Data
Pribadi, ”Uranium”, dan RUU Perlindungan Data Pribadi Antony Lee ; Wartawan
Kompas |
KOMPAS,
14 April
2021
Pengistilahan data sebagai ”minyak baru” di
ekonomi digital semakin banyak muncul di ruang publik, termasuk di Indonesia.
Istilah itu mengisyaratkan adanya peluang ekonomi. Belakangan muncul pula
perspektif bernuansa lebih mawas, bahwa alih-alih ”minyak”, data dianggap lebih dekat dengan
”uranium” yang sulit disimpan dan punya konsekuensi berbahaya jika tak
terkelola baik. Di Indonesia, pengaturan pengelolaan data
pribadi dengan menempatkan individu sebagai subyek yang berkuasa atas datanya
masih digodok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Rancangan
Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). RUU ini tentu belum
sempurna, tetapi secara prinsip telah menempatkan pemilik data sebagai subyek
yang harus dimintai persetujuannya, misalnya setiap akan ada pemindahan data,
oleh pengelola data; baik pemerintah maupun pihak swasta. Selain itu, ada pengaturan kewajiban bagi
pengelola data untuk benar-benar memastikan data pribadi tidak
disalahgunakan. Sanksi terhadap pelanggarnya juga diatur di RUU ini. Hanya
saja, setelah melewati tiga masa sidang, RUU ini belum juga tuntas dibahas.
Ada sejumlah isu yang belum disepakati pemerintah dan DPR. Salah satunya soal
apakah lembaga yang berwenang mengawasi implementasi regulasi itu dibawah
kendali lembaga negara yang sudah eksis atau dipegang oleh badan independen
baru. Perdebatan yang berujung pada belum
rampungnya RUU PDP ini membuat Indonesia tertinggal dari cukup banyak negara
yang lebih dahulu menetapkan regulasi perlindungan data pribadi. Setidaknya 128 dari 194 negara di dunia
yang memiliki legislasi perlindungan data pribadi. Hal ini berpotensi
menimbulkan kendala bisnis dan kerja sama yang melibatkan data pribadi warga
negara Indonesia di tingkat regional ataupun internasional (Kompas,
23/3/2021). Lebih dari itu, hal ini juga membuat data
pribadi lebih dari 200 juta penduduk Indonesia tidak terlindungi dengan
maksimal. Kebocoran data, pencurian data, dan pemanfaatan data pribadi tanpa
persetujuan pemilik data demi kepentingan monetasi oleh pengelola data rentan
terjadi karena tak ada mekanisme pencegahan, mitigasi risiko, serta
pengawasan dan sanksi yang tegas. Sadar ataupun tidak, kita terus-menerus
menghasilkan data, terutama di era di mana manusia semakin terhubung dengan
perangkat teknologi informasi. Data pribadi tidak lagi sebatas informasi
”konvensional” seperti nama, alamat rumah, tempat tanggal lahir, dan nomor
induk kependudukan. Telepon genggam pintar atau jam tangan pintar yang bisa
mengukur detak jantung, aktivitas olahraga, kualitas dan waktu tidur,
pencarian di laman daring, media sosial, perjalanan, dan lokasi, semua
mengalirkan data pribadi kita secara terus-menerus ke berbagai penyedia
platform. Ilustrasi
data lokasi Data pribadi terkesan teknis dan berada di
awang-awang sehingga terkadang tak dianggap benar-benar penting oleh
masyarakat. RUU Perlindungan Data Pribadi, misalnya, mendefinisikan data
pribadi sebagai ”setiap data tentang seseorang baik yang teridentifikasi atau
dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasikan dengan informasi
lain baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik
dan/atau nonelektronik”. Untuk mengilustrasikan data pribadi yang
dikumpulkan penyedia platform dalam bentuk yang lebih mudah dipahami, saya
mencoba menggunakan salah satu bagian kecil dari data pribadi saya yang
dikumpulkan Google, yakni lokasi. Data tersebut saya ambil dari Google
Takeout. Melalui layanan ini, pengguna bisa mengakses data pribadinya yang
dikumpulkan Google. Ada banyak data yang bisa dipilih, seperti
lokasi, peta, foto, dan lain-lain. Dari Google Takeout, saya mengambil file
riwayat poin data lokasi (location history) yang dikumpulkan Google dari
perangkat elektronik saya dari tahun 2014 sampai awal April 2021. Sebagai
catatan, General Data Protection Regulation Uni Eropa (GDPR) menyebut data
lokasi sebagai data pribadi. Data berformat JSON (JavaScript Object
Notation) itu mencapai 608 megabit (MB). Data kemudian diolah dan
divisualisasikan menggunakan pemrograman R melalui RStudio. Ada sejumlah
paket R yang digunakan, antara lain, jsonlite, tidyverse, ggmap, dan ggplot2.
Sebagian kode untuk analisis Google Location History direplikasi dari kode
yang dibuat Martijn van Vreeden (2020). Namun, dengan sejumlah modifikasi. Setelah data dalam format JSON itu diimpor
dalam format yang bisa dibaca pemrograman R, ukuran file data menjadi 2,6
gigabit (GB). Data file merekam poin lokasi saya dari 8 Februari 2014 sampai
3 April 2021. Data mencakup, antara lain, waktu, tanggal, ketinggian, posisi
garis lintang (latitude), garis bujur (longitude), kecepatan, serta aktivitas
dan akurasi prakiraannya. Aktivitas yang ditandai, antara lain, berjalan
kaki, diam, naik sepeda, atau sedang di kendaraan. Hasil olah data menunjukkan, dalam kurun
waktu sekitar delapan tahun, Google mengumpulkan 1,65 juta titik poin lokasi
saya. Jumlah titik poin yang dikumpulkan jumlahnya tidak sama setiap hari.
Namun, apabila diambil rata-rata, ada 764 poin data yang dikumpulkan tiap
hari. Hal itu berarti ada satu titik data yang direkam Google setiap dua
menit. Ada empat hari di mana Google mengumpulkan titik data lebih dari 4.000
dalam sehari, yakni tiga hari di tahun 2019 dan satu hari di tahun 2020. Selain itu, apabila data dikelompokkan per
pekan, antara tahun 2019 dan 2021, terlihat ada penurunan drastis poin data
yang dikumpulkan di pekan ke-13 di tahun 2020, dibandingkan pekan-pekan
sebelumnya. Setelah itu, jumlah poin data tersebut cenderung rendah hingga
tahun 2021. Pekan ke-13 di tahun 2020, ada di akhir
Maret. Sebagai catatan, di awal Maret pemerintah mengumumkan temuan kasus
Covid-19 di Indonesia, sedangkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB)
pertama di Jakarta berlangsung awal April. Namun, harian Kompas sudah
menerapkan kerja dari rumah sebelum PSBB berlangsung, pada pertengahan atau
akhir Maret. Penurunan data poin ini
memberi sinyal perjalanan saya berkurang drastis setelah pandemi
Covid-19. Selain itu, data poin lokasi tersebut
apabila disandingkan dengan peta, bisa menunjukkan kecenderungan di lokasi
mana saja pemilik data berada. Saya memvisualisasikan hal ini menggunakan
data tahun 2014, saat saya tinggal di Lund, kota kecil di bagian selatan
Swedia untuk studi. Alasan pemilihan tahun dan lokasi itu sederhana saja,
karena saya sudah tak lagi berada di sana. Dari peta visualisasi data dengan skala
kota, terlihat titik merah yang merepresentasikan poin lokasi, banyak berada
di pusat kota, di sekitar area Kampus Lund University. Selain itu, poin
lokasi cukup banyak di sisi utara karena pada pertengahan tahun 2014 saya
mulai pindah tempat tinggal dari akomodasi kampus di pusat kota ke apartemen
di sisi utara kota. Saat peta tersebut dipersempit di pusat
kota, terlihat titik merah banyak terkumpul pada dua sumbu lokasi yakni di
Universitetsbiblioteket atau perpustakaan universitas serta di Lunds
stadsbibliotek, yakni perpustakaan yang dikelola Pemerintah Kota Lund. Kedua area tersebut memang menjadi lokasi
favorit saya membaca dan mengerjakan tugas kuliah. Dua lokasi itu juga
relatif berdekatan. Keduanya juga mengapit gedung-gedung yang menjadi lokasi
perkuliahan. Data poin lokasi tersebut dalam skala tertentu bisa menunjukkan
”kebiasaan” dan pola perilaku. Selain itu, dengan data yang sama, juga
bisa terlihat rute perjalanan. Sebagai contoh, saya menyaring data poin
lokasi hanya di satu hari saja, yakni pada 10 September 2014. Di satu hari
itu, ada 754 poin lokasi yang dikumpulkan Google. Setelah dipadukan dengan peta, kemudian
poin-poin lokasi dihubungkan berdasar alur perjalanan, terlihat rute
perjalanan yang saya lalui di satu hari itu. Ada dua titik utama yang
terhubung, yakni di pusat kota, di area Kampus Lund University, serta di area
Norra Faladen, di bagian utara kota, tempat saya tinggal. Rute perjalanan dari apartemen ke kampus,
kemudian dari kampus ke apartemen juga bisa terlihat dari data tersebut.
Jalan mana yang dilewati terlihat. Tidak hanya itu, peta perjalanan saya
menuju Willys, supermarket yang berada tak jauh dari apartemen juga tergambar
dari untaian poin-poin data lokasi tersebut. Kebiasaan lain yang bisa terlihat dari data
Google Location History ialah jenis aktivitas yang dilakukan penggunanya pada
saat titik data lokasi itu dikumpulkan. Memang prakiraan ini tidak 100 persen
akurat, karena Google juga memberikan beberapa probabilitas aktivitas untuk
tiap poin data lokasi. Namun, data ini setidaknya dalam skala
tertentu juga bisa memberikan prakiraan ”profil” seseorang. Selain itu, juga
ada data kecepatan dan jarak yang ditempuh yang juga bisa dikalkulasi dari
data tersebut. Data
sebagai ”uranium”? Data Google Location History bagian kecil
saja dari data individual yang dikumpulkan oleh penyedia platform digital.
Google juga sudah memiliki regulasi terkait privasi penggunanya. Hal ini,
misalnya, tergambar dari dokumen Google Privacy Policy setebal 28 halaman
yang diperbarui pada 4 Februari 2021. Kebijakan privasi itu merupakan
pengembangan secara bertahap dari kebijakan-kebijakan sebelumnya. Kebijakan
pertama yang disebut di laman terkait kebijakan privasi Google ialah 9 Juni
1999. Kendati perusahaan digital raksasa itu
sudah lama memiliki kebijakan privasi, di sejumlah negara beberapa tahun
terakhir muncul tuntutan terkait cara Google mengumpulkan data. Beberapa
negara memiliki lembaga yang benar-benar mengawasi perlindungan data warga
negaranya. Beberapa contoh disebut Katharine Kemp,
pengajar senior di Fakultas Hukum the University of New South Wales, Sydney,
Australia, dalam tulisannya The ACCC is Suing Google Over Tracking Users.
Here’s Why It Matters (theconversation.com, 29/10/2019). Pada 2019, The Australian Competition and
Consumer Commission (ACCC) menuntut Google karena dinilai memberi pengertian
yang salah pada penggunanya soal kebijakan pengumpulan dan penggunaan data
pribadi pada tahun 2017-2018. Pangkal persoalannya, Google dianggap tidak
secara patut mengungkapkan bahwa ada dua pengaturan berbeda yang harus
dimatikan apabila penggunanya tidak ingin Google menyimpan dan menggunakan
data lokasi mereka. Selain itu, juga karena tidak mengungkapkan bahwa data
lokasi personal itu bisa digunakan untuk sejumlah tujuan yang tidak terkait
dengan layanan Google yang digunakan penggunanya. Juru bicara Google menolak
tuduhan itu. Data pribadi menjadi penting bagi penyedia
platform karena diperlukan untuk menghasilkan profil personal yang detail.
”Profil itu kemudian digunakan untuk menjual pelayanan periklanan,” ungkap
Katharine dalam tulisannya. Bentuk data pribadi tidak hanya kebiasaan.
Namun, pemikiran yang diutarakan di media sosial dan kecenderungan
mengomentari atau menyukai sesuatu, juga bisa disimpan dan diolah untuk
membentuk profil seseorang. Beberapa tahun lalu, dunia digegerkan oleh
kasus Cambridge Analytica, yakni penggunaan data pribadi jutaan pengguna
Facebook yang digunakan untuk memprofil dan menargetkan mereka dengan pesan
politik maupun misinformasi tanpa persetujuan pemilik data (theguardian.com,
17/3/2019). Data memang komoditas baru yang bisa
menggerakkan ekonomi digital. Ungkapan bahwa data menjadi ”minyak baru” atau
”emas baru” cukup sering muncul dari para elite pemerintahan maupun sektor
swasta. Istilah itu mengungkapkan adanya kesempatan besar yang bisa muncul
dari pengumpulan dan pengolahan data individual. Misalnya untuk kepentingan
iklan online yang sudah disesuaikan dengan profil detail target market
pengiklan. Peter Lewis dalam What If Our Personal Data
is Less the ”New Oil”, and More Like Uranium? di theguardian.com (20/11/2019)
mengungkapkan, hasil survei di Australia menunjukkan bahwa alternatif analogi
energi dengan pengumpulan data pribadi lebih mirip dengan uranium ketimbang
minyak. Data pribadi disebut Peter sulit disimpan,
berbahaya saat digunakan, dan hampir mustahil untuk dihilangkan dengan aman.
Pengumpulan data pribadi juga berdampak pada individu pemilik data maupun
kepada masyarakat yang harus hidup dengan konsekuensi ”radioaktif”-nya. Kesadaran warga yang tinggi atas isu
perlindungan data pribadi yang diikuti adanya regulasi yang kuat serta
pengawasan dan penegakan hukum yang tegas di sejumlah negara patut jadi
refleksi pembuat undang-undang di Indonesia. Sudah saatnya DPR dan pemerintah
mengakselerasi pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi. Sebab, semakin lama Indonesia tak memiliki
UU Perlindungan Data Pribadi yang komprehensif dan jelas, berikut lembaga
pengawas yang berperan mengeksekusi UU itu, makin besar potensi data pribadi
warga negara Indonesia disalahgunakan. Pada saat membahas isu-isu yang berpotensi
menyebabkan kebuntuan, DPR dan pemerintah perlu kembali mempertimbangkan
tujuan utama penyusunan RUU Perlindungan Data Pribadi. Selain itu, menjadi
penting bahwa mereka bertanya; pengaturan mana yang paling baik untuk
kepentingan masyarakat? Pengaturan mana yang lebih mampu melindungi data
pribadi masyarakat dari penyalahgunaan? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar