Melembagakan
Analisis Ekonomi Hukum J Soedradjad Djiwandono ; Guru Besar Ekonomi Emeritus FEB UI;
Visiting Professor of IPE, RSIS, Nanyang Technological University, Singapura |
KOMPAS,
10 April
2021
Tanggal 25 Maret 2021 saya menyampaikan
pandangan dalam suatu webinar Institusionalisasi Economic Analysis of Law
untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat dalam panel bersama dua ahli hukum,
yaitu Profesor Satya Arinanto (Staf Khusus Wapres RI dan dosen Fakultas Hukum
Universitas Indonesia) dan Profesor Indriyanto Seno Adji (dosen Program
Pascasarjana FH UI). Webinar diorganisasikan Pusat Kajian Kebijakan Ekonomi
dan Hukum Universitas Pelita Harapan. Saya memberi judul presentasi saya
”Institusionalisasi Analisa Ekonomi Hukum: Pendapat Seorang Ekonom Makro”.
Saya ingin menunjukkan benang merah kaitan aspek-aspek terkait dalam
perumusan dan implementasi kebijakan ekonomi-pembangunan nasional, terutama
yang menyangkut bidang perdagangan, keuangan-moneter. Analisis
ekonomi hukum Economic analysis of law (EAL) atau
analisis ekonomi hukum dapat digambarkan sebagai penerapan prinsip-prinsip
ekonomi sebagai pilihan yang rasional untuk menganalisis persoalan hukum. Ilmu ekonomi mengajarkan cara untuk
menentukan pilihan mana yang optimal dari berbagai alternatif, yaitu
berangkat dari mengetahui apa yang menjadi sasaran yang akan dicapai,
kemampuan dan batasan untuk mencapai sasaran, dari data dan informasi relevan
yang terkumpul, untuk menjatuhkan pilihannya. Cara di atas menurut analisis ekonomi akan
menghasilkan pilihan yang optimal. Cara penentuan pilihan demikian disebut
sebagai memaksimalkan hasil atau output dengan memperhatikan kendala yang
harus dipikul. Penerapannya menjadi memaksimalkan produk dengan biaya
tertentu atau meminimalkan biaya untuk mencapai produk tertentu. Sebagaimana diketahui, ekonomi dirumuskan
untuk diterapkan dalam kegiatan memproduksikan barang atau jasa, dan
mengonsumsi barang atau jasa, guna mencapai sasaran yang diinginkan. Sasaran
itu mengoptimalkan kegiatan produksi untuk keuntungan dan dalam konsumsi
untuk memuaskan selera konsumsi. Namun, akhirnya kegiatan ini dilaksanakan
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, selain penegakan keadilan. Ekonomi
juga menyangkut pemerataan untuk keadilan. Dalam pendekatan ekonomi, istilah lembaga
dan melembagakan bukan dalam arti atau tak hanya menyangkut arti fisiknya,
seperti organisasi A atau B. Pandangan ekonomi lebih tertuju pada apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan serta akibat, disertai sanksi terhadap
pelanggaran yang terjadi. Dengan kata lain, lembaga atau institusi
diartikan sebagai aturan permainan, rules of the game (Douglas North,
penerima Nobel Ekonomi 1933). Institusionalisasi dengan demikian
menyangkut langkah untuk mewujudkan agar aturan main ini menjadi tata cara
yang diterima semua yang terkait, governance atau good practice. Menjadi
pedoman berperilaku dalam lembaga (korporasi, organisasi sosial, yayasan,
pemerintahan, dan sebagainya). Dalam kenyataannya, governance, good
governance, dan good practice bisa berasal dari kebiasaan, budaya,
nilai-nilai luhur yang diterima dan dipertahankan untuk dipraktikkan. EAL
untuk kesejahteraan Prof Soemitro Djojohadikusumo dalam paparan
pada acara penganugerahan Piagam Hatta kepada dirinya dan Prof Widjojo
Nitisastro yang berjudul ”Tanggung Jawab Profesional Seorang Ekonom” (1985),
mengungkapkan: ”Saudara- saudara yang duduk dalam pemerintahan jangan
sekali-kali beranggapan, apalagi merasa berhak menuntut (take for granted)
bahwa nasihat ataupun konsep yang sudah Anda pikirkan secara akademis,
teknokratik, dan disampaikan akan diterima pemerintah sebagaimana Anda
meyakininya.” Nasihat ditujukan kepada kami-kami para
ekonom, anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), termasuk yang duduk
sebagai menteri di kabinet atau anggota Tim Penasihat Ekonomi Presiden
Soeharto saat itu. Mereka dikenal sebagai teknokrat dalam arti sebenarnya,
sebagai action intellectuals, akademisi, patriot yang berkecimpung dalam
mesin pemerintahan secara profesional. Juga dikenal dengan nama yang kurang tepat
dan berbau sinisme, yakni Mafia Berkeley. Istilah ini diperkenalkan oleh
penulis majalah Rampart, David Ransom, dalam tulisannya berjudul sama
(Oktober 1970). Menurut saya, nasihat Prof Soemitro
sederhana tetapi sangat berharga, yaitu agar ekonom yang dipercaya menduduki
jabatan sebagai penentu kebijakan jangan merasa hebat dan arogan. Ekonom
sejati diminta berperilaku dengan mawas diri, rendah hati, humble, realistis,
mungkin pragmatis, atau saya lebih suka, eklektik. Dalam uraiannya, Prof Soemitro menunjukkan
bahwa semua nasihat dan konsep yang diterima pemerintah akan menjadi dasar
atau isi dari kebijakan. Langkah menjadikan konsep berdasarkan analisis
akademis menjadi suatu kebijakan itu adalah keputusan politik. Untuk
melaksanakannya, harus dirumuskan dalam bentuk aturan perundang-undangan agar
punya kekuatan hukum untuk dilaksanakan penyelenggara negara, efektif
mencapai sasaran yang dituju. Jadi konkretnya, untuk menjadi kebijakan
resmi yang akan dilaksanakan, kebijakan yang didasarkan atas analisis ekonomi
itu dirumuskan menjadi aturan perundang-undangan, suatu produk hukum. Dari
proses ini tampak jelas kaitan ekonomi dan hukumnya sendiri. Apa pun sifat kebijakan, di bidang atau
sektor apa saja, untuk pelaksanaannya agar berkekuatan hukum harus dijadikan
atau dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijakan liberalisasi,
dulu dikenal sebagai paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, atau di
era sekarang dalam bentuk omnibus law, semua adalah aturan
perundang-undangan. Agak aneh bukan, kebijakan untuk mengurangi
aturan pun diimplementasikan dengan atau dalam bentuk aturan
perundang-undangan. Dalam aturan yang baru, mengganti dengan menyederhanakan
dan menyinkronkan yang terlalu ruwet sebelumnya, akan efektif untuk mencapai
sasaran yang diinginkan dalam pelaksanaannya. Suatu
contoh Di masa sebelum lahirnya WTO yang mengatur
hubungan perdagangan antarbangsa, dan negara, salah satu tugas yang saya
jalankan sebagai Menteri Muda Perdagangan adalah menyusun dan memimpin
delegasi, mewakili Indonesia dalam perundingan regional dan multilateral di
tingkat menteri anggota kabinet dalam kerangka GATT (General Agreement on
Tariffs and Trade) pada Putaran Uruguay (Uruguay Round). Saya menekankan kepada anggota tim tentang
sifat kerja yang multidisiplin atau anggotanya berasal dari berbagai disiplin
atau berperilaku multidisiplin. Yang dilakukan menyangkut kegiatan
penelitian, mengingat dokumen dalam permasalahan ini sangat banyak, dari
laporan, buku tarif, analisis ekonomi perdagangan, dan sebagainya. Kalau tak
biasa melakukan penelitian, orang akan mundur karena banyaknya dokumen harus
dipelajari. Mereka diharapkan menguasai permasalahannya
dalam bidang yang ditangani. Dalam melakukan pembahasan untuk menghasilkan
kesepakatan, diperlukan kemampuan tak hanya berkomunikasi, tetapi juga
berdiplomasi. Akhirnya, sasaran yang ingin dicapai adalah suatu kesamaan atau
kesesuaian pendapat yang dituangkan dalam dokumen yang merupakan produk
hukum, persetujuan atau treaty. Jadi jelas, pendekatannya multidisiplin dan
sasarannya menghasilkan dokumen yang berkekuatan hukum. Dua disiplin yang sangat penting di sini,
ekonomi dan hukum, dipertemukan di dalam EAL. Penerapan EAL akan memperjelas
dan mempertajam perumusan kebijakan publik dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelembagaannya akan lebih mengefektifkan
pelaksanaan kebijakan publik dalam mencapai sasaran yang ingin dicapai
Sebaliknya, pengabaian EAL akan mengurangi efektivitas pelaksanaan kebijakan
publik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar