Pulang
ke Rumah
Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan
dan Pengajar
di Universitas
Multimedia Nusantara, Serpong
|
KOMPAS,
20 Januari
2018
Ibarat ada keluarga yang
telah lama merantau dan pulang ke rumah, hal yang sama saya lihat dalam
pemikiran Ki Hajar Dewantara, sang pamong bangsa. Gagasan-gagasan penting
pedagog kritis itu telah kembali ke rumah pendidikan nasional kita. Namun,
eksekusi terhadapnya ternyata masih setengah hati.
Muhadjir Effendy begitu
diangkat sebagai Mendikbud langsung menyadari bahwa roh pendidikan yang ada
di Kemdikbud sebenarnya tinggal sepertiga. Bayangkan saja, dari tiga konsep
penting pendidikan Ki Hajar, hanya satu yang secara eksplisit menjadi spirit
Kemdikbud, yaitu tut wuri handayani. Lantas, ing ngarso sung tulodo dan ing
madya mangun karsa selama ini dikemanakan?
Tak heran jika Muhadjir
pernah mengungkap keinginannya mengubah nomenklatur Kemdikbud sehingga
logonya lengkap mencerminkan pemikiran Ki Hajar. Usulan mengubah nomenklatur
ini tentu saja memiliki banyak dampak, bukan hanya dari sisi penamaan,
melainkan juga dari sisi pembiayaan, seperti penggantian logo, kop surat
resmi, dan papan nama di lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah kita. Namun,
lebih dari sekadar keinginan mengganti nomenklatur, saya melihat usulan unik
Mendikbud ini sebagai pemantik kesadaran publik bahwa ada sesuatu yang hilang
dalam kinerja Kemdikbud selama ini.
Kinerja Kemdikbud
sebenarnya mulai mengalami proses transisi menjadi lebih baik sejak
kepemimpinan Anies Baswedan. Ia menggemakan dua kata kunci penting, yaitu
ekosistem pendidikan dan pelibatan publik. Sayangnya, ide cemerlang ini
kurang sistematis diimplementasikan. Pelibatan publik akhirnya hanya dipahami
sebagai terbentuknya panitia seleksi untuk memilih jabatan penting di
kementerian. Atau di tingkat sekolah, bahkan jatuh pada anekdot sekadar
kebijakan orangtua mengantar anak ke sekolah pada hari pertama, tetapi lupa
menjemput.
Ketika Muhadjir mendapat
mandat melanjutkan kepemimpinan Anies, pelibatan publik ini lebih diperkuat
lagi secara sistematis melalui penguatan peranan komite sekolah. Munculnya
Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah menunjukkan
keseriusan pemerintah dalam memperkuat pelibatan publik di tingkat satuan
pendidikan, yaitu orangtua, terutama melalui struktur komite sekolah sebagai
salah satu mitra penting pendidikan.
Bukan hanya itu, peranan
orangtua dalam pendidikan anak juga ingin dikuatkan melalui kebijakan tentang
hari sekolah melalui Permendikbud No 23/2017. Sayangnya, niat baik ini tidak
ditangkap publik dengan baik, terutama media massa, sehingga yang dipahami
publik melalui media adalah konsep full day school (FDS). Padahal, Kemdikbud
tidak pernah sama sekali mengeluarkan kebijakan FDS.
Revolusi
kopernikan
Keluarnya Peraturan
Presiden No 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di satu sisi
menghentikan polemik FDS yang menyita waktu, perhatian, dan tenaga, tetapi
juga sekaligus merupakan kesungguhan pemerintah dalam rangka memulangkan
gagasan-gagasan pendidikan genial Ki Hajar yang selama ini terabaikan di
rumah sendiri.
Pasal-pasal dalam Perpres
tentang PPK secara eksplisit menyebutkan kekhasan pedagogi pendidikan yang
selama ini menjadi trade mark Ki Hajar, seperti konsep trisakti jiwa manusia,
yaitu pikiran, rasa, dan kemauan (cipta-rasa-karsa) dan kodrat ”dasar”
(dimensi biologis individu) dan ”ajar” (dimensi sosial pembentukan karakter)
dalam pendidikan. Pendidikan yang utuh semestinya mengintegrasikan empat
dimensi pengolahan hidup manusia, yaitu oleh hati, olah pikir, olah rasa, dan
olah raga. PPK juga secara eksplisit menggemakan kembali konsep tripusat
pendidikan Ki Hajar, yaitu sinergi antara keluarga (orangtua), sekolah (alam
perguruan), dan masyarakat (alam pergerakan).
Konsep Ki Hajar secara
eksplisit tecermin dalam definisi PPK sebagai ”gerakan pendidikan di bawah
satuan pendidikan untuk membentuk karakter peserta didik melalui olah hati,
olah rasa, olah pikir, dan olah raga dalam kerja sama antara orangtua,
sekolah, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental
(GNRM)”.
Era di mana Ki Hajar hidup
dalam literatur sejarah pedagogi sering disebut sebagai revolusi kopernikan
pendidikan. Zaman itu ditandai ditemukannya kesadaran akan pentingnya sang
anak. Apabila Copernicus membalik pandangan umum bahwa bukan Matahari yang
mengitari Bumi, melainkan sebaliknya, revolusi kopernikan dalam dunia
pendidikan ditandai dengan pembalikan pusat pembelajaran: dari sang guru ke
sang anak. Sang anaklah yang kini menjadi pusat dalam keseluruhan proses
pemelajaran.
Pandangan bahwa pusat
pendidikan ini ada dalam diri anak tampil dari para pemikir sezamannya,
seperti Maria Montessori, Ovide Decroly, Karl Groos, John Dewey, dan
Friedrich FrÖebel. Pusat seluruh proses pendidikan adalah sang anak, bukan
guru. Revolusi kopernikan pendidikan ini mengubah struktur filosofi
pendidikan sehingga mengakibatkan perubahan dalam konsep pendidikan, peran
dan cara mengajar guru, pemilihan materi pemelajaran dan metode evaluasi,
serta penilaian. Gagasan Ki Hajar sangat dipengaruhi oleh revolusi kopernikan
pendidikan pada zamannya.
Setengah
hati
Ironisnya, gagasan Ki
Hajar tampaknya ditanggapi dan diterapkan setengah hati. Ini tecermin dari
struktur Kurikulum 2013 dan implementasi beberapa kebijakan yang kurang
tepat.
Pertama, pendidikan utuh
dan menyeluruh. Salah satu gagasan genial Ki Hajar adalah pendidikan sebagai
proses pembentukan watak anak Indonesia yang merdeka, berpusat pada sang
anak, membebaskan kreativitas agar diri anak-anak bertumbuh dalam keseluruhan
dimensinya, baik secara fisik, psikologis, sosial, estetis, intelektual,
etis, maupun spiritual melalui pendekatan kepamongan.
Faktanya, struktur
kurikulum kita membebani peserta didik dengan banyak mata pelajaran, padat
isi, dan ketat dalam sistem evaluasi. Beratnya materi pelajaran ini membuat
proses pendidikan akhirnya hanya fokus pada kemampuan akademis peserta didik,
sementara mengabaikan dimensi pendidikan yang lain, terutama pembentukan karakter.
Mendikbud pernah menyampaikan usulan untuk menyederhanakan mata pelajaran
pada jenjang sekolah dasar. Namun, gagasan ini berhenti dalam ide. Jumlah
mata pelajaran untuk jenjang pendidikan dasar perlu lebih disederhanakan
sehingga pendidikan bisa fokus pada pembentukan karakter peserta didik.
Kedua, banyaknya isi
kurikulum yang harus diajarkan membuat guru sibuk pada persiapan tugas-tugas
administrasi. Ini belum ditambah dengan sistem penilaian yang menguras
tenaga, pikiran, dan energi; mulai dari penilaian kompetensi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Apalagi, dalam setiap penilaian ini guru harus
membuat penjelasan deskriptif tentangnya. Alih-alih memberi ruang bagi guru
untuk menjadi pamong bagi peserta didik, seperti ideal pemikiran Ki Hajar,
guru menjadi semacam robot. Ia sibuk mengajarkan pengetahuan yang kering dan
tidak menarik.
Ketiga, sistem evaluasi
kita masih fokus untuk memotret kemampuan akademis peserta didik melalui
berbagai macam ujian, mulai dari penilaian harian, penilaian akhir semester,
ujian sekolah berstandar nasional (USBN), dan ujian nasional (UN). Semua ini
berfokus hanya pada satu dimensi, yaitu kemampuan akademis-intelektual
peserta didik. Alternatif penilaian dan evaluasi untuk memotret otentisitas
sikap spiritual dan sosial perlu dikembangkan lagi.
Keempat, dari sisi
tripusat pendidikan, kolaborasi antara sekolah dan rumah belum terbentuk
sebagai tradisi yang melahirkan habitus pendidikan yang baik. Komite sekolah
masih sering dicap sebagai tukang stempel kebijakan sekolah untuk menarik
dana dari para orangtua murid. Partisipasi orangtua murid dalam pendidikan
anak juga masih lemah. Kolaborasi sekolah dan rumah perlu diperkuat lagi
karena orangtua adalah tetap pendidik utama peserta didik.
Pulangnya gagasan Ki Hajar
di rumah pendidikan nasional perlu kita rayakan bagaikan menemukan anak yang
hilang. Namun, ini membutuhkan sikap terbuka, reflektif, dan kritis. Caranya
adalah dengan mulai mempertanyakan dan mengkritisi berbagai praksis
pendidikan yang sudah ada, tetapi kurang selaras dengan gagasan Ki Hajar,
sang pamong bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar