Senin, 26 Maret 2012

Satgas Antipornografi


Satgas Antipornografi
Umar Natuna, Ketua STAI Natuna
SUMBER : REPUBLIKA, 26 Maret 2012



Babak baru “perang“ ter hadap pornografi telah dimulai. Setidaknya de mikian kesan yang mun cul ketika pemerintah membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi (Satgas Antipornografi). Perpres No 25 Tahun 2012 tentang Satgas Antiporngrafi tersebut menyebutkan bahwa tugas Satgas adalah melakukan koordinasi tentang upaya menanggulangi dan pencegahan serta penanganan masalah pornografi, melaksanakan sosialisasi, edukasi, kerja sama pencegahan, dan melaksanakan evaluasi pelaporan.

Terlepas dari pro dan kontra, pembentukan Satgas ini dirasakan urgen. Karena, pornografi masih menjadi musuh klasik bangsa ini. Berbagai kasus yang terkait dengan kekerasan seksual, baik pelecehan, pemerkosaan, hingga hubungan intim sebelum menikah, tak lepas dari longgarnya pengawasan terhadap pornografi. Dalam hal ini, Indonesia barangkali menjadi negara yang paling longgar atau lebih liberal dibandingkan negara sekuler seperti Amerika Serikat (AS).

Implikasinya, berbagai kasus pencabulan, pergaulan, dan seks bebas telah menjadi gaya hidup kaum muda-mudi. Simak saja beberapa kejadian yang terjadi di Kota Batam dan Tanjungpinang beberapa terakhir. Kasus pencabulan di kalangan remaja di Batam dan Tanjungpinang meningkat. Mereka seakan tidak malu-malu dan tabu untuk melakukan hubungan seks. Akibatnya, tidak kurang 15 anak sekolah di Tanjungpinang mengajukan dispensasi untuk menikah di Pengadilan Agama Tanjungpinang karena sudah hamil duluan. Ini tentu data yang terungkap, betapa banyak yang tidak terungkap.

Memang, dinamika dan berbagai kasus kejahatan seksual terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Kepolisian Daerah Metropoli tan Jakarta Raya bahwa selama 2010 sampai 2011 telah terjadi 128 kasus pemerkosaan (Republika, 15/3). Sementara, Komnas Antikekerasan Terhadap Perempuan mencatat, kasus kekerasan seksual sudah mencapai 25 persen dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan yang berjumlah 400.939 kasus.

Kejadian di atas tidak bisa terlepas dari masalah pornografi. Sebab, dari berbagai hasil temuan dan penelitian, ternyata pornografi bisa menimbulkan efek negatif terhadap konsumennya dalam kehidupan sosial. Seperti, studi yang dilakukan Mc Guire yang berjudul Sex Devitation as Conditioned Behavior, menyebutkan, semakin sering sesorang menonton pornografi maka semakin tinggi fantasinya terhadap seks.

Dr Mark B Kastlemaan menyatakan, efek negatif pornografi lebih besar daripada narkoba dalam hal merusak otak. Pornografi dapat menyebabkan kerusakan pada lima bagian otak, terutama pada Pre Frontal Corteks (bagian otak yang berada di belakang dahi). Sedangkan, kecanduan narkoba menyebabkan kerusakan pada tiga bagian otak (Ahmad Khoirul Huda, 2012).

Ketua Masyarakat Tolak Pornografi (MTP) Azimah Soebagijo mengemukakan, sekitar 56,7 persen kejahatan seksual terjadi karena pelaku sering menyaksikan video porno. Seringnya menyaksikan adegan porno dapat memicu berbagai penyimpangan seksual. Selain merusak moral, pornografi juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka penderita baru HIV/ AIDS di Indonesia.

Kinerja

Peran Satgas Antipornografi sudah tak terbantahkan lagi. Artinya, kita memang memerlukan lembaga ini. Sebab selama ini, UU Antipornografi tidak dijalankan dengan baik karena belum ada juknis atau aturan pelaksanaannya. Dengan adanya satgas ini maka alasan tersebut terjawab sudah.

Persoalannya, sejauh mana Satgas ini mampu melaksanakan amanat dan tugas yang diembannya? Masalahnya tidak sederhana. Karena, filsafat hidup materialisme, hedonisme, dan pragmatisme yang kita anut sekarang ini telah mengubah semua tatanan sosial, agama, dan moral.

Aturan agama, sosial, dan moral dianggap kurang modern untuk mengatur perilaku kehidupan modern. Maka kemudian, dibuatlah ukuran-ukuran yang bersifat materi. Moralitas semu ini kemudian dijadikan sandaran moral untuk memengaruhi kehidupan yang penuh dengan tipu muslihatnya. Akibatnya, berbagai persoalan kemanusiaan baru pun muncul. Seperti, keterasingan, demoralisasi, kejahatan seksual, depresi, dll. Hal ini terjadi karena manusia telah kehilangan pengetahuan langsung mengenai diri dan keakuannya. (Hossein Nasr, 1975).

Paling tidak, ada dua tantangan Satgas Antipornografi. Pertama, bagaimana mengubah filosofi hidup manusia sekarang ini, terutama kaum muda yang sudah kehilangan akal sehat dan jati dirinya sebagai manusia yang memiliki fitrah. Pandangan hidup kaum muda yang menuhankan materi, kesenangan, dan pragmatisme akan berhadapan dengan bisikan moral, spiritual, dan agama yang sejati. Dalam konteks inilah, Satgas harus menghimpun berbagai profesi agar dapat menjembatani kedua filosofi hidup dan kehidupan tersebut.

Kedua, dari segi teknis, sangat sulit lembaga ini bekerja dengan baik. Selain bersifat lintas sektoral, lembaga ini tidak dibekali tim teknis, operasional, dan ahli di bidangnya. Apalagi, yang dihadapi adalah dunia kreatif. Satgas harus mampu membuat berbagai terobosan untuk mencegah maraknya pornografi. Kalau tidak, ia hanya akan mengulangi kesalahan yang ada selama ini. Inilah inti persoalan yang dihadapi Satgas Antipornografi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar