Reforma
Agraria Kembali Melambat, Perlu Pembenahan Mesin Administrasi Iwan Nurdin ; Deputi
Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria |
KOMPAS,
14 April
2021
Kesimpulan singkat enam tahun pelaksanaan
reforma agraria adalah berjalan pelan di jalur lambat. Meski sejak awal berpredikat sebagai
Program Strategis Nasional, dan secara politis adalah presidential flagship
programme, cukup mengherankan jika reforma agraria tetap setia berada di
jalur lambat sehingga capaiannya jauh dari memuaskan. Menampik hal itu, Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan menjelaskan bahwa hasil kerja reforma agraria tidak sesuram
yang dituduhkan masyarakat sipil. Kedua lembaga ini melaporkan capaian
reforma agraria pada bidang sertifikasi tanah dan perhutanan sosial telah
berjalan baik dan cepat. Dua hal yang sesungguhnya bukan, dan bahkan bisa
merupakan pembelokan dari reforma agraria itu sendiri. Sebenarnya, pekerjaan utama dari reforma
agraria yang realisasinya sangat ditunggu-tunggu masyarakat ada tiga hal,
yakni penyelesaian konflik agraria struktural, redistribusi tanah kepada yang
berhak, dan pembangunan/pemberdayaan di wilayah pelaksanaan. Ketiganya masih alpa dilakukan. Hasilnya,
klaim pelaksanaan reforma agraria yang dilaporkan selain bukan yang
ditunggu-tunggu, tentu saja tidak berkorelasi dengan upaya perbaikan
ketimpangan struktur agraria yang ada dan pencapaian kesejahteraan
masyarakat. Hingga akhir 2019, Kementerian ATR/BPN
melaporkan realisasi redistribusi tanah mencapai 444.000 ha. Sementara,
redistribusi tanah yang bersumber dari pelepasan kawasan hutan untuk
kepentingan reforma agraria hanya mencapai 0,1 persen atau seluas 5.400 ha
dari target 4,1 juta ha sebagaimana diperintahkan. Presiden Jokowi bukan tidak mengetahui
masalah ini sehingga mengundang wakil masyarakat sipil, seperti Konsorsium
Pembaruan Agraria, Serikat Petani Indonesia, dan Aliansi Petani Indonesia,
dalam pertemuan maraton November dan Desember 2020. Hasil pertemuan ini dituangkan dalam
komitmen untuk menyelesaikan masalah kebijakan dan implementasi selama tiga
bulan untuk menuntaskan tiga tugas pokok reforma agraria. Namun kemudian,
situasi yang menunjukkan tanda-tanda melambat kembali terjadi. Administrasi Mengapa hal itu berulang? Jika kita
menjadikan peta persoalannya sedikit lebih teknis, tanpa bermaksud
menghilangkan debat substansi reforma agraria yang telah diputuskan
pemerintah, penyebab leletnya implementasi agenda ini karena ketiadaan sistem
yang padu atau mesin administrasi yang menjalankan reforma agraria. Sesuatu yang seharusnya telah didesain oleh
Tim Reforma Agraria Nasional (TRAN) ataupun Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA)
berdasarkan Peraturan Presiden No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Pertama, tata cara bekerja dari GTRA dalam
membahas lokasi-lokasi potensi obyek reforma agraria berangkat dari kasus per
kasus. Kedua, tidak adanya mekanisme waktu kerja
yang pasti sebuah lokasi diselesaikan telah memberi peluang berbagai dinamika
lapangan baru yang berpotensi memetamorfosis konflik struktural jadi masalah
horizontal, khususnya pada tahap praredistribusi dan redistribusi tanah. Ketiga, pola kerja semacam ini telah
menyebabkan wilayah redistribusi tanah kehilangan peluang untuk
diintegrasikan ke program ekonomi prioritas pemerintah lainnya, seperti
infrastruktur, pembiayaan, dan akses kepada pasar. Untuk keluar dari masalah ini dan
mengarahkan agenda ini masuk ke jalur cepat, urgensi membangun mesin
administrasi reforma agraria itu tidak dapat ditunda lagi. Sistem administrasi tersebut harus bekerja
dengan skema yang utuh sejak dari tahap pendaftaran, verifikasi lapangan,
resolusi konflik, sengketa dan aneka persoalan di tingkat tapak, redistribusi
tanah kepada yang berhak, hingga pembangunan wilayah pascaredistribusi tanah. Pada tahap pendaftaran, masyarakat di
sebuah wilayah yang mengalami konflik agraria dan situasi ketimpangan lain
dapat secara aktif mendaftarkan area mereka sebagai lokasi pelaksanaan
program reforma agraria. Setelah registrasi, sebagai bagian dari
sistem pelayanan pemenuhan hak, alat kelengkapan GTRA menjalankan tahapan
proses verifikasi lapangan terhadap obyek dan subyek yang didaftarkan tersebut.
Jangka waktu dari proses ini harus ditetapkan secara jelas. Setelah proses verifikasi dan validasi di
tingkat tapak, skema resolusi konflik, model redistribusi, dan pemberdayaan
sudah dapat dikenalkan untuk mendapatkan respons dari masyarakat. Selanjutnya
GTRA di tingkat kabupaten dapat segera mengirimkan surat permohonan penetapan
tanah obyek reforma agraria (TORA) atau menjalankan sidang pertimbangan land
reform. Perlindungan
hukum Dalam masa tunggu ini, wilayah dan subyek
penerima haruslah mendapat perlindungan hukum, misalnya surat keterangan
lokasi dan kartu peserta reforma agraria. Tujuannya, agar tidak terjadi
kerancuan karena banyak wilayah yang semula direncanakan sebelumnya sebagai
lokasi reforma agraria justru menjadi lokasi kriminalisasi terhadap petani
dengan dalih penegakan hukum sehingga memaksa petani masuk ke perangkap
kekerasan atau menerima rencana model nonreforma agraria. Berkaca di masa lalu, kartu semacam ini
disebut surat izin menggarap yang menjadi dasar bagi perlindungan hukum
menggarap dan dasar penerima sertifikasi tanah. Pada masa sekarang, hal itu
tidak cukup. Surat atau kartu izin menggarap ini haruslah menjadi dasar
perlindungan sekaligus kewajiban bagi pembangunan koperasi produksi petani,
insentif produksi, jaminan pasar, dan jaminan sosial lain. Akhirnya, kita mesti berbenah dari sekarang
sehingga urusan ini bisa dipermudah, cepat, dan tepat sasaran. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar