Senin, 26 Maret 2012

Publik & Kapitalisme Minyak


Publik & Kapitalisme Minyak
Radhar Panca Dahana, Budayawan
SUMBER : SINDO, 26 Maret 2012



Rakyat umum tentu saja memiliki hak sepenuhnya untuk mengekspresikan rasa prihatin, bahkan melakukan kritik pada siapa pun yang berwenang, mengenai rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Rakyat bahkan pihak yang paling menderita akibat kebijakan itu. Mereka, kita pahami benar, menjadi korban permainan pasar dan politik di tingkat nasional maupun global. Apa yang kurang fairadalah jika kritik atau ekspresi publik tersebut dimanfaatkan secara sempit untuk kepentingan atau tujuan segolongan orang tertentu atau kelompok politik tertentu yang tidak lain berlatar nafsu picik kekuasaan.

Kepentingan seperti itu seperti pembonceng gelap di malam hari,seperti hantu atau pocong politik yang memanfaatkan keresahan publik yang tajam sebagai arsenal untuk men-”donkisot”-kan dirinya. Kita harus mengembalikan semua ekspresi publik pada naluri dan nurani publik itu sendiri.

Sebagai sebuah ungkapan— terserah bila Anda hendak sebut itu sebagai “demokratis”— dari populi yang biasanya bisu atau terbungkam. Ekspresi publik yang mungkin kasar, tidak cerdas, tidak retoris,tidak diplomatis, tapi sesungguhnya substansial. Inilah yang saya kira membuat tradisi “ekspresi publik” semacam ini sudah menjadi salah satu cara beradab bangsa kita sejak ribuan tahun lalu. Jauh sebelum apa yang disebut “demokrasi” didengar telinga leluhur kita.

Tapi dalam situasi saat ini, ekspresi semacam itu memiliki bobot dan beban yang jauh dalam. Keresahan publik—terutama tentang keselamatan dan kenyamanan hidupnya— tidak lagi sekadar sebagai akibat dari ulah pemerintahnya sendiri. Semua persoalan publik saat ini—bahkan hingga di tingkat personal—adalah persoalan yang memiliki benang sebab-akibat dengan persoalan- persoalanyangterjadidi bagian dunia lain.

Arsenal Minyak

Dunia yang menciut karena kemajuan teknologi membuat kekuatan-kekuatan besar (multinasional, global) memiliki peluang lebih besar untuk menanamkan pengaruh, dominasi, hingga penjarahan, kultural- ekonomis misalnya. Semua komoditas penting dunia,apalagi yang menguasai langsung hajat hidup manusia pada umumnya,BBM misalnya, sudah tentu menjadi salah satu hal utama dalam pergulatan kekuatan-kekuatan besar itu.

Dalam pergulatan itu, kekuatan besar—notabene adalah kekuatan modal/kapital—bisa berkonspirasi dengan kekuatan negara, tapi dapat juga memanfaatkan atau memperalat negara. Minyak atau BBM saat ini— juga di masa depan—telah menjadi arsenal yang sangat ampuh, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan publik— sekaligus memengaruhi opininya— tapi juga menjadi power pressure yang menggetarkan.

Kepedulian para kapitalis pada minyak tak bisa dibantah lagi,ketika ketergantungan pada mineral bumi itu semakin tinggi,sementara cadangan terus menipis. Siapa menguasai minyak,dia menguasai dunia. Apa yang terjadi belakangan ini di berbagai belahan dunia menjadi bukti dari itu semua.

Tak ada yang bisa tertipu, misalnya,apa yang terjadi dalam “Arab Spring”—semacam gerakan “demokratis ala Amerika”di berbagai negara Arab—selain berlatar politik kolonialis, proyek-proyek infrastruktur dan bisnis senjata triliunan dolar sebab utamanya tetap pada penguasaan jalur dan suplai minyak.

Dalam perang percepatan industri saat ini, di mana tumbuh negara-negara industri baru yang tangguh, sejak dari Afrika Selatan hingga India, Indonesia, dan Brasil, membuat kompetisi bisnis menjadi kancah bharatayudha ekonomi yang cukup mengerikan. Minyak tak bisa ditolak adalah pelicin utama dari perang itu.

Minyaklah yang menggerakkan tumbuhnya secara luar biasa industri manufaktur di negeri-negeri seperti China, India,atau negeri kita ini. Betapa bukan hanya Amerika Serikat, melainkan juga sisa dunia merasa khawatir bila Iran, misalnya, menjalankan niatnya untuk menutup Selat Hormuz bila ia mendapat serangan militer dari Israel atau Amerika Serikat.

Tidak mengherankan bila para kapitalis minyak,baik ia berbentuk korporasi atau berkedok negara, mencoba dengan segala cara untuk menentukan tidak hanya bagian hulu, tapi juga distribusi, suplai, hingga penentuan harga. Di titik inilah rakyat Indonesia harus menerima kenyataan, harga minyak atau BBM sebenarnya tidak lagi dikendalikan oleh kedaulatan mereka, juga tidak oleh otoritas negerinya sendiri.

Kita, bukan hanya sebagai rakyat, tapi jugasebagaipemerintah,adalah juga korban yang sama dari pertarungan yang menyangkut ribuan triliun dolar setiap harinya itu. Entah pemerintah kita menerapkan sistem yang terbuka— semacam demokrasi atau kapitalisme pasar—maupun yang tertutup (komunis/rezim otoriter) ataupun setengah tertutup (sosialisme China, Rusia, Venezuela), dampak dari permainan kaum kapitalis minyak itu tetap kuat memengaruhi.

Persoalan Sesungguhnya

Jadi, persoalannya bukanlah apakah Pemerintah RI kita saat ini harus atau tidak harus menaikkan harga BBM. Namun, lebih pada apakah ia mampu menghindar dari tekanan global hasil perselingkuhan para kapitalis minyak itu? Jawabannya sederhana, tentu saja tidak.

Maka,bila kita hendak bersimpati, mendukung, atau membantu rakyat yang menderita karena kenaikan harga BBM, tentu saja bukan sekadar memberi bantuan tunai (BLT) yang sifatnya sekadar karitatif dan tidak fundamental. Bila kita melihat peta persoalan dengan cara di atas, bantuan itu harus sama diberikan baik kepada rakyat maupun kepada pemerintahnya, yang kewalahan menghadapi pergerakan harga minyak yang tidak mereka kuasai.

Bantuan yang konstruktif untuk itu tidak lain adalah bantuan yang bersifat konseptual-sistemik. Bagaimana misalnya menciptakan kemandirian energi di negeri ini.Atau katakanlah cara Amerika Serikat dan Kanada yang menunda terus usaha eksplorasi kandungan mineral mereka yang melimpah (di jenis apa pun) hingga kemudian dunia mengalami krisis, dan mereka menciptakan dominasi permanen dengan kelimpahan sumber daya mineralnya.

Di tingkat publik sungguh konstruktif bila kita bersama melakukan gerakan yang mendiversifikasi kebutuhan/ketergantungan kita pada jenis energi tertentu. Semacam gerakan untuk menciptakan alternatif beras sebagai bahan pangan dasar.Untuk hal ini mungkin kita bisa melihat Brasil yang diakui dunia memiliki sukses tersendiri untuk gerakan alternatif semacam ini.

Dengan kreativitas yang luar biasa dimiliki bangsa kita, saya kira kita optimistis dapat melakukan hal yang lebih baik dari Brasil atau bangsa-bangsa lain. Mungkin ini saatnya kita berbuat bersama untuk bangsa tercinta, menciptakan sebuah kekuatan dahsyat yang bernama Sinergi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar