Kamis, 01 April 2021

 

Tikus Mati di Lumbung Padi

 Putu Fajar Arcana ; Kolumnis “Sosial dan Budaya” Kompas

                                                        KOMPAS, 31 Maret 2021

 

 

                                                           

Pepatah tua ”Tikus mati di lumbung padi” bisa jadi hantu yang mengerikan di negeri ini. Percekcokan soal impor-mengimpor beras membuat para petani gundah.

 

Baca saja poster-poster yang dipajang para petani di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sambil tetap memanen padi, mereka mengacungkan poster berbunyi, ”Gabah kami melimpah, import beras membuat resah” atau ”Kami menolak import beras”.

 

Dalam mata rantai politik perberasan, petani selalu menempati simpul terbawah dari lingkaran ”industri” dan ”perniagaan” pangan kita. Mungkin lantaran itulah, ia selalu rentan terhadap berbagai spekulasi dan permainan dagang.

 

Sampai dengan tahun 1980-an, Bapak dan para petani di desa selalu menjual padi kepada para tengkulak. Bukan berarti mereka tak mau repot memanen padi dengan sistem dan pola kerja baru setelah masuknya padi-padi IR tahun 1970-an, melainkan para tengkulak selalu punya cara menjerat kaum petani.

 

Sejak membenih di petak sawah, para tengkulak biasanya menawarkan pinjaman modal untuk membeli benih padi unggul. Setelah musim tanam tiba, mereka datang lagi dengan memberi pinjaman baru: buat modal beli pupuk kimia dan pestisida.

 

Ujung-ujungnya, sebelum musim panen benar-benar tiba, para petani sudah harus membayar bunga. Kalau, toh, akhirnya hari panen itu tiba, bukan kegembiraan yang dipetik, melainkan tagihan yang tak jarang berujung utang lagi.

 

”Karena hasil jual padinya sudah habis untuk menutupi utang,” kata I Ketut Wentra, adik ibuku. Ia seorang petani tulen walau belakangan mengaku kapok bertani karena sama dengan menggali utang. Selain menjerat petani dengan piutang, para tengkulak juga suka mempermainkan harga.

 

Harga patokan pemerintah tak pernah benar-benar menjadi pedoman penentuan harga. Mereka, kata Wentra, biasanya menekan petani dengan mengatakan padinya kurang bagus, kadar airnya tinggi, atau cara-cara lain untuk menekan harga.

 

Angka statistik boleh menunjukkan bahwa jumlah petani di Indonesia hanya tersisa 34 juta orang dari sekitar 271 juta penduduk. Tetapi, jangan lupa bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di desa dan sepenuhnya menggantungkan hidup dari hasil pertanian, terutama persawahan. Artinya, jika pemerintah tak mampu menjaga stabilitas perniagaan beras, yang jadi makanan pokok rakyat, bukan tidak mungkin negara menuju ke arah instabilitas.

 

Simak saja kemelut soal impor beras belakangan ini. Silang pendapat di antara para pembantu presiden seolah tak menemukan titik akhir sebelum Presiden Joko Widodo turun tangan. Jokowi menegaskan Indonesia tidak akan mengimpor beras sampai Juni 2021.

 

”Saya pastikan bahwa sampai bulan Juni 2021 tidak ada beras impor yang masuk ke negara kita, Indonesia. Kita tahu sudah hampir 3 tahun ini tidak mengimpor beras,” kata Jokowi kepada pers secara daring, Jumat (26/3/2021).

 

Presiden juga menegaskan, memang ada kesepakatan dengan Thailand dan Vietnam soal impor beras, tetapi hal itu sepenuhnya untuk berjaga-jaga pada masa pandemi.

 

”Saya tegaskan sekali lagi, berasnya belum masuk,” kata Presiden.

 

Pernyataan ini boleh jadi meredam polemik di antara para pejabat negara yang berselisih paham tentang perlu atau tidaknya impor beras. Direktur Utama Bulog Budi Waseso sudah pula menegaskan bahwa berdasarkan data dari Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret-April 2021 saat panen raya akan terjadi surplus beras.

 

Produksi sepanjang Januari-April 2021 akan mencapai 14,54 juta ton, naik 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2020, yang sebesar 11,46 juta ton.

 

BPS memperkirakan, sampai Mei 2021, produksi beras 17,5 juta ton ditambah stok akhir Desember 2020 7,3 juta ton. Sementara perkiraan kebutuhan beras 12,3 juta ton.

 

Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Momon Rusmono menyebutkan, surplus produksi sepanjang Januari- April 2021 diproyeksikan mencapai 6 juta ton setara beras. ”Peningkatan penyerapan dalam negeri dibutuhkan agar harga gabah di tingkat petani tidak anjlok,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

 

Rupanya selama ini data tak cukup berbicara. Petani boleh menjerit karena harga gabah mereka hancur lebur pada suatu masa misalnya, tetapi para spekulan terus bermain untuk mengeduk keuntungan pribadi.

 

Sesungguhnya padi tidak hanya soal pemenuhan kebutuhan hidup dengan pengaturan perniagaan yang baik dan bersih, tetapi juga soal kultural. Sering kali industrialisasi hanya bertumpu menggenjot produksi untuk pemenuhan kebutuhan, tetapi mengingkari adat-istiadat, kebiasaan, tradisi, dan kebudayaan lokal tentang padi yang sudah jauh berakar.

 

Para petani di Desa Jatiluwih, Tabanan, misalnya, lebih memilih menanam padi jenis lokal yang populer disebut padi beras merah. Para petani kawasan persawahan dengan sistem subak yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO tahun 2012 itu merasa lebih untung kalau menanam beras lokal dengan sistem penanam yang telah mereka warisi berabad-abad.

 

Seorang petani bercerita, dengan menanam beras lokal, ia terbebas dari ”jeratan” pengijon yang berkeliaran sepanjang musim untuk mencari keuntungan sendiri. Industri pertanian yang dibangun sejak masa penerapan revolusi hijau pada masa Orde Baru telah membawa petani ke dalam lingkaran kemiskinan.

 

Pembenihan, penanaman, perawatan, panen, dan pascapanen sepenuhnya membutuhkan ”investasi” modal, sebagaimana dalam dunia industri. Lagi-lagi soal modal itu bukan berpihak kepada petani.

 

Ketimbang meminjam kepada lembaga keuangan resmi, seperti LPD (Lembaga Perkreditan Desa) kalau di Bali, atau unit simpan pinjam koperasi, yang jumlahnya kecil dan berbelit, petani memilih berutang kepada para tengkulak. Tengkulak selalu ”ramah”, jemput bola, dan uang cair seketika.

 

Dalam waktu kurang dari sejam, seorang petani sudah bisa mendapatkan modal. Petani seperti Made Darma di Subak Kedua, Jembrana, misalnya, mengeluh setiap panen bukannya hidup tenang yang dia dapatkan, melainkan memikirkan membayar utang.

 

”Kalau panen saya bulan April ini anjlok karena masih hujan, pasti saya menyisakan utang,” kata Darma akhir pekan. Kebetulan Darma adalah petani penggarap, bukan pemilik lahan. Oleh sebab itu, ia harus berbagi tiga dengan pemilik lahan. ”Cara bikul mati di gelebeg,” kata Darma.

 

Maksudnya, seperti tikus mati di lumbung padi. Bahwa padi-padi berlimpah dan tumbuh di tanah subur, itu seperti halu. Kerumitan dalam sistem industri pertanian telah membuat petani selalu berhalusinasi.

 

”Oh, kita ini negeri subur dan kaya, tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” kata penyair Warih Wisatsana mengutip sepenggal lirik lagu Kolam Susu dari Koes Plus. Itulah satire paling menyakitkan, apalagi diucapkan oleh seorang penyair. Bahwa tanah boleh subur sehingga kayu dan batu pun bisa bertumbuh. ”Tetapi, apakah itu milik kita?” tanya Warih retoris.

 

Bahkan, puisi penyair Isma Sawitri tentang ”Ubud” (1962) telah menempatkan padi dalam wilayah kultural yang ”mengimani” sebagian besar kehidupan rakyat.

 

//Yang emas adalah padi/yang hijau adalah padi/yang bernas sesungguhnya padi/yang bergurai kiranya padi/inilah kebenaran pertama sebelum yang lain-lain/karena laparlah yang pertama sebelum yang lain-lain/sebelum bertegak pura/sebelum tersusun doa/sebelum raja-raja bertakhta//.

 

Padi memang bukan tumbuhan asli Nusantara. Ia bergerak seiring migrasi manusia dari daratan China menuju Indochina dan Thailand. Di daerah seperti Zheijiang (China) padi sudah mulai ditanam pada tahun 3000 SM. Fosil padi juga ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh, India, sekitar 100-800 SM. Dari China dan India padi menyebar ke Jepang, Filipina, dan kepuluan di laut Pasifik.

 

Di Nusantara, bukti-bukti arkeologis, seperti relief Karmawibangga di Candi Borobudur, sekitar abad ke-9 menggambarkan sawah, padi, tikus, serta dua petani duduk di lumbung padi. Relief itu kemudian dilengkapi oleh penemuan fosil-fosil sekam padi di situs perapian Goa Maros, Sulawesi Selatan, bertanggal 500 M.

 

Di situs itu juga ditemukan jejak padi berumur 2000 SM sebagaimana ditulis Ahmad Arif di Kompas.id, 28 Mei 2020. Sekam bahkan juga ditemukan di situs bata Candi Batujaya, Karawang, yang diperkirakan berasal dari abad ke-7 hingga ke-13 Masehi. Lalu di Bali utara ditemukan sekam padi berusia 800 SM.

 

Meski begitu, jejak padi di Nusantara diperkirakan jauh lebih tua dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan arkeologis yang berhasil ditemukan. Lantaran itulah, Isma Sawitri menulis, padi sebagai kebenaran pertama-tama sebelum yang lain-lain. Jauh sebelum pura-pura didirikan, jauh sebelum raja-raja bertakhta karena pada awalnya adalah ”kelaparan” sebelum yang lain-lain.

 

Realitas hidup dan bukti-bukti arkeologis itu seharusnya membuat kita menyadari bahwa padi dan beras bukan sekadar pengaturan sistem manajemen pertanian dan perniagaan, tetapi telah merasuk dalam ”keimanan”.

 

Padi adalah sumber berkembangnya kultur agraris yang membentuk dan mengendalikan semua tatanan kehidupan manusia selama beraba-abad. Dia tidak bisa disederhanakan menjadi sekadar produksi, kebutuhan, dan kebercukupan stok, sebagaimana sekarang ”seolah” menjadi tugas utama Kementerian Pertanian dan Bulog.

 

Padi adalah representasi dari Dewi Sri, seperti kata Iswa Sawitri://…Setiap musim berganti, setiap masa beralih/Dewi Sri tetaplah pelindung pengasih/bagi yang tabah dan tahu berterimakasih…//

 

Zaman boleh berganti dari peradaban agraris menuju gemuruh mesin-mesin industri, tetapi padi dan Dewi Sri adalah keniscayaan. Ia tetap menjadi roh hidup separuh manusia di muka Bumi.

 

Jika merujuk pada relief Kharmawibangga di Borobudur, kau pasti mengerti bahwa hama tikus sudah menggejala seturut domistifikasi tanaman padi. Di mana ada padi, di situlah tikus-tikus beranak-pinak dan menumpang hidup.

 

Celakanya, tikus-tikus boleh merasa kaya karena hidup di lumbung, tetapi jangan lupa padi-padi itu bukan miliknya lagi. Ia tidak menyejahterakan, tetapi justru menimbun kesengsaraan bertubi-tubi.

 

Jadi siapa tikus yang sesungguhnya? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar