Jangan
Pasung Demokrasi di Papua
Agus
Sumule, Lektor Kepala Ilmu Pengembangan Masyarakat
Universitas Negeri Papua Manokwari
SUMBER : SINAR HARAPAN, 24 Maret 2012
Harian Sinar Harapan edisi Sabtu-Minggu, 17
Maret 2012, memuat sebuah laporan yang berisi imbauan Mendagri agar Dewan
Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) mengajukan
sengketa kewenangan antarlembaga negara ke Mahkamah Konstitusi sehingga MK bisa
memutuskan siapa sebenarnya yang berhak melaksanakan Pilkada Papua: DPRP atau
KPU.
Saran Mendagri ini tampaknya timbul karena
penyelenggaraan Pilkada Papua yang terus tertunda. Pasalnya, Peraturan Daerah
Khusus Papua No 6/2011 tentang Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur
dinilai Mendagri bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, khususnya tentang penyelenggara pilkada dan definisi orang asli Papua.
Kedua hal tersebut telah disampaikan Mendagri secara tegas dalam suratnya
kepada Gubernur Papua pada 31 Januari 2012.
Gubernur Papua telah memberi respons positif
atas klarifikasi Mendagri dengan memperbaiki isi Perdasus No 6/2011 sesuai
peraturan perundang-undangan. Hasilnya pun sudah dikirimkan resmi kepada
Mendagri.
Namun respons positif itu belum
ditindaklanjuti oleh Kemendagri. Yang muncul kemudian malahan pemberitaan di
media massa bahwa Mendagri menyarankan MRP dan DPRP untuk mengajukan gugatan ke
MK. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sulit Selesaikan Masalah
Saran Mendagri ini akan sulit menyelesaikan
masalah, bahkan bisa menimbulkan masalah baru apabila tetap dipaksakan untuk
dilaksanakan. Pada 28 Februari 2011 DPRP dan DPRD Papua Barat telah mengajukan
permohonan agar MK menyatakan UU No 35/2008 tentang Penetapan Perpu No1/2008
tentang Perubahan Atas UU 21/2001 tentang Otsus Papua bertentangan dengan UUD
1945.
Pasal 7 Ayat (1) huruf a UU 21/2001 yang
berbunyi “DPRP mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur dan Wakil
Gubernur” telah dihapus dan tidak lagi tercantum dalam UU No 35/2008.
MK menolak permohonan DPRP dan DPRD Papua
Barat itu melalui Putusan No 81/PUU-VIII/2010. Hal itu berarti bahwa DPRP sudah
tidak dapat lagi menjadi penyelenggara Pilkada Papua seperti yang biasa
dilakukan pada zaman Orde Baru.
Mungkin saja Mendagri akan berkilah bahwa
kali ini alasan dari usulannya itu berbeda, karena yang terjadi adalah sengketa
kewenangan antarlembaga negara (SKLN). Alasan itu jelas tidak benar, karena
sesungguhnya tidak ada sengketa kewenangan antarlembaga negara di Provinsi
Papua terkait dengan penyelenggaraan pilkada.
Sengketa itu tidak ada, atau tidak boleh
dianggap ada, karena tidak ada dua produk perundang-undangan yang setara yang
saling bertentangan satu sama lain,yang masing-masing digunakan dua lembaga
negara yang berbeda (yaitu KPU dan DPRP). Oleh karena itu, tidak relevan
menyarankan MRP dan DPRP menggugat ke MK dengan alasan adanya SKLN.
Selain itu, di media massa juga sempat
diberitakan pendapat Mendagri bahwa pilkada di Papua, baik gubernur maupun
bupati/wali kota, sebaiknya dilakukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat setempat
saja, karena banyaknya aspirasi yang berbeda-beda dari rakyat Papua dan “… aspirasi yang banyak itu mengakibatkan
mayoritas pelaksanaan pilkada di Papua berujung konflik dan digugat ke MK …”
(dikutip dari www.depdagri.go.id, 12 Maret 2012).
Padahal tidak benar mayoritas pelaksanaan
pilkada di Papua berujung konflik. Dari 29 kabupaten/kota di Papua hanya ada
dua kabupaten yang pada tempat-tempat tertentu situasi keamanannya bermasalah
sehingga menyebabkan terjadinya korban jiwa dan harta.
Tetapi, penyebabnya bukan karena rakyat di
dua kabupaten itu tidak bisa berdemokrasi. Konflik di Kabupaten Puncak terjadi
karena Partai Gerindra mengajukan dua bakal calon bupati yang sama-sama
mendaftar ke KPUD setempat. Sementara itu, konflik di Kabupaten Tolikara
terjadi karena ada dualisme KPUD setempat yang berujung pada terbentuknya dua
panitia pemilihan di banyak tempat pemungutan suara (TPS).
Hal lain yang perlu dicermati adalah
sinyalemen Mendagri, yang juga mengutip pendapat Ketua MK, bahwa rakyat Papua
sesungguhnya tidak percaya pada partai politik namun lebih percaya kepada
kepala suku. Anggapan ini tidak didasarkan pada temuan-temuan empiris dari
penelitian ilmiah di lapangan.
Ahli antropologi yang tersohor dari
Universitas Cenderawasih, Dr Johsz Mansoben, menemukan ada beberapa sistem
kepemimpinan di Papua, dan yang paling banyak dianut lebih dari 250 suku asli
di Papua adalah sistem kepemimpinan “Orang
Berwibawa”, yang di dalam berbagai buku teks antropologi sering disebut
dengan istilah “Big Man”.
Tidak pernah hanya ada satu Orang Berwibawa
di setiap kampung di Papua. Pasti jumlahnya lebih dari satu, karena status
sebagai Big Man itu tidak diwariskan,
tetapi harus diupayakan oleh setiap orang yang mau memiliki status itu melalui
proses-proses yang bersifat transaksional.
Seseorang yang bertatus Big Man lima tahun
lalu bisa saja di mata rakyat di kampung itu tidak lagi menjadi Big Man hari
ini. Bahkan, seseorang yang dianggap Big Man untuk urusan berdagang bisa saja
dianggap tidak tahu apa-apa untuk urusan politik modern seperti pilkada.
Itulah sebabnya sebaiknya pemerintah tidak
usah membuat “gerakan tambahan” (istilah gaul di Papua untuk tindakan yang
aneh-aneh) yang justru akan mengacaukan keadaan dan memasung berkembangnya
pemahaman berdemokrasi yang benar di Papua.
Yang mendesak dilakukan adalah mencari
kiat-kiat penyelenggaraan pemilu yang mudah, murah, demokratis, dan benar-benar
aman dari pemalsuan dan jual beli suara.
Salah satu caranya adalah dengan
mendesentralisasi pengadaan/pencetakan dokumen-dokumen pemilu, termasuk surat
suara, sampai ke tingkat distrik (kecamatan) atau bahkan kampung (desa).
Langkah selanjutnya adalah membuat
dokumen-dokumen tersebut sah dan sejauh mungkin tidak bisa dipalsukan. Caranya
dengan mengecap dokumen-dokumen tersebut pada sore/malam hari sebelum
pelaksanaan pencoblosan/pencontrengan, dengan disaksikan seluruh warga.
Biaya untuk pengadaan cap dan tinta ini
sesungguhnya murah. Ini karena di Provinsi Papua diperkirakan akan ada 9.000
TPS, dan setiap paket yang berisi alat, bantalan, dan tinta cap itu
diperkirakan bernilai Rp 450.000 maka hanya diperlukan dana Rp 4 miliar lebih.
Kotak-kotak suara tidak perlu diadakan dari
luar. Papan dari kayu tersedia secara berlimpah di Papua sehingga rakyat pasti
bersedia untuk bergotong royong membuat kotak-kotak suara itu. Yang mahal di
Papua adalah ongkos angkut, karena banyak TPS yang hanya bisa dijangkau dengan
menggunakan pesawat udara dan berjalan kaki.
Intinya, apabila pemerintah tetap konsisten
di dalam mewajibkan digunakannya peraturan perundang-undangan sebagai dasar
pilkada di Papua, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 68 Ayat (2) UU No
21/2001, dan dibarengi dengan tata-cara pelaksanaan pilkada yang sederhana,
demokratis, aman, dan berbiaya murah seperti yang dicontohkan di atas, proses
demokrasi di Papua tidak perlu dipasung, tetapi justru bisa dipupuk dan
ditumbuhkan sehingga setiap orang yang berhak bisa memutuskan yang terbaik bagi
dirinya sendiri.
Itulah inti dari demokrasi yang sebenarnya
yang akan menentukan keberhasilan perjalanan bangsa Indonesia ke depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar