Rabu, 24 Januari 2018

Netralitas Aparatur di Pilkada

Netralitas Aparatur di Pilkada
Suyatno  ;  Dosen Universitas Terbuka
                                              KORAN JAKARTA, 20 Januari 2018



                                                           
Dalam hirukpikuk menyambut Pilkada Serentak 2018, netralitas PNS, TNI, dan Polri muncul lagi. Sudah jadi rahasia umum, oknum PNS tidak netral dalam pilkada untuk meraih jabatan prestisius andai jagonya terpilih. Kini, malah muncul fenomena anggota TNI dan Polri aktif mencalonkan diri dalam kontestasi pilkada.

Meski sudah mengajukan pensiun, pemberhentian diri yang reaktif dan mepet dengan waktu pencalonan, dikhawatirkan tetap mendatangkan pengaruh tidak adil pada calon lain. Proses pemilihan menjadi berjalan tidak adil. Keterlibatan birokrasi dalam politik memang bisa mengundang perdebatan. Ada pro kontra. Yang setuju karena setiap orang memiliki hak politik setara.

Dia memiliki hak memilih dan dipilih. Sulit diterima membatasi peran politik seseorang (termasuk birokrat) dalam sistem demokrasi. Pembatasan hak merupakan pelanggaran HAM. Sementara itu, yang kontra berkeyakinan bahwa tumpang tindihnya peran sebagai pelayan masyarakat dan aktor politik sekaligus akan memunculkan conflict of interest.

Tidak saja berlangsung pada tataran individu, tapi juga institusi birokrasi. Efeknya bisa dirasakan pada salah satu wadah tersebut. Bisa merusak kinerja birokrasi itu sendiri atau merusak kehidupan politik seseorang berupa pembusukan politik dalam jangka panjang. Pengalaman bangsa ini cukup menjadi cerminnya.

Sebelumnya, dalam Pilkada Serentak 2015 keluar nota kesepahaman (MoU) bersama netralitas PNS dalam pilkada serentak yang ditandatangi Menteri Dalam Negeri, Menpan RB, Kepala BKN, Ketua Komisi ASN dan Ketua Bawaslu sebagai langkah antisipasi. Selanjutnya, mendagri dan Menpan RB membentuk satgas khusus untuk mengawasi netralitas PNS.

Sanksinya mulai penundaan kenaikan pangkat, pencabutan tunjangan kinerja hingga pemberhentian. Kini dalam Pilkada 2018 sinyalemen keterlibatan aparatur negara masih saja dikhawat irkan. Pengalaman panjang keterlibatan aparatur dalam pemilu/ pilkada telah cukup menu n jukkan kerunyaman.

Keterlibatan birokrasi dalam politik bukanlah pilihan terbaik bila ingin menegakkan jalannya demokrasi. Keterlibatan politik aparatur dalam pilkada merupakan fenomena puncak gunung es. Yang muncul dipermukaan hanyalah sebagian kecil dari kenyataan sesungguhnya yang jauh lebih banyak dan masif terjadi.

Sejumlah kecenderungan negatif ternyata muncul dari keberpihakan politik aparatur dalam pilkada. Keterpasungan bisa menjebak pegawai birokrasi dalam kehidupan politiknya. Dia akan tertelikung oleh konsekuensi bila tidak memilih partai tertentu. Dampaknya bisa membahayakan konduitenya sebagai seorang aparatur sipil negara (ASN).

Keberpihakan aparatur lebih mengakibatkan ancaman struktural ketimbang fungsional. Seorang birokrat bisa mendapat sanksi atasan bila tidak berpihak pada kehendak pemegang kekuatan politik. Tugas utama PNS melayani masyarakat. Kondisi berikutnya sangat terbuka peluang terjadi pelayanan PNS, TNI dan Polri bisa cenderung diskriminatif. Keberpihakan aparatur pada salah satu partai (kandidat) politik akan memperlemah profesionalisme organisasi pemerintahan.

Sejarah

Masih jelas terlihat, melibatkan birokrasi dalam politik sangat tidak menguntungkan rakyat telah berlangsung lama dari Orla ke Orba. Birokrasi terpetak- petak dalam parpol-parpol. Birokrasi menjadi rebutan sebagai instrumen kepanjangan tangan partai mana pun. Partai yang berhasil menempatkan kadernya menjadi pimpinan di sebuah departemen, akan menjadikannya kendaraan.

Politisasi tertutup terjadi pada era berikutnya. Birokrasi Orde Baru setali tiga uang. Hanya dalam bentuk yang lebih menyolok. Birokrasi diubah menjadi peranti partai berkuasa. Pada praktiknya birokrasi terlibat dalam kepengurusan dan pemenangan parpol pemerintah. Tidak ada kebebasan birokrasi untuk berparpol.

Birokrasi menjadi mesin bagi pengendalian politik masyarakat. Ada pemangkasan agar birokrasi tidak liar dalam berafiliasi ke parpol tertentu. Akibatnya, rakyatlah yang jadi korban. Hak politiknya diabaikan. Rakyat tidak memiliki kebebasan dalam menjalankan hak memilih dan dipilih. Ini karena ada kontrol birokrasi negara hingga level paling bawah.

Konsep monoloyalitas melekat erat kepada birokrasi saat itu. Tidak melibatkan aparatur dalam pilkada berarti menghendaki sebuah birokrasi yang netral. Birokrasi dalam pengertian value-free. Hegel berpendapat, administrasi negara sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara dan masyarakatnya (Thoha; 2003).

Birokrasi pemerintah merupakan medium untuk menghubungkan kepentingan particular (masyarakat) dengan kepentingan umum. Kedudukan PNS yang netral dimaksud dalam Undang-Undang No 5/2014 adalah bebas dari pengaruh semua golongan dan parpol. Kecuali itu juga tidak diskriminatif dalam melayani masyarakat.

Untuk menjamin netralitas, pegawai negeri dilarang menjadi tim sukses, anggota dan atau pengurus partpol. Meski begitu, PNS, TNI dan Polri tidak kehilangan hak untuk memilih, tapi tidak terlibat aktif dalam pilkada. Dia memiliki hak pilih aktif. Kalaupun ingin memiliki hak dipilih, mereka harus meletakkan karirnya sebagai aparatur negara.

Politik vis a vis pelayanan terjadi dalam memposisikan aparatur. Antara politik dan pelayanan birokrasi tidak bisa berjalan bersamaan. Aparatur negara selayaknya menjadi milik semua orang karena alat negara yang dibentuk demi kehidupan masyarakat lebih baik. Netralitas aparatur akan membawa banyak kondisi.

Dengan mengambil jarak yang sama dari semua kandidat/ partai akan membebaskannya dari jebakan-jebakan struktural. Aparatur lebih berkonsentrasi pada pelayanan. Terhindarnya ancaman struktural membawa aparatur hanya terfokus untuk terhindar. Mereka akan menjalankan dengan sebaik-baiknya fungsinya agar tidak mendapat sanksi.

Jadi, bukan karena diancam akibat tidak mendukung kandidat tertentu. Aparatur bisa berfungsi sebagai stabilisator kebijakan negara. Biar berganti-ganti penguasa, pola kerja yang relatif bebas dari intervensi politik akan menjaga kesinambungan. PNS, TNI, dan Polri benar-benar menjadi penghubung antara negara dan rakyat.

Memenangkan pilkada adalah target setiap kandidat. Tetapi mengorbankan kepentingan rakyat banyak demi kemenangan sangat memalukan. Kemenangan hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Menggunakan PNS, TNI, dan Polri sebagai alat harus segera diakhiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar