomi/korporasi luar negeri (asing). Sebenarnya praktik itu tidak hanya terjadi dalam kasus migas, tetapi juga pada komoditas SDA lainnya, misalnya emas, tembaga, dan mineral. Komposisi eksplorasi tersebut nyaris tidak ada perubahan ketimbang kondisi 30-40 tahun lampau ketika pada saat itu Indonesia dianggap tidak memiliki modal, teknologi, dan sumber daya manusia. Jika benar pemerintah mengklaim pembangunan ekonomi berhasil, tentunya saat ini modal sudah dipunyai, teknologi dikuasai, dan tenaga kerja terlatih sehingga pengelolaan SDA seharusnya sudah digeser ke pelaku ekonomi domestik. Jika kemudian pengelolaan SDA itu masih juga dikuasai asing, kemungkinannya cuma dua: pembangunan ekonomi gagal atau mental pemerintah suka dijajah.

Praktik pengelolaan SDA seperti itulah yang menjadi sumbu persoalan ekonomi nasional saat ini. Di satu sisi kebutuhan energi terus meningkat oleh sebab tuntutan kegiatan ekonomi, tapi di sisi lain penguasaan energi tidak sepenuhnya dikuasai pemerintah (lewat BUMN). Dengan pola eksplorasi yang dilakukan sekarang, sekurangnya terdapat dua masalah yang timbul. Pertama, sulit bagi pemerintah mengontrol sepenuhnya jumlah produksi dan mekanisme distribusi, meskipun beragam metode telah didesain. Perbedaan data produksi minyak antara versi Kementerian ESDM, Pertamina, dan BP Migas merupakan contoh dari sulitnya memastikan berapa sebetulnya volume produksi minyak yang dihasilkan. Kedua, manipulasi biaya pemulihan (cost recovery) sangat mungkin terjadi karena ketidakjelasan variabel dan keterbatasan pengawasan. Bayangkan, pemerintah setiap tahun harus keluar sekitar Rp120 triliun hanya untuk cost recovery (tahun ini eksplorator meminta Rp138 triliun).

Deskripsi itu dengan terang menunjukkan adanya persoalan etis dalam pengelolaan SDA sebab dalam aspek produksi tidak tergambarkan adanya unsur kemanfaatan bagi negara. Oleh sebab itu, selaiknya sebelum kebijakan penaikan harga BBM dieksekusi, pemerintah memanggul tugas mahapenting, menyelesaikan persoalan terkait malapraktik pengelolaan SDA itu.

Sebenarnya sangat gampang untuk memberi pemahaman kepada rakyat bahwa harga minyak murah tidak lagi bisa dipertahankan akibat cadangan SDA yang menipis dan harga minyak internasional yang melambung (sementara Indonesia menjadi net importir). Namun, meminta rakyat mengerti atas situasi itu tanpa mengatasi malapraktik pengelolaan minyak, perampokan masif SDA, dan membiarkan perburuan rente di sektor pertambangan sama halnya dengan menodai intisari konstitusi yang memaklumatkan SDA bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sehingga rakyat pasti tidak dapat menerimanya.

Alokasi Belanja APBN

Sebelum diajukan APBN-P 2012 saat ini, deskripsi APBN 2012 dapat dilihat sebagai berikut. (a) Porsi belanja birokrasi (belanja pegawai dan barang) mengambil bagian terbesar, yaitu sekitar 41,85% dari total belanja pemerintah pusat (setelah dikurangi dana transfer). Pos subsidi dan belanja modal menempati urutan berikutnya, yakni 20,64% dan 15,52%. (b) Secara nominal belanja subsidi 2012 turun sekitar 11,95% ketimbang 2011, dengan rincian subsidi energi turun 13,69% dan subsidi nonenergi 3,86%. Total, pada 2011 subsidi energi mencapai Rp195,2 triliun dan subsidi nonenergi Rp41,9 triliun. (c) Meskipun subsidi energi tiap tahun terus meningkat, penerimaan migas nasional juga bertambah tiap tahun. Pada 2005, penerimaan migas baru mencapai Rp138,9 triliun, tetapi pada 2010 penerimaan menjadi Rp220 triliun. Selama 20052010, rata-rata persentase subsidi energi terhadap total penerimaan migas mencapai 64% (minyak 44% dan listrik 20%).

Secara lebih detail, belanja pemerintah pusat yang tercantum dalam APBN bisa dibagi dalam delapan pos penting, yakni belanja pegawai, barang, modal, pembayaran bunga utang, subsidi, belanja hibah, sosial, dan lain-lain. Pada APBN 2012, porsi belanja pegawai mengambil bagian terbesar, yaitu 22,37%. Setelah itu pos subsidi menempati urutan kedua sebanyak 20,64%. Jika dibandingkan dengan APBN 2011, urutan itu terbalik. Pada periode tersebut subsidi mengambil porsi belanja pemerintah pusat yang terbesar (26,12%), diikuti dengan belanja pegawai 20,14%. Jadi, dalam rancangan APBN 2012 subsidi sudah relatif berkurang, bahkan dalam jumlah yang lumayan besar, sekitar 5%, jika dibandingkan dengan 2011. Itu artinya seandainya harga BBM internasional meningkat, seharusnya pemerintah tidak tergesa-gesa menaikkan harga BBM sebab masih ada ruang fiskal sekitar 5% (jika dibandingkan dengan 2011). Pendeknya, subsidi masih bisa ditambah asalkan tidak melebihi 25% dari belanja pemerintah pusat.

Deskripsi di muka menunjukkan dua hal besar menyangkut alokasi APBN dalam beberapa tahun terakhir. (1) Belanja birokrasi (belanja pegawai dan barang) mengambil porsi yang makin besar dari tahun ke tahun (juga pertumbuhannya) sehingga watak APBN sebagai instrumen kesejahteraan masyarakat menjadi hilang. Tren seperti itu tentu membahayakan karena tidak meletakkan fungsi APBN dalam posisi yang tepat. (2) Instrumen subsidi yang dianggarkan dalam APBN makin lama porsinya kian menciut. Subsidi energi (minyak dan listrik) pada 2004 masih 23,21% dan turun menjadi 17,47% (2012), sedangkan subsidi nonenergi (pangan, pupuk, benih, dan lain-lain) pada 2004 sebesar 7,57% yang turun menjadi 4,18% (2012) terhadap total belanja pemerintah pusat. Jadi, wajar bila argumen subsidi minyak lebih banyak dinikmati kaum kaya mudah dipatahkan sebab terdapat banyak alokasi lain yang justru menunjukkan alokasi APBN tidak dinikmati rakyat miskin.

Daya Beli dan Makroekonomi

Tidak sulit untuk menyatakan kebijakan minyak pasti akan memengaruhi tatanan perekonomian secara keseluruhan mengingat sebagian besar kegiatan ekonomi bergantung pada minyak, seperti sektor industri, transportasi, konstruksi, perdagangan, dan pertanian. Jika harga minyak naik, sebagian besar aktivitas ekonomi mengalami lonjakan harga (inflasi) pula. Proporsi inflasi antarsektor ekonomi bervariasi, bergantung pada bobot penggunaan energi (minyak) dan struktur pasar pada sektor/komoditas yang bersangkutan. Secara umum, dampak yang ditimbulkan dari penaikan harga BBM itu dapat dilacak dari dua sisi. Pertama, penurunan daya beli masyarakat. Data menunjukkan tenaga kerja yang betul-betul dianggap bekerja penuh (minimal 35 jam/minggu) hanya sekitar 70%, sedangkan sisanya setengah penganggur dan penganggur terbuka.
 
Lebih dramatis lagi, mereka yang dianggap bekerja penuh ternyata 65% bekerja di sektor informal dan hanya 35% bekerja di sektor formal (BPS, 2011).

Masyarakat miskin menjadi lebih rentan lagi terhadap penaikan harga minyak karena pertumbuhan penda patan mereka jauh lebih kecil ketimbang kelompok pendapatan menengah ke atas. Jika pengeluaran masyarakat dibagi dalam 10 kelas (desil), akan dijumpai data sebagai berikut. Pengeluaran terendah kelompok pertama dan kedua, yakni sekitar Rp153 ribu dan Rp 204 ribu/kapita/ bulan, pada 2010 hanya tumbuh 9,08% dan 8,25%. Sebaliknya, pengeluaran tertinggi kelompok pertama dan kedua, yaitu sekitar Rp1,48 juta dan Rp768 ribu/ kapita/bulan, pada tahun yang sama tumbuh 15,36% dan 18,77% (BPS, 2011).
 
Jelasnya, pertumbuhan pendapatan mereka yang berpengeluaran besar boleh dikatakan dua kali lipat dibandingkan dengan kelompok miskin. Itu pula yang menjadi sebab ketimpangan pendapatan makin tinggi saat pertumbuhan ekonomi nasional juga melesat, sekaligus menggambarkan kelompok pendapatan rendah itu akan mudah terguncang oleh kejutan ekonomi sekecil apa pun.

Kedua, dampak terhadap makroekonomi. Dengan asumi penaikan harga BBM sebesar Rp2.000/liter, simulasi yang saya lakukan menghasilkan proyeksi sebagai berikut. (i) Pertumbuhan ekonomi merosot menjadi 5,7%-5,8%. Kemerosotan pertumbuhan ekonomi itu antara lain disebabkan investasi yang jatuh (akibat kenaikan suku bunga kredit). (ii) Inflasi melonjak 3%-3,5% sehingga daya beli masyarakat jatuh, dengan daya beli kaum miskin berkurang sekitar 10%-15%. (iii) Jumlah kemiskinan meningkat 1,1%-1,3% (sekitar 1,5 juta penduduk) akibat penurunan daya beli meskipun aneka skema kompensasi sudah dijalankan. (iv) Secara keseluruhan pendapatan nasional berkurang Rp125 triliun jika dibandingkan dengan apabila harga BBM tidak dinaikkan (sehingga pertumbuhan ekonomi 6,5%). Dampak tersebut masih bisa diteruskan efeknya terhadap kenaikan pengangguran, penurunan ekspor, dan lain sebagainya. Ringkasnya, pemerintah mesti berhitung neraca laba rugi sosial-ekonomi lebih cermat lagi dalam soal rencana penaikan harga BBM itu agar senja kala perekonomian nasional tidak terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar