Kuburan
Pemikir(an) Ahmad Wahib
Binhad
Nurrohmat, Penyair, Tinggal di Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 25 Maret 2012
Pada awal dasawarsa 1980, Ummu Kultum dari
Sampang, Madura, pergi ke Jakarta untuk berziarah ke kuburan anaknya, Ahmad
Wahib (1942–1973), di Tempat Permakaman Umum (TPU) Menteng Pulo, Jakarta
Selatan. Ia tak tahu, sebelum kedatangannya ke Jakarta ketika itu, kuburan
Wahib sudah hilang lantaran tergusur satu proyek pelebaran jalan raya yang
memotong sebagian kompleks pekuburan itu.
Demi menjaga perasaan Ummu Kultum, seorang
sepupu Wahib mengantarkan ibu itu ke satu pusara orang lain di pekuburan itu
yang ia akui sebagai kuburan Wahib. Sampai saat ini, sisa-sisa artefak kuburan
Wahib tak diketahui keberadaannya, barangkali telah sirna untuk selamanya.
Hilangnya kuburan Wahib bukan hanya kisah
sedih. Ini juga kenyataan ironis dan tragis. Ketika Ummu Kultum akan
menziarahinya, Wahib merupakan satu nama penting perintis tradisi pembaruan pemikiran
Islam bercakrawala kebudayaan di Indonesia. Ketika itu pula Wahib sedang
dibicarakan banyak orang dan merangsang polemik pemikiran keagamaan di Tanah
Air lantaran percikan-percikan kecil yang kuat dari pemikirannya dalam
catatan-catatan hariannya yang diterbitkan oleh rekan-rekannya setelah
kematiannya, Pergolakan Pemikiran Islam (1981).
Kuburan rekan segenerasi dengan Wahib, Soe
Hok Gie, di TPU Karet, Jakarta, juga mengalami penggusuran. Namun, nisan
demonstran itu sempat dipindahkan dan terjaga sampai sekarang di Taman
Prasasti, Jakarta. Mereka adalah aktivis-pemikir militan yang gelisah, otentik,
mati muda, dan kesepian, sebagaimana tersurat dalam tulisan di nisan Hok Gie:
Nobody knows the troubles I’ve seen, nobody knows my sorrow. Dua tokoh muda ini
dikenal sebagai pemberontak dalam dunia pemikiran dan merupakan legenda yang
hidup dan menyala sampai sekarang.
Watak berani dan berontak Wahib bisa jadi
menurun dari nilai-nilai tradisi ksatria leluhurnya dari garis ayah yang
mendidiknya, Sulaiman. Wahib merupakan generasi ke-7 trah Trunajaya dari
Madura. Trunajaya memberontak terhadap rezim Amangkurat I dan Amangkurat II
dari Mataram. Kedua penguasa Mataram ini sangat kejam. Mereka bersekongkol
dengan otoritas VOC serta menangkap dan membunuh para ulama yang melawan
kebijakan kekuasaan mereka. Setelah melakukan perlawanan sekian lama, Trunajaya
kemudian ditangkap oleh pasukan VOC dan dihukum mati pada usia 31 tahun oleh
Amangkurat II.
Sementara kedekatan Wahib dengan khazanah
agama Islam kemungkinan besar terwarisi dari Ummu Kultum yang merupakan salah
satu keturunan santri pendiri pesantren di Kampung Segit, Sampang, Madura. Di
kampung ini, Wahib menimba pengetahuan agama pada masa kanak-kanak. Selain itu,
ayahnya Wahib juga dikenal sebagai pribadi reformis dan kritis terhadap
dogma-dogma tradisi dan ibunya Wahib mengajarkan kepada anak-anaknya sikap
anti-feodal, misalnya melarang anggota keluarganya berbahasa krama.
Feodalisme
Terkait dengan ihwal feodalisme, dalam salah
satu catatan hariannya, Wahib mengapresiasi gagasan Rendra yang sempat
mendiskusikan ide ”urakan” di komunitas diskusi internal dan terbatas di
Yogyakarta pada 1970. Wahib menulis, ”Rendra menekankan bahwa ’kekurangajaran’
atau humor kasar orang-orang urakan bisa berfungsi sebagai penyegar dan pembaru
kebudayaan.” Namun kebersetujuan Wahib terhadap ide ”urakan” Rendra juga
memunculkan sikap kritis Wahib terhadap kehadiran para urakan yang tak otentik
atau gadungan. ”Menjadi pertanyaan, apakah mereka yang meniru-niru ingin jadi
urakan betul-betul paham akan tujuannya,” kata Wahib.
Percikan-percikan pemikiran Wahib dalam
catatan hariannya tak sempat ia perdalam dan perluas lantaran kematiannya pada
usia muda. Wahib meninggal setelah tertabrak sepeda motor di Jakarta. Warisan
utama Wahib bukan hanya buku catatan hariannya itu, melainkan juga keberanian
dan spirit pembaruan pemikiran Islam pada masanya serta sesudahnya. Wahib
kritis terhadap keislaman ataupun pemikiran Barat. Pemikiran Wahib dalam
sejumlah hal pokok dan mendasar ikut memengaruhi, setidaknya segaris, dengan
pemikiran Islam inklusif dari Nurcholish Madjid dan pemikiran pribumisasi Islam
dari Abdurrahman Wahid.
Wahib adalah pribadi yang gelisah. Ia
memikirkan secara mendalam agamanya, dalam konteks dinamika serta kaitannya
dengan kehidupan multi-agama dan beragam tradisi yang dianut oleh masyarakat
Indonesia. Cakrawala kebudayaan pemikiran keislaman Wahib ini penting dan
aktual hingga saat ini. Semua ini menjadi renungan pribadi yang ia ungkapkan
dalam kelompok diskusi terbatas dan catatan hariannya.
Kenapa catatan harian? Wahib menyadari ada
pemikiran tertentu yang perlu menimbang ”kesiapan” masyarakat, bukan karena
takut menyatakannya kepada khalayak luas. Wahib mengingatkan bahwa pembaruan
pemikiran terhenti jika kaum pembaru sibuk menyerang kaum tradisional yang
pahamnya sudah lama tersusun; dan kaum pembaru menyebarkan pemikiran yang belum
matang serta utuh.
Pluralisme dan toleransi antar-agama serta
tradisi, kebebasan berpikir, keintelektualan, ataupun sikap kebudayaan merupakan
bahan-bahan penting pergulatan renungan Wahib yang sekarang kerap mengalami
guncangan, kemunduran, dan bahkan terancam karam. Renungan Wahib tentang itu
semua berisi penguatan, dukungan, dan kritik.
Hilangnya kuburan Wahib memang tidak berarti
lenyapnya pluralisme dan toleransi antar-agama serta tradisi, kebebasan
berpikir, keintelektualan, ataupun sikap kebudayaan di negeri ini. Namun, sikap
abai ini merupakan salah satu cermin kurang hidupnya tradisi penghargaan
masyarakat (khususnya kaum pemikir dan intelektual) terhadap makna
kultural-simbolis kuburan seorang pemikir seperti Wahib. Bila bukan pelupaan
dan pelenyapan, hilangnya kuburan Wahib merupakan bentuk pengabaian (artefak)
sejarah.
Kuburan bukan tempat membuang bangkai
manusia. Kuburan merupakan artefak otentik terakhir manusia yang pernah hidup
di planet ini. Peradaban-peradaban besar memberikan penghormatan besar terhadap
kuburan, tidak untuk dijadikan sesembahan, tetapi dijadikan jejak atau situs
untuk mengenang biografi seseorang. Inilah salah satu makna penting
kultural-simbolis kuburan.
Tak heran, kuburan para tokoh besar dan
pahlawan diberikan tempat khusus yang pada masa lampau berupa piramida tempat
penyimpanan mumi raja, candi untuk penyimpan abu, dan saat ini berupa kompleks
makam pahlawan nasional untuk menguburkan mereka yang dianggap berjasa besar
kepada kebudayaan masyarakatnya. ●
I recently came across your blog and have been reading along. I thought I would leave my first comment. I don't know what to say except that I have enjoyed reading. Nice blog. I will keep visiting this blog very often.
BalasHapus1989 Buick Skylark AC Compressor