Rabu, 14 April 2021

 

Reforma Agraria Kembali Melambat, Perlu Pembenahan Mesin Administrasi

Iwan Nurdin ; Deputi Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria

                                                         KOMPAS, 14 April 2021

 

 

                                                           

Kesimpulan singkat enam tahun pelaksanaan reforma agraria adalah berjalan pelan di jalur lambat.

 

Meski sejak awal berpredikat sebagai Program Strategis Nasional, dan secara politis adalah presidential flagship programme, cukup mengherankan jika reforma agraria tetap setia berada di jalur lambat sehingga capaiannya jauh dari memuaskan.

 

Menampik hal itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan bahwa hasil kerja reforma agraria tidak sesuram yang dituduhkan masyarakat sipil.

 

Kedua lembaga ini melaporkan capaian reforma agraria pada bidang sertifikasi tanah dan perhutanan sosial telah berjalan baik dan cepat. Dua hal yang sesungguhnya bukan, dan bahkan bisa merupakan pembelokan dari reforma agraria itu sendiri.

 

Sebenarnya, pekerjaan utama dari reforma agraria yang realisasinya sangat ditunggu-tunggu masyarakat ada tiga hal, yakni penyelesaian konflik agraria struktural, redistribusi tanah kepada yang berhak, dan pembangunan/pemberdayaan di wilayah pelaksanaan.

 

Ketiganya masih alpa dilakukan. Hasilnya, klaim pelaksanaan reforma agraria yang dilaporkan selain bukan yang ditunggu-tunggu, tentu saja tidak berkorelasi dengan upaya perbaikan ketimpangan struktur agraria yang ada dan pencapaian kesejahteraan masyarakat.

 

Hingga akhir 2019, Kementerian ATR/BPN melaporkan realisasi redistribusi tanah mencapai 444.000 ha. Sementara, redistribusi tanah yang bersumber dari pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan reforma agraria hanya mencapai 0,1 persen atau seluas 5.400 ha dari target 4,1 juta ha sebagaimana diperintahkan.

 

Presiden Jokowi bukan tidak mengetahui masalah ini sehingga mengundang wakil masyarakat sipil, seperti Konsorsium Pembaruan Agraria, Serikat Petani Indonesia, dan Aliansi Petani Indonesia, dalam pertemuan maraton November dan Desember 2020.

 

Hasil pertemuan ini dituangkan dalam komitmen untuk menyelesaikan masalah kebijakan dan implementasi selama tiga bulan untuk menuntaskan tiga tugas pokok reforma agraria. Namun kemudian, situasi yang menunjukkan tanda-tanda melambat kembali terjadi.

 

Administrasi

 

Mengapa hal itu berulang? Jika kita menjadikan peta persoalannya sedikit lebih teknis, tanpa bermaksud menghilangkan debat substansi reforma agraria yang telah diputuskan pemerintah, penyebab leletnya implementasi agenda ini karena ketiadaan sistem yang padu atau mesin administrasi yang menjalankan reforma agraria.

 

Sesuatu yang seharusnya telah didesain oleh Tim Reforma Agraria Nasional (TRAN) ataupun Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) berdasarkan Peraturan Presiden No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

 

Pertama, tata cara bekerja dari GTRA dalam membahas lokasi-lokasi potensi obyek reforma agraria berangkat dari kasus per kasus.

 

Kedua, tidak adanya mekanisme waktu kerja yang pasti sebuah lokasi diselesaikan telah memberi peluang berbagai dinamika lapangan baru yang berpotensi memetamorfosis konflik struktural jadi masalah horizontal, khususnya pada tahap praredistribusi dan redistribusi tanah.

 

Ketiga, pola kerja semacam ini telah menyebabkan wilayah redistribusi tanah kehilangan peluang untuk diintegrasikan ke program ekonomi prioritas pemerintah lainnya, seperti infrastruktur, pembiayaan, dan akses kepada pasar.

 

Untuk keluar dari masalah ini dan mengarahkan agenda ini masuk ke jalur cepat, urgensi membangun mesin administrasi reforma agraria itu tidak dapat ditunda lagi.

 

Sistem administrasi tersebut harus bekerja dengan skema yang utuh sejak dari tahap pendaftaran, verifikasi lapangan, resolusi konflik, sengketa dan aneka persoalan di tingkat tapak, redistribusi tanah kepada yang berhak, hingga pembangunan wilayah pascaredistribusi tanah.

 

Pada tahap pendaftaran, masyarakat di sebuah wilayah yang mengalami konflik agraria dan situasi ketimpangan lain dapat secara aktif mendaftarkan area mereka sebagai lokasi pelaksanaan program reforma agraria.

 

Setelah registrasi, sebagai bagian dari sistem pelayanan pemenuhan hak, alat kelengkapan GTRA menjalankan tahapan proses verifikasi lapangan terhadap obyek dan subyek yang didaftarkan tersebut. Jangka waktu dari proses ini harus ditetapkan secara jelas.

 

Setelah proses verifikasi dan validasi di tingkat tapak, skema resolusi konflik, model redistribusi, dan pemberdayaan sudah dapat dikenalkan untuk mendapatkan respons dari masyarakat. Selanjutnya GTRA di tingkat kabupaten dapat segera mengirimkan surat permohonan penetapan tanah obyek reforma agraria (TORA) atau menjalankan sidang pertimbangan land reform.

 

Perlindungan hukum

 

Dalam masa tunggu ini, wilayah dan subyek penerima haruslah mendapat perlindungan hukum, misalnya surat keterangan lokasi dan kartu peserta reforma agraria. Tujuannya, agar tidak terjadi kerancuan karena banyak wilayah yang semula direncanakan sebelumnya sebagai lokasi reforma agraria justru menjadi lokasi kriminalisasi terhadap petani dengan dalih penegakan hukum sehingga memaksa petani masuk ke perangkap kekerasan atau menerima rencana model nonreforma agraria.

 

Berkaca di masa lalu, kartu semacam ini disebut surat izin menggarap yang menjadi dasar bagi perlindungan hukum menggarap dan dasar penerima sertifikasi tanah. Pada masa sekarang, hal itu tidak cukup. Surat atau kartu izin menggarap ini haruslah menjadi dasar perlindungan sekaligus kewajiban bagi pembangunan koperasi produksi petani, insentif produksi, jaminan pasar, dan jaminan sosial lain.

 

Akhirnya, kita mesti berbenah dari sekarang sehingga urusan ini bisa dipermudah, cepat, dan tepat sasaran. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar