Hukum
dan Demokrasi : Menggelikan
Margarito Kamis ; Doktor Tata Negara,
Dosen Fakultas Hukum
Univ Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 22 Januari 2018
HUKUM karena
eksistensinya bergantung pada ada atau tidaknya kehidupan manusia,
termasuk dan tak terbatas pada definisi dan kategorinya, maka selalu mudah
ditemukan. Hukum akan ada bersamaan dengan adanya kehidupan manusia. Namun
tidak demikian halnya dengan demokrasi, apa pun definisi dan kategorinya.
Demokrasi, sebagaimana yang terekam sejarah kehidupan manusia, menunjukkan
ia tidak selalu ada bersamaan dengan adanya kehidupan manusia.
Perbedaan eksistensi itu juga derajat keberadaban keduanya yang mengagumkan, dirangsang oleh satu hal yang sama: impian memuliakan eksistensi setiap orang sebagai makhluk yang dimuliakan Allah SWT, penciptanya Yang Mahamulia. Itulah yang menjadi metanilai dan karakter inti pengaturan dalam hukum dan demokrasi. Itu pula sebabnya hukum dan demokrasi sama-sama diimpikan sebagai dua hal yang sama gemilangnya dalam usaha menciptakan kehidupan yang bermartabat. Terluka Sedari Awal Kenyataannya martabat manusia baik sebagai individu maupun masyarakat cukup sering terluka. Dilukai dengan menggunakan hukum sebagai alatnya dengan pertimbangan serta kombinasi ekspektasi arbitrer dan demokrasi. Keadilan atau keganasan hukum dan juga demokrasi bergerak secara kontradiktif bergantung pada derajat moralitas pengendali mengenal dan memaknai suara di luar dirinya, kelompok dan golongannya. Dalam konteks itu hukum di alam demokrasi tidak selalu paralel, sama dan sebangun dengan impian filosofis yang merangsang dan menyinarinya. Bukan saja karena demokrasi bukan hal terbaik dari hal-hal baik sehingga tak memiliki cacat cela, tetapi cacat celanya termanifestasikan sedemikian rumitnya sehingga alam kehidupan di dalamnya terasa indah. Cacat celanya memungkinkan demokrasi, juga hukum, didedikasikan secara kategorial. Di bidang keuangan negara, pemerintahan nasional Amerika yang saat itu baru didirikan segera disibukkan dengan perdebatan tajam antara Hamilton dengan Jefferson. Sebagai menteri keuangan, Hamilton mati-matian menghendaki Amerika segera memiliki satu bank sentral. Ide ini ditentang habis-habisan oleh Jefferson. Kata Jeferson seperti dikutip Ralp Anderson, jika rakyat Amerika memperbolehkan bank swasta mengendalikan mata uang, pertama oleh inflasi, kemudian deflasi, maka bank dan perusahaan yang tumbuh di sekeliling mereka akan mengambil harta kekayaan rakyat sampai anak-anak mereka tidak memiliki rumah di benua yang ditaklukkan oleh ayah mereka. Hamilton keluar sebagai pemenang minimal karena bank yang diimpikannya berhasil dibentuk dengan batas waktu tertentu. Jefferson tidak bisa berbuat apa-apa selama pemerintahannya yang dua periode itu sebelum akhirnya bank ini berhenti beroperasi di masa pemerintahan James Monroe karena izin pendiriannya tak diperpanjang. Pertarungan elitis ini menandai sedari awal demokrasi tidak selalu didedikasikan untuk rakyat. Menggelikan Hukum di alam demokrasi, begitu juga demokrasi di alam supremasi hukum, dalam keadaan semutakhir apa pun tak jauh jaraknya dari cacat. Kecuali hukum alam, hukum positif bukan pranata yang tak disengaja pembentukannya. Kesengajaan membentuk hukum adalah cara tercanggih dalam melembagakan kepentingan-kepentingan kelompok dan golongan. Itu sebabnya kesamaan status civilian setiap individu tak serta-merta menghasilkan kesamaan perlakuan dalam kehidupan hukum dan demokrasi. Namun kesamaan perlakuan ini terkadang hanya omong kosong. Perbedaan perlakuan pada verifikasi faktual partai politik (parpol) sebagai bagian integral proses hukum yang demokratik menjadikan parpol subjek hukum pemilu, misalnya, adalah penanda adanya omong kosong kesamaan perlakuan konstitusional terhadap semua subjek hukum pemilu. Keengganan parpol di DPR melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan semua parpol diverifikasi faktual sulit untuk tak menandainya sebagai omong kosong atas kesamaan perlakuan konstitusional bagi parpol, subjek hukum buatan ini. Begitu pun dalam konteks pilkada, terutama pada daerah yang pasangan calonnya tunggal. Hukum pemilihan kepala daerah kini, entah apa pertimbangan filosofisnya, menyamakan nilai hukum manusia dengan kotak kosong. Kotak kosong seolah-olah diam-diam punya harkat dan martabat, punya rasa, punya kepentingan. Manusia diadu dengan kotak kosong yang kali ini mungkin berjumlah lebih dari 13 daerah. Menggelikan dan tragis. Sama menggelikan dan tragis dengan pembenaran negatif soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Konstitusionalisme abal-abal ini, uniknya, disambut gegap gempita. Hukum klasik, hukum khas raja-raja absolut dalam peradaban barbarian, tiada bertipe lain selain merendahkan orang tertentu dan mengistimewakan orang lain dalam kelas tertentu. Miring, bengkok, atau lurus dan tegaknya hukum tergantung pada status subjek, yakni dari kalangan mana atau siapa yang melanggar hukum itu. Hukum dalam alam ini, yang barbarian, adalah sarana bisnis terbaik, praktik yang tidak sulit ditemukan dalam alam demokrasi. Intensitas dan kejujuran penegakan hukum barbarian bergantung sepenuhnya pada definisi penguasa atas kasus dan pelakunya. Kawan atau lawan, berstatus apa pelakunya dan apa konteks serta manfaat politik yang dapat diraup dari kasus itu menjadi kriteria penting dalam mengarahkan: menghidupkan atau mematikan hukum. Demokrasi harus diakui memungkinkan hukum dipakai untuk memukul kelompok masyarakat tertentu. Kebebasan berekspresi uniknya membantu melegitimasi diskriminasi-diskriminasi di atas. Berkah kebebasan berekspresi terletak pada mudahnya kebebasan itu dibelokkan untuk membenarkan saja, mendukung apa adanya, menyesatkan, mengalihkan, menyangkal dan membuat diskriminasi tampak masuk akal. Ragam argumen yang menyepelekan hukum reklamasi sejumlah pulau di Teluk Jakarta plus saling silang pendapat atas usaha nyata Gubernur Anies Baswedan membatalkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) menandai melempemnya hukum di alam demokrasi mutakhir. Supremasi hukum dalam kasus ini terpersepsi laksana barang rongsokan dibanding dengan manfaat ekonomi, betapapun hitam cara perolehannya. Demokrasi tak disadari menjadi tempat bagi sekelompok orang yang entah berkat indoktrinasi motivasi atau bukan, tertahbis sebagai kelompok istimewa, paling kredibel dan bertangung jawab serta menjadi preferensi utama penegakan hukum daripada yang lainnya. Berkat demokrasi, diskriminasi penegakan hukum dapat dibiarkan berceceran begitu saja dan menjadi bahan debat di tengah masyarakat. Tapi kala debat mulai menusuk, pemerintahan demokratis dapat dengan mudah memastikan diri bahwa mereka tidak selalu merupakan pemerintahan yang akrab dengan kritik, memperlakukan kritik sebagai cahaya dalam kegelapan. Tidak. Pemerintahan demokratis di mana pun, tidak lain dari pemerintahan yang mengagungkan efektivitas, efisiensi dan ketenangan bekerja. Kritik, bisa jadi terlihat laksana monster. Bila sudah begitu keadaannya, pemerintahan demokratis dapat dengan mudah mengesampingkan kebebasan berpendapat. Menurut Susan E Scarrow, UU Sensor di Inggris yang telah dihapus pada akhir abad ke-17 tetap dipertahankan sampai pertengahan abad ke-19. UU ini katanya berguna karena menghambat publikasi komentar yang ditafsirkan menyebarkan pandangan yang mengancam pemerintah atau partai yang memerintah. Ini juga yang pada awal abad ke-19 dilembagakan di Amerika, dikenal dengan UU tentang Alien dan Hasutan tahun 1798. Hukum dan demokrasi, selalu begitu, sering kali menjadi dua hal saling membelakangi, walau tak jarang juga beriringan. Mengagungkan hukum bukan tanpa bahaya bila demokrasi tak sesehat nurani para filosof. Hukum yang buruk bukan tipikal rezim klasik. Hukum yang buruk juga tipikal rezim demokratis. Demokrasi bisa jadi benteng terkuat bagi hukum yang buruk. Menggelikan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar