Dari
Gadis Pemetik Blueberry
ke
Doa Kehancuran Komunisme
Iqbal Aji Daryono ; Esais, sedang menjalani pekan terakhir
dalam masa tinggalnya
di Perth, Australia
|
DETIKNEWS,
26 Desember
2017
Sambil duduk-duduk di
dapur penginapan murah dekat pusat kota Albany, 500 kilometer selatan Perth,
saya menyapa si gadis berambut merah yang sedang mencuci gelasnya. Saya
bertanya, kenapa hostel itu begitu sepi. Lalu mengalirlah rentetan cerita pahit
dari bibirnya.
"Teman-teman sedang
bekerja di kebun-kebun. Mereka berangkat pagi, dan baru pulang sore nanti.
Aku biasanya juga bekerja di kebun blueberry."
Crystal, namanya. Wajahnya
cantik tapi lusuh, bajunya kumal, dan kulitnya menghitam terbakar matahari.
Dia datang dari Prancis, sebuah negara yang dengar-dengar sekarang semakin
ngos-ngosan dalam menghidupi warganya.
Saya tidak sempat bertanya
bagaimana Crystal bisa terdampar di Albany. Yang jelas dia datang sebagai
backpacker, berjumpa dengan sesama turis miskin lainnya di kota ini, dan
sama-sama mendapatkan pekerjaan di tanah-tanah pertanian yang membentang di
sekitar kawasan Albany hingga Margaret River.
"Agar visa kami bisa
diperpanjang, kami harus bekerja 88 hari. Itu syarat dari badan imigrasi. Dan
karena itulah para pemilik lahan pertanian mengeksploitasi kami
habis-habisan."
Saya kaget mendengar kata
"eksploitasi". Selama ini saya sudah begitu yakin bahwa Australia
sangat maju dalam kesejahteraan pekerja. Pernah pula saya bagi deskripsi
tentang itu di kolom ini, dengan tulisan berjudul Cerita Selasa dari Buruh
Australia. Bagaimana kontrak kerja antara majikan dan buruh dijalankan secara
ketat, bagaimana pendapatan antara kerah putih dan kerah biru tidak senjang,
bagaimana jurang yang tak lebar itu memunculkan apresiasi sosial kepada para
pekerja kasar, dan sebagainya.
Namun perjumpaan akhir
pekan lalu dengan Crystal membuat saya merasa tak tahu apa-apa. Lihat, betapa
anak-anak backpacker itu begitu lemah posisi tawarnya, merelakan diri masuk
ke ruang-ruang gelap industri pertanian demi bisa menyambung hidup di
Australia.
"Kami tidak dibayar
per jam, melainkan per kilo. Sekilo blueberry dihargai 6 dolar. Kalau bekerja
sangat keras seperti Selasa lalu, dalam 8 jam kerja aku bisa mendapat 12
kilo," lanjut Crystal.
Saya melongo. Rata-rata
upah pekerja kerah biru normal adalah 150 hingga 160 dolar per hari, sudah
lengkap dengan perlindungan keselamatan dan sebagainya. Nilai upah segitu
relatif mepet untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan standar, mulai sewa rumah,
tagihan gas dan listrik, juga kebutuhan bahan makanan.
Namun para pemetik
blueberry yang lepas dari pantauan Departemen Tenaga Kerja ini bekerja di
ladang tak peduli panas-hujan, tanpa jam makan siang, dengan posisi badan
yang terus membungkuk hingga seringkali tulang punggung menjadi korban.
Bahkan Crystal sempat harus berhenti bekerja karena mengalami cedera tangan.
Sebagai hasilnya, ia
mendapatkan 72 dolar saja.
***
Berkali-kali saya berjumpa
dengan lelaki itu, saat sama-sama mengirimkan barang ke pelanggan. Perusahaan
logistik kami memang berbeda, tapi kami selalu bertegur sapa demi jiwa korsa.
Hingga akhirnya dua pekan sebelum saya ke Albany (tempat saya bertemu si
gadis pemetik blueberry), saya sempat berbincang dengannya.
Namanya Hoa. Dia orang
Vietnam, datang ke Australia pada 1990-an, setelah transit sekian lama di
Pulau Galang. Sepatah dua patah kata bahasa Indonesia dia ucapkan, begitu
tahu saya dari negeri tempat Pulau Galang berada.
Di depannya, saya
memuji-muji Vietnam. Isinya kurang lebih sama dengan tulisan saya pada kolom
ini yang berjudul Dari Oleh-oleh Turis Miskin ke Siraman Bensin.
Saya memang terkesan
dengan Vietnam. Negeri itu jauh lebih maju dari bayangan saya semula.
Kota-kotanya bersih, jaringan transportasi rapi, penduduknya ramah-ramah.
Para tukang jalan-jalan seperti saya bisa melenggang ke mana pun dengan
nyaman, bahkan bisa bersembahyang dengan aman karena masjid-masjid juga
beroperasi bebas tanpa ancaman moncong bedil serdadu komunis.
Lebih dari itu, saya
terpukau melihat bagaimana di sebuah alun-alun yang dikelilingi kompleks
pertokoan, lapak yang paling dikerubuti pengunjung adalah… toko buku! Toko
buku di Ho Chi Minh City begitu ramai, jauh mengalahkan toko pakaian dan
kafe-kafe. Wow, betapa beradab dan berbudaya!
Segala kekaguman itu saya
pegang sebagai sebuah kebenaran final, saya sampaikan kepada siapa pun yang
menggeneralisasi semua negara komunis sebagai negara anti-agama, dan saya
puja-pujikan di depan Hoa sambil bertanya, "Kenapa kamu nggak pulang ke
Vietnam saja? Bukannya sekarang kehidupan sudah sangat baik di sana?"
Tak saya sangka, Hoa malah
cemberut. Dia langsung menggeleng-geleng sambil pasang tampang sewot.
"No, no, no! Kamu
tidak tahu bahwa orang-orang Selatan terus ditindas sampai sekarang!
Orang-orang Utara terus dimanjakan pemerintah, diberi segala fasilitas dan
kemudahan bisnis, bisa sekolah tinggi, bisa mendapatkan pekerjaan yang baik.
Kami orang-orang Selatan tidak! Kalau kamu lihat ada perusahaan besar dan
bagus di Vietnam, maka bos-bosnya pasti dari Utara, dan buruh-buruhnya dari
Selatan!"
Saya melongo, mungkin sama
lebarnya dengan saat saya mendengar cerita Crystal si pemetik blueberry.
Lekas runtuhlah segenap kekaguman saya kepada Vietnam. Ternyata rezim
penguasa di sana masih belum move on dari perang saudara yang terjadi lebih
dari empat dekade silam. Tak bedanya para politisi Indonesia yang juga masih
menjadikan luka lebih dari setengah abad silam sebagai dagangan politik.
Semula saya kira, semangat
rekonsiliasi pasca-perang adalah bahan bakar yang membuat Vietnam bangkit.
Tapi ternyata diskriminasi atas rakyat Vietnam Selatan terus berjalan hingga
hari ini oleh pemerintahan Komunis, tentu saja berbekal stempel bahwa orang-orang
Selatan adalah mantan pendukung Amerika semasa perang.
"I still have family
in Vietnam, but they are very foor!" Hoa melanjutkan dengan penuh emosi.
Entah kenapa, banyak orang Vietnam memang menyebut huruf 'p' dengan 'f',
sehingga foor yang dia ucapkan itu tentu saja maksudnya poor. Maka gong dari
pernyataannya itu pun dia lontarkan sebagai pamungkas:
"I hope the Communist
will collapse soon! Soon! And Vietnam will be better!"
Betapa rapuhnya pengetahuan manusia. Apa yang
semula saya pegang erat-erat sebagai fakta dengan akurasi yang perkasa,
ternyata terlibas begitu saja hanya dengan kemunculan sepotong dua potong
cerita. Ini sebenarnya pola yang begitu sering kita jumpai di depan mata,
namun kita kerap alpa akan maknanya.
***
Semestinya saya belajar
dari angsa-angsa hitam, yang selalu saya papasi di Lake Monger, di Matilda
Bay, juga di sepanjang tepian Swan River.
Nassim Nicholas Taleb
dalam buku legendarisnya, The Black
Swan: the Impact of the Highly Improbable menyebut angsa-angsa hitam itu
sebagai semacam agen revolusi pengetahuan. Sebelum benua Australia ditemukan
(kata 'ditemukan' di sini tentu saja bias Barat), selama seribu tahun orang
meyakini bahwa semua angsa berwarna putih. Fakta itu dikuatkan oleh
bukti-bukti empiris yang tak perlu diperdebatkan lagi. Hingga kemudian orang
Eropa mendarat di Australia, dan runtuhlah keyakinan lama tentang warna putih
pada semua angsa.
Bayangkan, satu pengamatan
saja atas seekor angsa ternyata bisa meruntuhkan teori umum yang dibangun
dari konfirmasi selama seribu tahun dan berangkat dari pengamatan atas jutaan
angsa di dunia!
"All you need is one
single (and, I am told, quite ugly) black bird," kata Nassim dengan nada
miris campur ironis.
Malang, fitrah kerapuhan
pengetahuan itu kerapkali dinafikan. Kalau toh ada kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan senantiasa berdialektika, contoh kasus yang diambil paling banter
adalah perdebatan antara geosentrisme vs heliosentrisme, Nicolaus Copernicus,
lalu Galileo Galilei. Padahal Copernicus sudah mati pada 474 tahun yang lalu,
dan Galileo sudah wassalam sejak 375 tahun silam!
Semua lupa bahwa
dialektika pengetahuan berjalan terus hingga hari ini, hingga detik ini,
terus dan terus, hingga kelak Dajjal menyerang dan Imam Mahdi datang.
Walhasil, dalam lupa
kolektif itu, setiap kali muncul perspektif nyeleneh yang mendobrak arus
utama kebenaran versi para elite pengetahuan, yang mencuat seketika adalah
ungkapan penuh kesombongan: "Banyak-banyak baca buku duluuuuuu!";
"Dasar kurang piknik, pikniknya kurang jauh woiiii!"
Mereka lupa, buku pun
bagian dari tafsir atas kebenaran yang terus berproses. Apa yang tertulis
dalam buku tidak selalu lebih mewakili kebenaran dibanding fakta-fakta baru
yang datang dan sama sekali belum tertuliskan. Mereka juga lupa, bahwa
semakin jauh kita berpiknik, ah, bisa jadi justru semakin runtuhlah keyakinan
kita atas teori-teori lama.
Tak bedanya nasib saya
sendiri, tentunya. Usai beberapa perjumpaan, termasuk dengan Crystal dan Hoa,
saya merasa banyak tulisan saya yang muncul di kolom ini ternyata tak layak
dipercaya. Maka, ya jangan dipercaya. Mohon bacalah sebagai hiburan saja,
atau sesekali sebagai penggelak tawa.
Saya kira, itulah pesan
akhir tahun paling penting yang bisa saya sampaikan. Selamat Natal dan Tahun
Baru! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar