Agar
Wujud Bulog Tidak Ka ‘Adamihi
Dahlan
Iskan,
Menteri BUMN
SUMBER : JAWA POS, 26 Maret 2012
LUPAKAN
gerbang tol. Ada yang lebih aktual yang harus kita dukung: pengadaan beras oleh
Bulog. Saat ini petani lagi panen raya. Tindakan saya yang keras dalam
mengatasi kemacetan di pintu-pintu tol memang mendapat dukungan luas (10 persen
lainnya mengecam saya sekadar melakukan pencitraan), tapi Bulog juga harus
terus didorong untuk berubah.
Hari-hari ini Bulog lagi all-out terjun ke sawah. Di musim panen raya sekarang ini Bulog tidak mau lagi disebut sekadar menjadi "tukang tadah". Saat ini Bulog mulai berani membeli gabah langsung dari petani. Tidak hanya membeli gabah melalui para tengkulak. Kali ini Bulog mencoba belajar jadi "tengkulak" itu sendiri. Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso langsung terjun ke sawah-sawah.
Hasilnya pasti belum maksimal. Juga belum bisa merata ke semua daerah. Maklum, baru sekarang ini Bulog terjun langsung ke desa-desa secara all-out. Bulog kali ini mencoba mengubah cara kerja. Tapi, memang tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah lama menjadi kebiasaan. Apalagi kalau sudah mengakar dan menggurita. "Membelokkan" kapal besar seperti Bulog tidak akan bisa spontan seperti membelokkan speedboat. Tapi, perubahan di Bulog sudah dimulai.
Waktu mengadakan rapat kerja dua bulan yang lalu, semangat untuk berubah itu terlihat nyata. Dan tidak boleh mundur lagi. Dalam rapat kerja itu, misalnya, ditemukan cara agar Bulog bisa lebih lincah tanpa melanggar aturan. Pertama, aturan itu sendiri diubah. Kedua, mendayagunakan anak perusahaan untuk meningkatkan fleksibilitas pembayaran langsung kepada petani. Ketiga, melakukan kerja sama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk pendanaan.
Selama ini Bulog tidak mungkin bisa bersaing dengan para tengkulak: kalah lincah, kalah prosedur, dan kalah dana. Akibatnya, nama Bulog kian redup di mata petani. Rendahnya kepercayaan petani padi kepada Bulog sudah mirip dengan rendahnya kepercayaan petani tebu kepada pabrik gula.
Seperti juga pabrik-pabrik gula milik BUMN, kini Bulog juga lagi giat merebut kembali kepercayaan yang hilang itu. Tentu belum akan berhasil tahun ini, tapi setidaknya sudah dimulai. Kalau usaha itu tidak dilakukan, dalam waktu yang tidak terlalu lama Bulog kian jauh dari petani. Bisa-bisa Bulog lama-lama menjadi "adanya seperti tiadanya (wujuduhu ka 'adamihi)".
Tapi, kehadiran tengkulak di tengah-tengah petani sebaiknya juga jangan dikecam. Bahkan, harus disyukuri. Di saat Bulog seperti itu, terus terang, tengkulaklah yang menjadi juru selamat para petani. Tengkulaklah yang siap membeli gabah kapan saja dalam kualitas seperti apa saja. Tengkulak bisa membeli gabah fresh from the field. Tanpa perlu memeriksa apakah kadar airnya tinggi atau rendah. Tanpa memeriksa berapa persen gabah yang kopong. Petani sangat senang dengan cara ini: langsung bisa mendapat uang saat itu juga.
Tentu petani tidak mungkin menunggu Bulog. Bisa-bisa seperti menunggu datangnya pesawat Adam Air yang pergi entah ke mana. Apalagi dalam panen raya serentak seperti sekarang ini. Jutaan petani ingin dapat uang sekarang juga.
Tahun ini, kelihatannya, panen raya akan maksimal. Di samping harga gabah sangat baik, panennya sangat berhasil. Tidak banyak hama dan tidak banyak bencana banjir. Insya Allah. Kita doakan keadaan seperti ini tetap berlangsung setidaknya sampai musim panen selesai bulan depan. Tentu, kalau bisa, juga seterusnya. Setelah beberapa tahun panen banyak terganggu, tahun ini petani benar-benar akan bisa menikmati hasil sawahnya.
Pak Marto Paimin, petani Dusun Karang Rejo, Desa Bener, Sragen, yang tahun ini menggarap sawah 0,7 ha, memperkirakan akan mendapat hasil (sekali panen) sekitar Rp 5 juta. Gabah yang sedang dia tumpuk di ruang tamu rumahnya itu kira-kira akan bernilai Rp 13 juta. Sedangkan biaya menggarap sawahnya, termasuk benih dan pupuk, menghabiskan maksimal Rp 8 juta.
Malam itu saya tidur dan ngobrol dengan asyiknya di rumah Pak Paimin. Sarapan oseng-oseng daun pepaya dengan tempe goreng secara lesehan di lantai sebelah tumpukan gabah benar-benar mengingatkan pada masa kecil saya. Lantai rumah tersebut, yang masih berupa tanah, dan dinding-dindingnya yang terbuat dari kayu membuat udara malam itu cukup sejuk.
Tapi, mengapa gabah Pak Paimin masih ditumpuk? Tidak segera dijual? "Tunggu harga naik bulan depan, Pak," kata Pak Paimin. "Bulan depan harga akan lebih baik. Bisa mendapat tambahan kira-kira Rp 400.000," tambah Supomo, anak bungsunya yang kini hampir selesai membangun rumah gedung persis di depan rumah bapaknya itu.
Memang dia memiliki pinjaman pupuk dan benih dari BUMN PT Petrokimia Gresik. Tapi, masih ada waktu satu bulan lagi sebelum jatuh tempo. "Meskipun namanya yarnen (bayar di saat panen), kami memberikan kelonggaran satu bulan," ujar Arifin Tasrif, Dirut PT Pupuk Sriwijaya Holding.
Presiden SBY memang memerintahkan tiga BUMN (Sang Hyang Sri, Pertani, dan Pupuk Kaltim/Sriwijaya/Petrokimia) untuk habis-habisan membantu petani meningkatkan produksi beras. Sawah-sawah yang hanya bisa memproduksi padi 5,1 ton/ha harus meningkatkannya menjadi di atas 7 ton/ha. Rendahnya produktivitas itu kadang disebabkan petani tidak punya uang untuk membeli benih unggul. Atau tidak punya uang untuk membeli pupuk tepat pada waktunya. Pemupukan yang tidak tepat waktu membuat pupuk tidak efektif. Itulah sebabnya tiga BUMN tersebut ikut terjun ke petani langsung.
Bisa saja kelak sistem yarnen itu diganti dengan yarbah. Dibayar dengan gabah. Lalu, tiga BUMN tersebut menyerahkan gabahnya kepada BUMN Perum Bulog. Dengan demikian, Bulog tidak perlu bersaing dengan tengkulak di lapangan. Bulog juga tidak perlu terlalu banyak membeli gabah/beras dari pedagang. Sistem yarbah itu lagi dimatangkan setelah belajar banyak dari panen raya tahun ini.
Kalau dari sistem yarbah itu belum cukup, BUMN masih punya dua program besar lain di bidang pangan: Pencetakan sawah baru 100.000 ha di Kaltim dan gerakan ProBeras. Hasil dari dua-duanya bisa juga langsung dikirim ke Bulog.
Program ProBeras adalah program kerja sama BUMN dengan petani yang tidak mampu menggarap sawahnya secara maksimal. Misalnya, petani tersebut punya sawah, tapi tidak punya tenaga. Anak-anaknya tidak ada lagi yang di desa. Tidak seperti Pak Paimin yang ketiga anaknya tetap jadi petani semua.
Sawah-sawah yang seperti itu biasanya dikerjakan secara apa adanya. Akibatnya, produktivitas per hektarenya rendah. Untuk itu, BUMN bersedia menerima sawah tersebut. BUMN-lah yang mengerjakannya dengan sistem korporasi. BUMN punya benih unggul, punya pupuk komplet, punya mesin-mesin pertanian, punya tenaga ahli, dan punya dana. BUMN akan menjadikan sawah-sawah seperti itu sawah dengan produktivitas yang maksimal.
Dengan menangani program Yarnen, ProBeras, dan Sawah Baru, BUMN kelak akan menggabungkan diri ke dalam satu BUMN pangan yang kuat. Mudah-mudahan bisa membantu mengatasi persoalan pangan, terutama beras. Rapat-rapat di Kemenko Perekonomian yang dipimpin Hatta Rajasa terus memonitor program itu.
Memang tetap ada pertanyaan besar: Kalau saja harga gabah tetap baik dan para tengkulak tetap agresif seperti sekarang, masih perlukah Bulog? Dari berbagai kunjungan saya ke daerah pertanian (Bantul, Gunung Kidul, Sragen, dan Jombang), saya melihat peran tengkulak sangat besar. Juga sangat luas. Penetrasinya juga sangat dalam. Hampir-hampir terasa ada atau tidak adanya Bulog tidak ada bedanya.
Di desa yang saya kunjungi di Sragen itu, misalnya, tengkulak tidak hanya agresif membeli gabah, tapi sudah sampai menebas padi ketika masih di sawah. Petani tidak perlu susah-susah memanen, merontokkan, dan mengeringkan. Tengkulak-penebas langsung membelinya ketika masih dalam bentuk padi menguning yang berdiri di sawah.
Harga beras yang dinilai tinggi oleh konsumen ternyata dinilai baik oleh petani. Demikian juga harga beras internasional yang tinggi, menimbulkan peluang bagi pedagang untuk menjadikan gabah sebagai barang dagangan. Tentu tidak hanya itu alasan petani untuk cenderung menebaskan saja padinya yang masih menguning di sawah. Sulitnya mencari tenaga untuk memanen dan merontokkan gabah ikut jadi alasan. Sulitnya mencari lahan hamparan untuk menjemur padi menambah-nambah alasan tesrebut.
Peralatan pertanian itu begitu mendesaknya sekarang ini. Di Bantul saya menerima permintaan perlunya diberikan alat pemanen, perontok, dan pengering gabah. Di Jombang saya menerima permintaan agar ada program pembuatan hamparan penjemuran gabah. Mesin perontok dan pengering yang mulai diintroduksi tahun-tahun terakhir ini dinilai tidak cocok karena berbahan bakar minyak. Terlalu mahal biaya operasionalnya. Ada memang mesin perontok mekanis yang diputar orang seperti naik sepeda statis, tapi petani maunya yang tinggal pijit tombol.
Dalam berbagai kesempatan dialog di lingkungan perguruan tinggi, soal itu saya kemukakan. Perlu diciptakan mesin-mesin pertanian sederhana yang cocok untuk petani kita. Sewaktu dialog dengan alumni Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang di Jakarta bulan lalu saya tawarkan peluang besar itu. Demikian juga waktu dialog dengan mahasiswa ITB Bandung.
Di Bantul saya sudah mencoba panen dengan menggunakan mesin yang bentuknya mirip dengan traktor. Hanya dalam dua jam bisa memanen padi satu hektare (ha). Enak sekali dan cepat sekali. Padi pun otomatis masuk di kendaraan itu dan keluar di bagian belakangnya sudah dalam keadaan terpisah antara batang dan gabahnya. Dengan cara tersebut, hampir tidak ada gabah yang tercecer. Beda sekali dengan masa remaja saya di desa ketika harus jadi buruh pemanen dengan menggunakan ani-ani.
Meski mesin itu masih terlalu mahal, rasanya mau tidak mau kita harus menuju ke arah sana. Tenaga untuk memanen dan merontokkan benar-benar sulit sekarang ini. Apalagi lima tahun ke depan.
Dengan demikian, ke depan yang diperlukan tinggal "kendaraan panen" itu dan lahan penjemuran. Di Jombang diusulkan agar tanah desa diubah menjadi lahan penjemuran bersama. Saat musim panen hamparan itu digunakan untuk menjemur gabah. Di luar itu, bisa dimanfaatkan untuk tempat bermain anak-anak. Kecuali, bisa ditemukan mesin penjemur yang tidak berbahan bakar minyak. Misalnya, mesin yang memanfaatkan panas matahari.
Di perkebunan karet BUMN PTPN IX Jateng sudah dicoba pengeringan karet dengan tenaga matahari. Investasinya memadai karena digunakan sepanjang tahun. Saya sudah minta bagaimana proses itu disempurnakan untuk gabah. Memang perhitungan investasinya lebih sulit. Pengering gabah hanya akan dipakai maksimal tiga kali dalam setahun. Yakni, saat musim panen saja.
Intinya: masih banyak yang harus kita perbuat untuk puluhan juta petani kita. Terutama pada masa transisi seperti ini. Transisi dari cara lama ke cara baru. Transisi yang tidak bisa dihindari karena kian sulitnya tenaga kerja di sektor pertanian. Transisi dari cara-cara lama ke cara baru yang mereka anggap lebih mudah. Transisi dari berlama-lama uro-uro di sawah ke cepat-cepat pulang nonton sinetron.
Kalaupun belakangan ini saya banyak pergi ke sawah, tidak lain untuk memberikan dukungan kepada empat BUMN tersebut. Mumpung lagi panen raya. Apakah benar produktivitas sudah meningkat. Apakah benar problem pascapanen bisa diatasi. Apakah benar Bulog masih diperlukan kalau mekanisme pasar sudah sempurna.
Bagi yang menganggap saya melakukan pencitraan, sesekali boleh juga ikut ke sawah. Kita bisa, he he, mencitrakan diri bersama-sama. Akhir musim panen ini akan diadakan evaluasi di BUMN. Dengan ikut terjun ke sawah, saya bisa ikut diskusi, tidak hanya berpegang pada data di atas kertas.
Tahun ini beban Bulog sangat berat. Harus mengadakan beras dari petani 4 juta ton. Padahal, tahun lalu hanya mampu 1,7 juta ton. Impor memang tidak harus dipersoalkan. Tapi, impor beras 1,8 juta ton tahun lalu, apakah harus terus-menerus begitu? ●
Hari-hari ini Bulog lagi all-out terjun ke sawah. Di musim panen raya sekarang ini Bulog tidak mau lagi disebut sekadar menjadi "tukang tadah". Saat ini Bulog mulai berani membeli gabah langsung dari petani. Tidak hanya membeli gabah melalui para tengkulak. Kali ini Bulog mencoba belajar jadi "tengkulak" itu sendiri. Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso langsung terjun ke sawah-sawah.
Hasilnya pasti belum maksimal. Juga belum bisa merata ke semua daerah. Maklum, baru sekarang ini Bulog terjun langsung ke desa-desa secara all-out. Bulog kali ini mencoba mengubah cara kerja. Tapi, memang tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah lama menjadi kebiasaan. Apalagi kalau sudah mengakar dan menggurita. "Membelokkan" kapal besar seperti Bulog tidak akan bisa spontan seperti membelokkan speedboat. Tapi, perubahan di Bulog sudah dimulai.
Waktu mengadakan rapat kerja dua bulan yang lalu, semangat untuk berubah itu terlihat nyata. Dan tidak boleh mundur lagi. Dalam rapat kerja itu, misalnya, ditemukan cara agar Bulog bisa lebih lincah tanpa melanggar aturan. Pertama, aturan itu sendiri diubah. Kedua, mendayagunakan anak perusahaan untuk meningkatkan fleksibilitas pembayaran langsung kepada petani. Ketiga, melakukan kerja sama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk pendanaan.
Selama ini Bulog tidak mungkin bisa bersaing dengan para tengkulak: kalah lincah, kalah prosedur, dan kalah dana. Akibatnya, nama Bulog kian redup di mata petani. Rendahnya kepercayaan petani padi kepada Bulog sudah mirip dengan rendahnya kepercayaan petani tebu kepada pabrik gula.
Seperti juga pabrik-pabrik gula milik BUMN, kini Bulog juga lagi giat merebut kembali kepercayaan yang hilang itu. Tentu belum akan berhasil tahun ini, tapi setidaknya sudah dimulai. Kalau usaha itu tidak dilakukan, dalam waktu yang tidak terlalu lama Bulog kian jauh dari petani. Bisa-bisa Bulog lama-lama menjadi "adanya seperti tiadanya (wujuduhu ka 'adamihi)".
Tapi, kehadiran tengkulak di tengah-tengah petani sebaiknya juga jangan dikecam. Bahkan, harus disyukuri. Di saat Bulog seperti itu, terus terang, tengkulaklah yang menjadi juru selamat para petani. Tengkulaklah yang siap membeli gabah kapan saja dalam kualitas seperti apa saja. Tengkulak bisa membeli gabah fresh from the field. Tanpa perlu memeriksa apakah kadar airnya tinggi atau rendah. Tanpa memeriksa berapa persen gabah yang kopong. Petani sangat senang dengan cara ini: langsung bisa mendapat uang saat itu juga.
Tentu petani tidak mungkin menunggu Bulog. Bisa-bisa seperti menunggu datangnya pesawat Adam Air yang pergi entah ke mana. Apalagi dalam panen raya serentak seperti sekarang ini. Jutaan petani ingin dapat uang sekarang juga.
Tahun ini, kelihatannya, panen raya akan maksimal. Di samping harga gabah sangat baik, panennya sangat berhasil. Tidak banyak hama dan tidak banyak bencana banjir. Insya Allah. Kita doakan keadaan seperti ini tetap berlangsung setidaknya sampai musim panen selesai bulan depan. Tentu, kalau bisa, juga seterusnya. Setelah beberapa tahun panen banyak terganggu, tahun ini petani benar-benar akan bisa menikmati hasil sawahnya.
Pak Marto Paimin, petani Dusun Karang Rejo, Desa Bener, Sragen, yang tahun ini menggarap sawah 0,7 ha, memperkirakan akan mendapat hasil (sekali panen) sekitar Rp 5 juta. Gabah yang sedang dia tumpuk di ruang tamu rumahnya itu kira-kira akan bernilai Rp 13 juta. Sedangkan biaya menggarap sawahnya, termasuk benih dan pupuk, menghabiskan maksimal Rp 8 juta.
Malam itu saya tidur dan ngobrol dengan asyiknya di rumah Pak Paimin. Sarapan oseng-oseng daun pepaya dengan tempe goreng secara lesehan di lantai sebelah tumpukan gabah benar-benar mengingatkan pada masa kecil saya. Lantai rumah tersebut, yang masih berupa tanah, dan dinding-dindingnya yang terbuat dari kayu membuat udara malam itu cukup sejuk.
Tapi, mengapa gabah Pak Paimin masih ditumpuk? Tidak segera dijual? "Tunggu harga naik bulan depan, Pak," kata Pak Paimin. "Bulan depan harga akan lebih baik. Bisa mendapat tambahan kira-kira Rp 400.000," tambah Supomo, anak bungsunya yang kini hampir selesai membangun rumah gedung persis di depan rumah bapaknya itu.
Memang dia memiliki pinjaman pupuk dan benih dari BUMN PT Petrokimia Gresik. Tapi, masih ada waktu satu bulan lagi sebelum jatuh tempo. "Meskipun namanya yarnen (bayar di saat panen), kami memberikan kelonggaran satu bulan," ujar Arifin Tasrif, Dirut PT Pupuk Sriwijaya Holding.
Presiden SBY memang memerintahkan tiga BUMN (Sang Hyang Sri, Pertani, dan Pupuk Kaltim/Sriwijaya/Petrokimia) untuk habis-habisan membantu petani meningkatkan produksi beras. Sawah-sawah yang hanya bisa memproduksi padi 5,1 ton/ha harus meningkatkannya menjadi di atas 7 ton/ha. Rendahnya produktivitas itu kadang disebabkan petani tidak punya uang untuk membeli benih unggul. Atau tidak punya uang untuk membeli pupuk tepat pada waktunya. Pemupukan yang tidak tepat waktu membuat pupuk tidak efektif. Itulah sebabnya tiga BUMN tersebut ikut terjun ke petani langsung.
Bisa saja kelak sistem yarnen itu diganti dengan yarbah. Dibayar dengan gabah. Lalu, tiga BUMN tersebut menyerahkan gabahnya kepada BUMN Perum Bulog. Dengan demikian, Bulog tidak perlu bersaing dengan tengkulak di lapangan. Bulog juga tidak perlu terlalu banyak membeli gabah/beras dari pedagang. Sistem yarbah itu lagi dimatangkan setelah belajar banyak dari panen raya tahun ini.
Kalau dari sistem yarbah itu belum cukup, BUMN masih punya dua program besar lain di bidang pangan: Pencetakan sawah baru 100.000 ha di Kaltim dan gerakan ProBeras. Hasil dari dua-duanya bisa juga langsung dikirim ke Bulog.
Program ProBeras adalah program kerja sama BUMN dengan petani yang tidak mampu menggarap sawahnya secara maksimal. Misalnya, petani tersebut punya sawah, tapi tidak punya tenaga. Anak-anaknya tidak ada lagi yang di desa. Tidak seperti Pak Paimin yang ketiga anaknya tetap jadi petani semua.
Sawah-sawah yang seperti itu biasanya dikerjakan secara apa adanya. Akibatnya, produktivitas per hektarenya rendah. Untuk itu, BUMN bersedia menerima sawah tersebut. BUMN-lah yang mengerjakannya dengan sistem korporasi. BUMN punya benih unggul, punya pupuk komplet, punya mesin-mesin pertanian, punya tenaga ahli, dan punya dana. BUMN akan menjadikan sawah-sawah seperti itu sawah dengan produktivitas yang maksimal.
Dengan menangani program Yarnen, ProBeras, dan Sawah Baru, BUMN kelak akan menggabungkan diri ke dalam satu BUMN pangan yang kuat. Mudah-mudahan bisa membantu mengatasi persoalan pangan, terutama beras. Rapat-rapat di Kemenko Perekonomian yang dipimpin Hatta Rajasa terus memonitor program itu.
Memang tetap ada pertanyaan besar: Kalau saja harga gabah tetap baik dan para tengkulak tetap agresif seperti sekarang, masih perlukah Bulog? Dari berbagai kunjungan saya ke daerah pertanian (Bantul, Gunung Kidul, Sragen, dan Jombang), saya melihat peran tengkulak sangat besar. Juga sangat luas. Penetrasinya juga sangat dalam. Hampir-hampir terasa ada atau tidak adanya Bulog tidak ada bedanya.
Di desa yang saya kunjungi di Sragen itu, misalnya, tengkulak tidak hanya agresif membeli gabah, tapi sudah sampai menebas padi ketika masih di sawah. Petani tidak perlu susah-susah memanen, merontokkan, dan mengeringkan. Tengkulak-penebas langsung membelinya ketika masih dalam bentuk padi menguning yang berdiri di sawah.
Harga beras yang dinilai tinggi oleh konsumen ternyata dinilai baik oleh petani. Demikian juga harga beras internasional yang tinggi, menimbulkan peluang bagi pedagang untuk menjadikan gabah sebagai barang dagangan. Tentu tidak hanya itu alasan petani untuk cenderung menebaskan saja padinya yang masih menguning di sawah. Sulitnya mencari tenaga untuk memanen dan merontokkan gabah ikut jadi alasan. Sulitnya mencari lahan hamparan untuk menjemur padi menambah-nambah alasan tesrebut.
Peralatan pertanian itu begitu mendesaknya sekarang ini. Di Bantul saya menerima permintaan perlunya diberikan alat pemanen, perontok, dan pengering gabah. Di Jombang saya menerima permintaan agar ada program pembuatan hamparan penjemuran gabah. Mesin perontok dan pengering yang mulai diintroduksi tahun-tahun terakhir ini dinilai tidak cocok karena berbahan bakar minyak. Terlalu mahal biaya operasionalnya. Ada memang mesin perontok mekanis yang diputar orang seperti naik sepeda statis, tapi petani maunya yang tinggal pijit tombol.
Dalam berbagai kesempatan dialog di lingkungan perguruan tinggi, soal itu saya kemukakan. Perlu diciptakan mesin-mesin pertanian sederhana yang cocok untuk petani kita. Sewaktu dialog dengan alumni Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang di Jakarta bulan lalu saya tawarkan peluang besar itu. Demikian juga waktu dialog dengan mahasiswa ITB Bandung.
Di Bantul saya sudah mencoba panen dengan menggunakan mesin yang bentuknya mirip dengan traktor. Hanya dalam dua jam bisa memanen padi satu hektare (ha). Enak sekali dan cepat sekali. Padi pun otomatis masuk di kendaraan itu dan keluar di bagian belakangnya sudah dalam keadaan terpisah antara batang dan gabahnya. Dengan cara tersebut, hampir tidak ada gabah yang tercecer. Beda sekali dengan masa remaja saya di desa ketika harus jadi buruh pemanen dengan menggunakan ani-ani.
Meski mesin itu masih terlalu mahal, rasanya mau tidak mau kita harus menuju ke arah sana. Tenaga untuk memanen dan merontokkan benar-benar sulit sekarang ini. Apalagi lima tahun ke depan.
Dengan demikian, ke depan yang diperlukan tinggal "kendaraan panen" itu dan lahan penjemuran. Di Jombang diusulkan agar tanah desa diubah menjadi lahan penjemuran bersama. Saat musim panen hamparan itu digunakan untuk menjemur gabah. Di luar itu, bisa dimanfaatkan untuk tempat bermain anak-anak. Kecuali, bisa ditemukan mesin penjemur yang tidak berbahan bakar minyak. Misalnya, mesin yang memanfaatkan panas matahari.
Di perkebunan karet BUMN PTPN IX Jateng sudah dicoba pengeringan karet dengan tenaga matahari. Investasinya memadai karena digunakan sepanjang tahun. Saya sudah minta bagaimana proses itu disempurnakan untuk gabah. Memang perhitungan investasinya lebih sulit. Pengering gabah hanya akan dipakai maksimal tiga kali dalam setahun. Yakni, saat musim panen saja.
Intinya: masih banyak yang harus kita perbuat untuk puluhan juta petani kita. Terutama pada masa transisi seperti ini. Transisi dari cara lama ke cara baru. Transisi yang tidak bisa dihindari karena kian sulitnya tenaga kerja di sektor pertanian. Transisi dari cara-cara lama ke cara baru yang mereka anggap lebih mudah. Transisi dari berlama-lama uro-uro di sawah ke cepat-cepat pulang nonton sinetron.
Kalaupun belakangan ini saya banyak pergi ke sawah, tidak lain untuk memberikan dukungan kepada empat BUMN tersebut. Mumpung lagi panen raya. Apakah benar produktivitas sudah meningkat. Apakah benar problem pascapanen bisa diatasi. Apakah benar Bulog masih diperlukan kalau mekanisme pasar sudah sempurna.
Bagi yang menganggap saya melakukan pencitraan, sesekali boleh juga ikut ke sawah. Kita bisa, he he, mencitrakan diri bersama-sama. Akhir musim panen ini akan diadakan evaluasi di BUMN. Dengan ikut terjun ke sawah, saya bisa ikut diskusi, tidak hanya berpegang pada data di atas kertas.
Tahun ini beban Bulog sangat berat. Harus mengadakan beras dari petani 4 juta ton. Padahal, tahun lalu hanya mampu 1,7 juta ton. Impor memang tidak harus dipersoalkan. Tapi, impor beras 1,8 juta ton tahun lalu, apakah harus terus-menerus begitu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar