Widjojo
“cum suis”
Nono Anwar Makarim, PENULIS
SUMBER : KOMPAS, 14 Maret 2012
Prestasi tim ekonomi yang dipimpin Widjojo
Nitisastro dinilai sebagai salah satu sukses politik dan ekonomi abad ke-20
paling cemerlang.
Dalam 25 tahun mereka menyulap ekonomi
Indonesia yang kacau dan terpuruk sejak resesi global 1930-an menjadi
perekonomian dengan pertumbuhan yang konsisten tinggi dan penurunan angka
kemiskinan terbesar di dunia.
Kata para ahli, Widjojo cum suis (cs) menemukan
suatu teknik kebijakan ekonomi yang mereka sebut devaluasi terkompensasi.
Akibat kebijakan itu, produksi garmen, tekstil, sepatu, dan perabot rumah
tangga melonjak naik dan lapangan kerja tercipta untuk dua juta orang
Indonesia.
Yang mengagumkan: dampaknya pada harga-harga
tak seberapa, sedangkan pengaruhnya atas harga bahan makanan bahkan lebih kecil
lagi. Begitu kata Prof Gustav Papanek, mantan Ketua Harvard Advisory Group di Bappenas.
Pengaruh besar
Program paling populer pemerintah Soeharto adalah
program Inpres yang menciptakan kesempatan kerja di sektor ekonomi pedesaan.
Uang Inpres langsung mengalir dari pusat ke desa tanpa disunat di setiap anak
tangga turun dari menteri ke lurah. Dana utuh sampai di tangan rakyat. Program
ini dibenci birokrasi karena tak diberi kesempatan memotong komisi. Saban ada
pengurangan anggaran, ada saja pihak yang berupaya menghapusnya dari anggaran.
Pada suatu hari anggaran semacam itu, minus
program Inpres, diketahui sedang diselundupkan turun ke percetakan. Dua
penasihat ketua Bappenas panik. Hanya seorang Widjojo yang bisa mencegah
malapetaka ini menimpa rakyat kecil. Sialnya hari itu Prof Widjojo tak bisa
dihubungi.
Jadwal ketua Bappenas penuh dengan pertemuan
dengan para duta besar baru. Setiap dubes dapat 45 menit. Dua penasi- hat
bersikeras nongkrong di ruang tunggu Widjojo mengadukan nasib malang program
Inpres. Akhirnya, menjelang sore mereka berhasil menemui Widjojo. Soal
”penyelundupan” anggaran ke percetakan terselesaikan kurang dari 30 menit dan
belasan instruksi per telepon oleh Bapak Ketua Bappenas. Peristiwa ini
diceritakan kepada saya secara rinci oleh Prof Papanek. Saya curiga bahwa
dialah satu dari dua penasihat yang panik dan nongkrong seharian di ruang
tunggu Pak Widjojo.
Peristiwa semacam itu tampaknya sering
terjadi. Berikut kejadian serupa yang saya saksikan sendiri. Banyak kegiatan
bis- nis asing di Indonesia diberi izin oleh pemerintah dengan syarat
menyerahkan sebagian dari produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. Jumlah
produksi yang wajib disalurkan ke pasar domestik sudah ditetapkan tertulis
dalam kontrak. Sisanya bebas diekspor. Pada suatu hari timbul kegaduhan di
lokasi produksi suatu perusahaan semacam itu. Bank pemerintah yang ditugasi
mengeluarkan izin pengapalan tiba-tiba menerima perintah untuk tak memberi
izin. Yang memberi perintah seorang pejabat tinggi yang konon mewakili
kepentingan istana.
Perselisihan timbul akibat tuntutan si
pejabat agar jumlah produksi kebutuhan dalam negeri ditambah. Rupanya harga
produk itu di pasar dunia tiba-tiba melonjak dan pihak tertentu ingin
memanfaatkan kesempatan itu mengais keuntungan dengan melanggar ketentuan dalam
kontrak. Sekali lagi Widjojo Nitisastro turun tangan. Menteri Keuangan diminta
memerintahkan bank pemerintah yang bersangkutan segera mengeluarkan izin
pengapalan. Kehebohan mereda dan kegiatan produksi kembali berjalan normal.
Dengan catatan sukses yang cemerlang, serta
jasa yang begitu besar, orang bertanya-tanya apa gerangan sebab-musabab para
teknokrat tersingkir?
Populisme dan Pribumisme
Ada yang bilang ini semua gara-gara Soeharto
berubah selera. Presiden lebih suka dengar cerita Habibie tentang potensi
kejayaan bangsa jika kita berani lompat dari tahap ekonomi pertanian yang
terbe- lakang ke fase industri besar yang modern. Dibandingkan dengan bayangan
hari depan bangsa yang gilang-gemilang seperti itu, cerita Widjojo cs yang
penuh dengan larangan ini dan itu terkesan menjemukan. Habibie terkesan
membebaskan, Widjojo mengekang. Pandangan ini masuk akal, tetapi terlalu
anekdotal dan pribadi-sentris. Saya duga sebab-musabab tersingkirnya teknokrasi
berakar jauh lebih dalam dari pertimbangan selera pribadi seorang penguasa.
Suatu gagasan belum tentu sesuai dengan
pelaksanaannya, bahkan belum tentu bisa dirumuskan dalam kebijakan pelaksanaan.
Populisme amat sulit dikonversi menjadi modul-modul kebijakan ekonomi yang
memenuhi tuntutan demagogis. Begawan ilmu ekonomi Keynesian Prof Sumitro
Djojohadikusumo, misalnya, meraih arus deras populis dengan upaya mencetak
kelas menengah pribumi melalui kebijakan pemberian fasilitas pemerintah. Maka,
peran pemerintah harus diperbesar demi tugas merangsang pertumbuhan.
Kubu Widjojo menentang penggelembungan peran
pemerintah dalam memberi stimulasi bagi perubahan ekonomi karena ujung-ujungnya
penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Meski hasil pelaksanaan doktrin Sumitro
sangat diragukan, ia populer di mata publik karena menaiki gelombang tinggi
populisme. Widjojo, di pihak lain, dikesankan oleh lawan-lawannya terlalu nurut
kepada kehendak Barat.
Kebijakan mengistimewakan pengusaha pribumi
merupakan lampiran dari populisme. Mata air arus deras di bawah permukaan bumi
Indonesia yang menuntut bagi-bagi rezeki ini berasal dari struktur tiga lapis
ekonomi kolonial: lapisan atas dikuasai orang Eropa, lapisan tengah kaum
pedagang keturunan Tionghoa, dan perekonomian rakyat mendominasi lapisan
agraris terbawah. Penderitaan itu harus ditebus dengan fasilitas istimewa.
Harga kebijakan ini sangat mahal; hasilnya
sangat minim. Yang tersisa hanya pelecehan oleh publik yang tecermin dalam
istilah seperti ”importir aktentas” dan NV Ali-Babah. Kebijakan memberi
perlakuan istimewa kepada orang yang dianggap asli Indonesia berlangsung di
sepanjang masa pasca-kemerdekaan. Retorika yang mengawal pribumisme biasanya berbau
anti-asing dan anti-Tionghoa. Status kepribumian yang dijadikan sumber hak atas
perlakuan istimewa mendapat pengakuan dari pihak penguasa karena di situ
tercipta kepentingan bersilang.
Pada zaman Orde Baru, bank-bank pemerintah
memberi kredit murah atas imbalan yang disebut uang hangus. Jaminan kredit
bersifat proforma; kreditnya pun biasanya macet. Tentu ada anekdot sukses, tapi
kebanyakan kasus pribumisme seka- dar merupakan kebijakan korup di ujung
pemberi dan korup di pihak penerima perlakuan istimewa. Itulah penyebab kedua
kubu Widjojo tersingkir. Meski tak berdaya mencegah kenduri bagi-bagi rezeki,
orang tahu mereka menentangnya.
Momentum Penggusuran
Populisme sering dicampuradukkan dengan
patriotisme. Ada beda fundamental di antara keduanya. Dalam hubungannya dengan
negara, patriotisme senantiasa memberi. Populisme hanya meminta. Dan permintaan
itu dikabulkan karena populisme merupakan arus bawah kultur politik Indonesia.
Karena sifatnya meminta, populisme selalu muncul dalam keadaan Indonesia makmur.
Ia muncul ketika kita panen kenaikan harga minyak sampai tiga kali lipat pada
1973 dan sekali lagi pada 1979-1980. Peristiwa Malari merupakan ungkapan
keresahan populis.
Sekarang pada masa Indonesia dipuja dunia
sebagai contoh stabilitas dan sukses kebijakan ekonomi makro, masa modal asing
berebut masuk, kita menyaksikan munculnya kembali populisme dalam keadaan segar
bugar, sehat walafiat. Investor di bidang pertambangan dipaksa menjual
mayoritas sahamnya kepada pihak Indonesia. Pucuk pemimpin perusahaan asing
harus dijabat orang Indonesia. Permintaan ini dikabulkan karena menguntungkan,
baik pemberinya maupun penerimanya. Indonesia kembali ke tabiat aslinya:
tukar-menukar rezeki antara pejabat dan pengusaha sebab ketiga kubu Widjojo tak
bisa tidak harus tergeser.
Secara berangsur para pemberi kepada negara
dan bangsa beranjak pergi. Kelak yang tertinggal hanya para peminta, suatu
prospek yang patut disayangkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar