Memantau
Pemilu, Belajar dari Filipina
Luky
Djani,
Wakil
Sekjen Transparency International Indonesia
SUMBER : KORAN TEMPO, 24
Maret 2012
Kecurangan pemilu, terutama berkaitan dengan
manipulasi penghitungan suara (vote-counting manipulation), marak
terjadi. Dalam pemilu 2009, kasus-kasus rekayasa penghitungan beberapa
dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu. Mahkamah Konstitusi juga menerima seabrek
gugatan sengketa penghitungan suara pemilukada. Beberapa kasus manipulasi
penghitungan dan rekapitulasi suara, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi,
dinyatakan terbukti mengandung pelanggaran secara sistematis, terstruktur, dan
masif.
Sengketa penghitungan suara terjadi karena
peserta pemilu bekerja sama dengan penyelenggara pemilu melakukan manipulasi
penghitungan suara, dari tempat pemungutan suara (TPS) hingga level lanjutan.
Langgam korupsi pemilu ini sering disebut sebagai wholesale vote-buying
(Fabrice 2007, Schaffer 2007), di mana peserta “membeli” suara secara kulakan
atau partai besar. Secara manajemen pemenangan, praktek korupsi pemilu dengan
memanipulasi perolehan suara ini lebih mudah dilakukan serta lebih memberi
kepastian hasil akhir.
Bagaimana meredam manipulasi penghitungan
suara? Kita bisa menerapkan strategi jitu National Citizens' Movement for Free
Elections (Namfrel) sewaktu mematahkan kecurangan terorganisasi rezim Marcos.
Pembuktian manipulasi suara dilakukan dengan metode sederhana tetapi bonafide,
yakni Tabulasi Penghitungan Suara Paralel (Parallel Vote Tabulation/PVT).
Ketika cara ini dilakukan, Namfrel membuka pintu keruntuhan rezim Marcos. Jika
PVT diterapkan di Indonesia, kita dapat mencegah kecurangan pemilu, mengurangi
sengketa hasil pemilu di pengadilan, serta dapat mengurangi biaya pemilu yang
harus ditanggung oleh peserta pemilu. Pada akhirnya, integritas pemilu akan
terjamin.
Pengalaman Filipina
Rezim otoritarian Ferdinand Marcos berakhir
secara dramatis pada 1986. Salah satu “orang kuat” di Asia Tenggara yang telah
berkuasa sejak 1965 ini akhirnya tumbang setelah praktek kecurangan dan
manipulasi pemilu yang dilakukan terungkap secara benderang. Adalah Namfrel,
organisasi pemantau pemilu, yang dengan gamblang membeberkan kecurangan dan
manipulasi pada pemilu 1986. Pembuktian yang dilakukan Namfrel lantas memicu
gelombang aksi besar-besaran atau lebih dikenal dengan sebutan People Power.
Pada 1973, Diktator Ferdinand Marcos
memenjarakan musuh bebuyutannya, Senator Benigno Aquino. Ninoy--panggilan akrab
Benigno--menderita serangan jantung dan akhirnya diasingkan ke Amerika untuk
menjalani pengobatan. Setelah pulih, Ninoy berniat kembali ke Filipina dan maju
dalam pemilihan presiden. Dalam perjalanan pulang dari pengasingan, pada 21
Agustus 1983, Ninoy dieksekusi sewaktu mendarat di bandara internasional
Manila.
Kematian Ninoy sontak menggelorakan
perlawanan politik terhadap Marcos. Cory Aquino, istri Ninoy, kemudian menjadi
figur perlawanan dan menantang Marcos dalam pemilihan presiden 1986. Dalam
pemilu Congress pada 1984, rezim Marcos menggunakan segala cara guna memenangi
pemilu, termasuk melakukan intimidasi, pembelian suara, hingga melakukan
manipulasi penghitungan suara. Beragam kecaman muncul atas
kecurangan-kecurangan tersebut. Tetapi, karena ketiadaan data akurat soal
kecurangan tersebut, pihak oposisi tak mampu mengajukan gugatan sengketa hasil
pemilu.
Barulah pada pemilu 1986, kecurangan rezim
Marcos dapat dipatahkan. Namfrel melancarkan operasi “Parallel Vote Tabulation”
(mereka menyebutnya “Quick Count”) dengan melakukan tabulasi penghitungan suara
paralel secara cepat, menandingi penghitungan suara yang dilakukan oleh Comelec
(KPU-nya Filipina). Dengan melibatkan 500 ribu relawan, ditopang oleh jaringan
masyarakat sipil, jaringan gereja, serta akademisi, puluhan ribu TPS di
seantero Filipina dimonitor. Tugas relawan sederhana: mencatat perolehan suara
di TPS dan mengirimnya ke pusat tabulasi Namfrel.
Berdasarkan tabulasi Comelec yang
manipulatif, Marcos dinyatakan menang. Sedangkan hasil PVT Namfrel dengan jelas
menunjukkan kemenangan di pihak Cory. Namfrel lalu membuka data tabulasi PVT
serta memaparkan kecurangan-kecurangan rezim Marcos. Karena kredibilitas
Namfrel, PVT yang mereka lakukan dijadikan patokan oleh pemilih dan publik
menolak hasil Comelec. Kisruh penghitungan suara berujung pada konflik politik
dengan memicu People Power yang akhirnya menjungkalkan Marcos dari
singgasananya. Pengalaman Filipina mengilustrasikan kesuksesan PVT dalam
menangkal manipulasi penghitungan suara.
PVT di Indonesia
Kerap terjadinya manipulasi penghitungan
suara menunjukkan adanya permainan antara peserta pemilu dan penyelenggara
pemilu. Korupsi pemilu yang demikian jelas mengubah hasil akhir dan mendustai
pilihan pemilih serta mencederai integritas pemilu. Bagaimana cara
mengatasinya? Pengalaman Filipina mengajari kita, perlu ada tabulasi
penghitungan suara yang kredibel dan tepercaya sebagai pembanding dari tabulasi
yang dilakukan oleh KPU.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat membuat
PVT. Tentu akan muncul pertanyaan, apakah menjalankan PVT menjadi wewenang
Bawaslu? Jika PVT ditujukan guna mencegah manipulasi penghitungan suara, hal
itu sudah sesuai dengan mandat Bawaslu. Apakah tabulasi penghitungan suara
paralel ini memiliki kekuatan hukum dan hasilnya kredibel? Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Pasal 180 ayat 2, pengawas lapangan di
tingkat TPS berhak mendapatkan sertifikat hasil penghitungan suara dari KPPS.
Salinan sertifikat yang memiliki kekuatan
hukum kemudian dikirim ke pusat tabulasi Bawaslu. Dengan adanya tabulasi
pembanding, keinginan peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu untuk memanipulasi
penghitungan suara akan dapat ditangkal, karena dapat dengan mudah
diverifikasi. Peserta pemilu (calon legislator dari parpol, juga perseorangan)
tidak perlu khawatir suara mereka akan “disulap” oleh pesaingnya. Dengan
demikian, PVT menjadi instrumen preventif guna mencegah potensi manipulasi
penghitungan dan rekapitulasi suara.
Selain sebagai upaya preventif di atas, PVT
menawarkan dua manfaat lain. Pertama, menjadi back-up dari tabulasi
suara nasional yang dilakukan oleh KPU. Jika tabulasi suara KPU secara
komputasi mengalami problem seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, kita masih
mempunyai cadangan untuk merekapitulasi penghitungan suara dari tingkat TPS.
Sistem kepemiluan sepatutnya mempunyai back-up system, terutama untuk
penghitungan suara. Tentu harus dipikirkan bagaimana membangun database
PVT dengan menggunakan teknologi tepat guna secara murah, akurat, dan relatif
cepat.
Manfaat lainnya adalah untuk menekan biaya
pemilu yang harus ditanggung peserta pemilu. Dengan jumlah TPS (dalam negeri)
pemilu 2009 sebanyak sekitar 519 ribu TPS, 6.487 kecamatan, serta biaya uang
lelah yang harus dikeluarkan peserta pemilu bagi saksi sebesar Rp 100 ribu,
maka ongkos operasional mencapai kurang-lebih Rp 52,5 miliar. Jika ada 10
parpol peserta pemilu, total biaya menjadi Rp 0,5 triliun. Dengan adanya PVT,
peserta pemilu tidak wajib menempatkan saksi di tiap tingkatan guna mengamati
penghitungan dan rekapitulasi suara, karena kemungkinan melakukan manipulasi
menjadi sangat sulit. Dengan demikian, dapat dilakukan penghematan biaya
politik yang jumlahnya tidak sedikit.
Tabulasi penghitungan suara paralel merupakan
terobosan dalam fungsi pengawasan, karena secara efektif dapat mencegah
kecurangan dalam penghitungan suara. Dengan adanya PVT yang kredibel dan akurat,
peserta pemilu maupun penyelenggara akan berpikir ulang untuk mencoba
memanipulasi proses penghitungan suara, sehingga hasil pemilu sesuai dengan
pilihan rakyat dan proses pemilu berjalan dengan jujur, adil, serta
berintegritas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar