Kamis, 15 Maret 2012

Widjojo “cum suis”


Widjojo “cum suis”
Nono Anwar Makarim, PENULIS
SUMBER : KOMPAS, 14 Maret 2012



Prestasi tim ekonomi yang dipimpin Widjojo Nitisastro dinilai sebagai salah satu sukses politik dan ekonomi abad ke-20 paling cemerlang.

Dalam 25 tahun mereka menyulap ekonomi Indonesia yang kacau dan terpuruk sejak resesi global 1930-an menjadi perekonomian dengan pertumbuhan yang konsisten tinggi dan penurunan angka kemiskinan terbesar di dunia.

Kata para ahli, Widjojo cum suis (cs) menemukan suatu teknik kebijakan ekonomi yang mereka sebut devaluasi terkompensasi. Akibat kebijakan itu, produksi garmen, tekstil, sepatu, dan perabot rumah tangga melonjak naik dan lapangan kerja tercipta untuk dua juta orang Indonesia.

Yang mengagumkan: dampaknya pada harga-harga tak seberapa, sedangkan pengaruhnya atas harga bahan makanan bahkan lebih kecil lagi. Begitu kata Prof Gustav Papanek, mantan Ketua Harvard Advisory Group di Bappenas.

Pengaruh besar

Program paling populer pemerintah Soeharto adalah program Inpres yang menciptakan kesempatan kerja di sektor ekonomi pedesaan. Uang Inpres langsung mengalir dari pusat ke desa tanpa disunat di setiap anak tangga turun dari menteri ke lurah. Dana utuh sampai di tangan rakyat. Program ini dibenci birokrasi karena tak diberi kesempatan memotong komisi. Saban ada pengurangan anggaran, ada saja pihak yang berupaya menghapusnya dari anggaran.

Pada suatu hari anggaran semacam itu, minus program Inpres, diketahui sedang diselundupkan turun ke percetakan. Dua penasihat ketua Bappenas panik. Hanya seorang Widjojo yang bisa mencegah malapetaka ini menimpa rakyat kecil. Sialnya hari itu Prof Widjojo tak bisa dihubungi.

Jadwal ketua Bappenas penuh dengan pertemuan dengan para duta besar baru. Setiap dubes dapat 45 menit. Dua penasi- hat bersikeras nongkrong di ruang tunggu Widjojo mengadukan nasib malang program Inpres. Akhirnya, menjelang sore mereka berhasil menemui Widjojo. Soal ”penyelundupan” anggaran ke percetakan terselesaikan kurang dari 30 menit dan belasan instruksi per telepon oleh Bapak Ketua Bappenas. Peristiwa ini diceritakan kepada saya secara rinci oleh Prof Papanek. Saya curiga bahwa dialah satu dari dua penasihat yang panik dan nongkrong seharian di ruang tunggu Pak Widjojo.

Peristiwa semacam itu tampaknya sering terjadi. Berikut kejadian serupa yang saya saksikan sendiri. Banyak kegiatan bis- nis asing di Indonesia diberi izin oleh pemerintah dengan syarat menyerahkan sebagian dari produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. Jumlah produksi yang wajib disalurkan ke pasar domestik sudah ditetapkan tertulis dalam kontrak. Sisanya bebas diekspor. Pada suatu hari timbul kegaduhan di lokasi produksi suatu perusahaan semacam itu. Bank pemerintah yang ditugasi mengeluarkan izin pengapalan tiba-tiba menerima perintah untuk tak memberi izin. Yang memberi perintah seorang pejabat tinggi yang konon mewakili kepentingan istana.

Perselisihan timbul akibat tuntutan si pejabat agar jumlah produksi kebutuhan dalam negeri ditambah. Rupanya harga produk itu di pasar dunia tiba-tiba melonjak dan pihak tertentu ingin memanfaatkan kesempatan itu mengais keuntungan dengan melanggar ketentuan dalam kontrak. Sekali lagi Widjojo Nitisastro turun tangan. Menteri Keuangan diminta memerintahkan bank pemerintah yang bersangkutan segera mengeluarkan izin pengapalan. Kehebohan mereda dan kegiatan produksi kembali berjalan normal.

Dengan catatan sukses yang cemerlang, serta jasa yang begitu besar, orang bertanya-tanya apa gerangan sebab-musabab para teknokrat tersingkir?

Populisme dan Pribumisme

Ada yang bilang ini semua gara-gara Soeharto berubah selera. Presiden lebih suka dengar cerita Habibie tentang potensi kejayaan bangsa jika kita berani lompat dari tahap ekonomi pertanian yang terbe- lakang ke fase industri besar yang modern. Dibandingkan dengan bayangan hari depan bangsa yang gilang-gemilang seperti itu, cerita Widjojo cs yang penuh dengan larangan ini dan itu terkesan menjemukan. Habibie terkesan membebaskan, Widjojo mengekang. Pandangan ini masuk akal, tetapi terlalu anekdotal dan pribadi-sentris. Saya duga sebab-musabab tersingkirnya teknokrasi berakar jauh lebih dalam dari pertimbangan selera pribadi seorang penguasa.

Suatu gagasan belum tentu sesuai dengan pelaksanaannya, bahkan belum tentu bisa dirumuskan dalam kebijakan pelaksanaan. Populisme amat sulit dikonversi menjadi modul-modul kebijakan ekonomi yang memenuhi tuntutan demagogis. Begawan ilmu ekonomi Keynesian Prof Sumitro Djojohadikusumo, misalnya, meraih arus deras populis dengan upaya mencetak kelas menengah pribumi melalui kebijakan pemberian fasilitas pemerintah. Maka, peran pemerintah harus diperbesar demi tugas merangsang pertumbuhan.

Kubu Widjojo menentang penggelembungan peran pemerintah dalam memberi stimulasi bagi perubahan ekonomi karena ujung-ujungnya penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Meski hasil pelaksanaan doktrin Sumitro sangat diragukan, ia populer di mata publik karena menaiki gelombang tinggi populisme. Widjojo, di pihak lain, dikesankan oleh lawan-lawannya terlalu nurut kepada kehendak Barat.

Kebijakan mengistimewakan pengusaha pribumi merupakan lampiran dari populisme. Mata air arus deras di bawah permukaan bumi Indonesia yang menuntut bagi-bagi rezeki ini berasal dari struktur tiga lapis ekonomi kolonial: lapisan atas dikuasai orang Eropa, lapisan tengah kaum pedagang keturunan Tionghoa, dan perekonomian rakyat mendominasi lapisan agraris terbawah. Penderitaan itu harus ditebus dengan fasilitas istimewa.

Harga kebijakan ini sangat mahal; hasilnya sangat minim. Yang tersisa hanya pelecehan oleh publik yang tecermin dalam istilah seperti ”importir aktentas” dan NV Ali-Babah. Kebijakan memberi perlakuan istimewa kepada orang yang dianggap asli Indonesia berlangsung di sepanjang masa pasca-kemerdekaan. Retorika yang mengawal pribumisme biasanya berbau anti-asing dan anti-Tionghoa. Status kepribumian yang dijadikan sumber hak atas perlakuan istimewa mendapat pengakuan dari pihak penguasa karena di situ tercipta kepentingan bersilang.

Pada zaman Orde Baru, bank-bank pemerintah memberi kredit murah atas imbalan yang disebut uang hangus. Jaminan kredit bersifat proforma; kreditnya pun biasanya macet. Tentu ada anekdot sukses, tapi kebanyakan kasus pribumisme seka- dar merupakan kebijakan korup di ujung pemberi dan korup di pihak penerima perlakuan istimewa. Itulah penyebab kedua kubu Widjojo tersingkir. Meski tak berdaya mencegah kenduri bagi-bagi rezeki, orang tahu mereka menentangnya.

Momentum Penggusuran

Populisme sering dicampuradukkan dengan patriotisme. Ada beda fundamental di antara keduanya. Dalam hubungannya dengan negara, patriotisme senantiasa memberi. Populisme hanya meminta. Dan permintaan itu dikabulkan karena populisme merupakan arus bawah kultur politik Indonesia. Karena sifatnya meminta, populisme selalu muncul dalam keadaan Indonesia makmur. Ia muncul ketika kita panen kenaikan harga minyak sampai tiga kali lipat pada 1973 dan sekali lagi pada 1979-1980. Peristiwa Malari merupakan ungkapan keresahan populis.

Sekarang pada masa Indonesia dipuja dunia sebagai contoh stabilitas dan sukses kebijakan ekonomi makro, masa modal asing berebut masuk, kita menyaksikan munculnya kembali populisme dalam keadaan segar bugar, sehat walafiat. Investor di bidang pertambangan dipaksa menjual mayoritas sahamnya kepada pihak Indonesia. Pucuk pemimpin perusahaan asing harus dijabat orang Indonesia. Permintaan ini dikabulkan karena menguntungkan, baik pemberinya maupun penerimanya. Indonesia kembali ke tabiat aslinya: tukar-menukar rezeki antara pejabat dan pengusaha sebab ketiga kubu Widjojo tak bisa tidak harus tergeser.

Secara berangsur para pemberi kepada negara dan bangsa beranjak pergi. Kelak yang tertinggal hanya para peminta, suatu prospek yang patut disayangkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar