Selasa, 13 April 2021

 

Polisi dan Guru Mempercepat Kemajuan Peradaban

Windoro Adi ; Wartawan Kompas

                                                         KOMPAS, 13 April 2021

 

 

                                                           

Kemajuan peradaban suatu bangsa tergantung dari sejauh mana kualitas sumber daya manusia guru (termasuk dosen dan para guru besar), serta polisi saat melakukan berbagai langkah rekayasa sosial (social engineering). Tanpa ingin merendahkan profesi yang lain, guru dan polisi dalam masyarakat madani menjadi penentu percepatan peradaban suatu bangsa.

 

Kebudayaan, berbeda dengan peradaban. Kebudayaan adalah semua tentang masyarakat manusia yang mengacu pada pengetahuan dan ciri kelompok masyarakat tertentu yang tinggal di suatu wilayah. Sementara itu, peradaban adalah terobosan masyarakat meningkatkan, mengembangkan kebudayaan dan sistem sosial masyarakat.

 

Budaya, seperti ditulis dalam buku Polda Papua Barat. Menyulam NKRI, Merawat Rasa Aman karya Irjen Dr Tornagogo Sihombing, mengacu pada perwujudan cara berpikir, berperilaku, dan bertindak manusia. Sementara tahap peningkatan masyarakat di mana anggotanya memiliki cukup banyak organisasi dan pengembangan sosial, politik, disebut peradaban.

 

Dalam rekayasa sosial, guru berperan mengubah, memperkaya pola pikir, wawasan, perilaku, serta keterampilan anak didiknya mempercepat kemajuan proses peradaban suatu bangsa. Percepatan proses peradaban suatu bangsa tergantung dari seberapa besar kemampuan bangsa tersebut memahami, menerapkan, dan terampil menerapkan nilai nilai ilmu pengetahuan, kemanusiaan (hidup seimbang dalam spiritualitas rohani serta jasmani), kebinekaan dalam harmoni termasuk hubungan antarbangsa, etos kerja, serta hidup harmoni antara alam dan manusia.

 

Yang memprihatinkan, guru di Indonesia yang memiliki tanggung jawab besar ini perannya masih diabaikan, baik oleh masyarakat maupun negara. Kesejahteraannya pun masih jauh dari layak. Penghormatan pada jasa guru pun baru sebatas pada jargon, ”Pahlawan tanpa Tanda Jasa”, serta seremoni sesaat yang menyanjung guru. Hari-hari selanjutnya adalah keprihatinan panjang tentang keseharian hidup seorang guru yang diwarnai kemiskinan dan rendahnya penghormatan kepada mereka.

 

Kejahatan dan peradaban

 

Bagaimana dengan peran Polri terhadap kemajuan peradaban? Jawabannya, merawat rasa aman. Merawat rasa aman dimaknai dengan membebaskan masyarakat dari kejahatan, teror, dan ikut serta mengatasi bencana. Jika maknanya adalah hal tersebut, peran terbesar dan terdepan Polri seharusnya bertumpu pada kegiatan kepolisian masyarakat (polmas).

 

Kegiatan ini bukan hanya sebatas mencegah kejahatan, tetapi juga mengubah cara pandang kejahatan yang di sebagian suku di Indonesia, masih dianggap bagian dari tradisi, yang dibenarkan. Kejahatan dalam hukum positif pada kasus miras (minuman keras) dan perampokan, seperti disampaikan Doktor Josias Simon Runturambi, staf pengajar Departemen Kriminologi Fisip UI, misalnya. Menurut dia, struktur sosial masyarakat Indonesia di masa prakerajaan, masa kerajaan, sampai saat ini disusupi dan didominasi peran para jagoan,  bandit, kecu, begal, atau preman.

 

Mereka bisa berperan sebagai ”robin hood” atau sebaliknya, menjadi perantara, dan atau pelindung kekuasaan, bahkan menjadi cara mencapai kekuasaan puncak. Di tengah centang perentang nilai yang mendua (hukum positif dan adat, atau tradisi) inilah dituntut peran Polri membangun kepercayaan masyarakat pada hukum positif. Sementara di sisi lain, setahap demi setahap mengubah persepsi masyarakat mengenai hukum adat, agar bersesuaian, dan tunduk pada hukum positif.

 

Masalah di Papua Barat

 

Kasus miras dan inkonsistensi atau menduanya hukum positif dengan hukum adat, seperti diakui Tornagogo, masih mendominasi Papua Barat. Hasil diskusi dengan dia, dan jajarannya, perbincangan dengan beberapa pimpinan dewan adat, pemuka agama setempat, serta pengamatan penulis di lapangan, bersesuaian.

 

Salah satu contoh kasus adalah ketika sejumlah pengusaha asli Papua Barat berunjuk rasa di kantor gubernur, Rabu (26/9/2020). Mereka berunjuk rasa karena merasa tidak diakomodasi dalam sejumlah paket kegiatan.

 

Hal itu seharusnya tidak terjadi jika para pengunjuk rasa menghormati gubernur sebagai kepala suku besar Pegunungan Arfak yang memimpin suku-suku di bawah suku besar di Manokwari, Manokwari selatan, Pegunungan Arfak, sampai Tambrau. Saat ia pulang ke rumahnya, di pegunungan Arfak, rumahnya pun di demo. Persoalan seharusnya bisa selesai lewat dewan adat.

 

Praktik ”menjual” adat juga mempersulit tim gugus tugas Covid 19 dalam menangani pandemik Covid-19. Dalam salah satu kasus, keluarga terduga Covid-19 menuntut pemerintah dengan denda Rp 30 miliar, dan menuntut media massa dengan denda Rp 10 miliar karena menyatakan dan memberitakan bahwa warga asli Papua Barat mengidap Covid-19.

 

Jual beli adat juga berimbas pada kerusakan lingkungan di Raja Ampat, Kaimana, dan Teluk Doreri (Teluk Cendrawasih).  Di Pegunungan Arfak, misalnya, tanah ulayat disewakan kepada para penambang emas liar. Hal ini mempersulit Polri menindak para penambang emas liar.

 

Untuk mengatasi sejumlah kasus di Papua Barat, Polri membuat binmas noken dan bintara noken. Dengan demikian, pemahaman Polda Papua Barat terhadap budaya masyarakat Papua Barat untuk mempercepat kemajuan peradaban di Papua Barat lebih efektif.

 

Lewat Binmas noken, Polri berusaha melebur di tengah masyarakat dalam menjalankan tugas-tugas kepolmasan. Sementara bintara noken disiapkan dengan asumsi, yang paling mengerti tentang Papua Barat adalah putra-putri asli Papua Barat sendiri.

 

Bintara noken adalah proyek khusus pendidikan dan keterampilan para bintara yang anggotanya adalah warga asli Papua Barat. ”Kalau perlu kelak, rekrutmen bintara di Polda Papua Barat, 100 persen berasal dari putra-putri asli daerah Papua Barat, dengan kualitas SDM yang berkualitas,” kata Tornagogo, dalam perbincangan di rumahnya.

 

Lalu bagaimana tentang kondisi para guru di Papua Barat? Pengamatan penulis, jauh lebih memprihatinkan dibanding kondisi para guru di Pulau Jawa. Sebagian besar mereka yang mau mengajar di Papua Barat adalah  guru-guru ”yang tersisih” dalam persaingan dan ”terpaksa” menjadi guru di sana karena mendapat tunjangan khusus guru.

 

Keluhan mereka, lingkungan mereka masih diwarnai kejahatan yang dipicu Miras. Fasilitas sosial dan fasilitas umum di Papua Barat pun masih relatif minim. Kecemburuan kemajuan dan kesejahteraan antara penduduk asli dengan masyarakat pendatang sering mewarnai anak didik mereka.

 

Bersinergi

 

Melihat kondisi guru di sana, alangkah baiknya bila Polda Papua Barat membuat proyek, ”Sinergi Guru-Polri”. Program dalam proyek ini, antara lain, bisa berupa pendampingan keamanan kehidupan guru, menyinkronkan kegiatan bintara noken dan petugas Binmas Polri, dengan kebutuhan guru.

 

Bila keduanya bisa bersinergi, proses percepatan peradaban di bumi Papua Barat bisa lebih maksimal. Kalangan guru akan lebih bersemangat ”mencetak” generasi baru yang lebih berkualitas, lebih terampil, dan lebih berwawasan, sementara tugas-tugas Polri pun kian ringan dalam menyinkronkan hukum adat, dan hukum positif, serta sejumlah kasus menonjol di sana dengan bantuan guru di sekolah.

 

Masalah yang terjadi di Papua Barat dan sejumlah usaha yang sudah dilakukan Polda Papua Barat layak diapresisi.  Setiap seorang pemimpin Polri di wilayah mulai dari tingkat kapolsek hingga kapolda di mana pun sudah seharusnya dibekali kemampuan rekayasa sosial. Kemampuan ini akan meningkat jika mereka mampu bersinergi dengan lingkungan guru. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar