Minggu, 25 Maret 2012

Jangan Pasung Demokrasi di Papua

Jangan Pasung Demokrasi di Papua
Agus Sumule, Lektor Kepala Ilmu Pengembangan Masyarakat
Universitas Negeri Papua Manokwari
SUMBER : SINAR HARAPAN, 24 Maret 2012



Harian Sinar Harapan edisi Sabtu-Minggu, 17 Maret 2012, memuat sebuah laporan yang berisi imbauan Mendagri agar Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP)  mengajukan sengketa kewenangan antarlembaga negara ke Mahkamah Konstitusi sehingga MK bisa memutuskan siapa sebenarnya yang berhak melaksanakan Pilkada Papua: DPRP atau KPU. 

Saran Mendagri ini tampaknya timbul karena penyelenggaraan Pilkada Papua yang terus tertunda. Pasalnya, Peraturan Daerah Khusus Papua No 6/2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur dinilai Mendagri bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, khususnya tentang penyelenggara pilkada dan definisi orang asli Papua. Kedua hal tersebut telah disampaikan Mendagri secara tegas dalam suratnya kepada Gubernur Papua pada 31 Januari 2012.

Gubernur Papua telah memberi respons positif atas klarifikasi Mendagri dengan memperbaiki isi Perdasus No 6/2011 sesuai peraturan perundang-undangan. Hasilnya pun sudah dikirimkan resmi kepada Mendagri.

Namun respons positif itu belum ditindaklanjuti oleh Kemendagri. Yang muncul kemudian malahan pemberitaan di media massa bahwa Mendagri menyarankan MRP dan DPRP untuk mengajukan gugatan ke MK. Apa yang sebenarnya terjadi?

Sulit Selesaikan Masalah 

Saran Mendagri ini akan sulit menyelesaikan masalah, bahkan bisa menimbulkan masalah baru apabila tetap dipaksakan untuk dilaksanakan. Pada 28 Februari 2011 DPRP dan DPRD Papua Barat telah mengajukan permohonan agar MK menyatakan UU No 35/2008 tentang Penetapan Perpu No1/2008 tentang Perubahan Atas UU 21/2001 tentang Otsus Papua bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 7 Ayat (1) huruf a UU 21/2001 yang berbunyi “DPRP mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur dan Wakil Gubernur” telah dihapus dan tidak lagi tercantum dalam UU No 35/2008.

MK menolak permohonan DPRP dan DPRD Papua Barat itu melalui Putusan No 81/PUU-VIII/2010. Hal itu berarti bahwa DPRP sudah tidak dapat lagi menjadi penyelenggara Pilkada Papua seperti yang biasa dilakukan pada zaman Orde Baru.

Mungkin saja Mendagri akan berkilah bahwa kali ini alasan dari usulannya itu berbeda, karena yang terjadi adalah sengketa kewenangan antarlembaga negara (SKLN). Alasan itu jelas tidak benar, karena sesungguhnya tidak ada sengketa kewenangan antarlembaga negara di Provinsi Papua terkait dengan penyelenggaraan pilkada. 

Sengketa itu tidak ada, atau tidak boleh dianggap ada, karena tidak ada dua produk perundang-undangan yang setara yang saling bertentangan satu sama lain,yang masing-masing digunakan dua lembaga negara yang berbeda (yaitu KPU dan DPRP). Oleh karena itu, tidak relevan menyarankan MRP dan DPRP menggugat ke MK dengan alasan adanya SKLN.

Selain itu, di media massa juga sempat diberitakan pendapat Mendagri bahwa pilkada di Papua, baik gubernur maupun bupati/wali kota, sebaiknya dilakukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat setempat saja, karena banyaknya aspirasi yang berbeda-beda dari rakyat Papua dan “… aspirasi yang banyak itu mengakibatkan mayoritas pelaksanaan pilkada di Papua berujung konflik dan digugat ke MK …” (dikutip dari www.depdagri.go.id, 12 Maret 2012). 

Padahal tidak benar mayoritas pelaksanaan pilkada di Papua berujung konflik. Dari 29 kabupaten/kota di Papua hanya ada dua kabupaten yang pada tempat-tempat tertentu situasi keamanannya bermasalah sehingga menyebabkan terjadinya korban jiwa dan harta.

Tetapi, penyebabnya bukan karena rakyat di dua kabupaten itu tidak bisa berdemokrasi. Konflik di Kabupaten Puncak terjadi karena Partai Gerindra mengajukan dua bakal calon bupati yang sama-sama mendaftar ke KPUD setempat. Sementara itu, konflik di Kabupaten Tolikara terjadi karena ada dualisme KPUD setempat yang berujung pada terbentuknya dua panitia pemilihan di banyak tempat pemungutan suara (TPS).

Hal lain yang perlu dicermati adalah sinyalemen Mendagri, yang juga mengutip pendapat Ketua MK, bahwa rakyat Papua sesungguhnya tidak percaya pada partai politik namun lebih percaya kepada kepala suku. Anggapan ini tidak didasarkan pada temuan-temuan empiris dari penelitian ilmiah di lapangan. 

Ahli antropologi yang tersohor dari Universitas Cenderawasih, Dr Johsz Mansoben, menemukan ada beberapa sistem kepemimpinan di Papua, dan yang paling banyak dianut lebih dari 250 suku asli di Papua adalah sistem kepemimpinan “Orang Berwibawa”, yang di dalam berbagai buku teks antropologi sering disebut dengan istilah “Big Man”.

Tidak pernah hanya ada satu Orang Berwibawa di setiap kampung di Papua. Pasti jumlahnya lebih dari satu, karena status sebagai Big Man itu tidak diwariskan, tetapi harus diupayakan oleh setiap orang yang mau memiliki status itu melalui proses-proses yang bersifat transaksional. 

Seseorang yang bertatus Big Man lima tahun lalu bisa saja di mata rakyat di kampung itu tidak lagi menjadi Big Man hari ini. Bahkan, seseorang yang dianggap Big Man untuk urusan berdagang bisa saja dianggap tidak tahu apa-apa untuk urusan politik modern seperti pilkada.

Itulah sebabnya sebaiknya pemerintah tidak usah membuat “gerakan tambahan” (istilah gaul di Papua untuk tindakan yang aneh-aneh) yang justru akan mengacaukan keadaan dan memasung berkembangnya pemahaman berdemokrasi yang benar di Papua.

Yang mendesak dilakukan adalah mencari kiat-kiat penyelenggaraan pemilu yang mudah, murah, demokratis, dan benar-benar aman dari pemalsuan dan jual beli suara.
Salah satu caranya adalah dengan mendesentralisasi pengadaan/pencetakan dokumen-dokumen pemilu, termasuk surat suara, sampai ke tingkat distrik (kecamatan) atau bahkan kampung (desa).

Langkah selanjutnya adalah membuat dokumen-dokumen tersebut sah dan sejauh mungkin tidak bisa dipalsukan. Caranya dengan mengecap dokumen-dokumen tersebut pada sore/malam hari sebelum pelaksanaan pencoblosan/pencontrengan, dengan disaksikan seluruh warga.

Biaya untuk pengadaan cap dan tinta ini sesungguhnya murah. Ini karena di Provinsi Papua diperkirakan akan ada 9.000 TPS, dan setiap paket yang berisi alat, bantalan, dan tinta cap itu diperkirakan bernilai Rp 450.000 maka hanya diperlukan dana Rp 4 miliar lebih.

Kotak-kotak suara tidak perlu diadakan dari luar. Papan dari kayu tersedia secara berlimpah di Papua sehingga rakyat pasti bersedia untuk bergotong royong membuat kotak-kotak suara itu. Yang mahal di Papua adalah ongkos angkut, karena banyak TPS yang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan pesawat udara dan berjalan kaki. 
Intinya, apabila pemerintah tetap konsisten di dalam mewajibkan digunakannya peraturan perundang-undangan sebagai dasar pilkada di Papua, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 68 Ayat (2) UU No 21/2001, dan dibarengi dengan tata-cara pelaksanaan pilkada yang sederhana, demokratis, aman, dan berbiaya murah seperti yang dicontohkan di atas, proses demokrasi di Papua tidak perlu dipasung, tetapi justru bisa dipupuk dan ditumbuhkan sehingga setiap orang yang berhak bisa memutuskan yang terbaik bagi dirinya sendiri.

Itulah inti dari demokrasi yang sebenarnya yang akan menentukan keberhasilan perjalanan bangsa Indonesia ke depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar