Akal-Akal
Verifikasi Faktual
Refly Harun dan Hadar N Gumay ; Aktivis Constitutional
and
Electoral Reform Centre
(Correct)
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Januari 2018
SALAH satu problem akut negara berkembang
seperti Indonesia ialah soal budaya hukum (legal culture), salah satunya
ketaatan terhadap putusan pengadilan. Harus diakui, banyak putusan pengadilan
yang tidak rasional dan dirasakan tidak adil sehingga memunculkan resistensi.
Dalam konteks ini, wajar bila putusan ditentang.
Soalnya, putusan yang adil dan sudah benar
seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal verifikasi partai politik
(parpol) pun sering dicari lubang tikusnya untuk tidak dilaksanakan.
Kalaupun dilaksanakan, muncul akal-akalan
dalam implementasinya.
Putusan MK soal verifikasi faktual parpol
merupakan perintah yang terang-benderang, yang tidak boleh ditafsirkan lagi.
Putusan itu tinggal dilaksanakan dengan
konsekuensi-konsekuensi penyesuaian jadwal.
Verifikasi itu tidak pula harus diikuti
dengan perubahan aturan, baik revisi undang-undang maupun paraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Putusan MK itu ialah dasar hukum yang
tingkatannya sama dengan undang-undang.
Bahkan, bisa dikatakan lebih kuat daripada
undang-undang karena putusan MK didasarkan atas tafsir konstitusi.
Secara formal, betapa pun
putusan-putusannya sering dikritik, hanya MK yang berwenang menguji
undang-undang apakah bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
Jadi, bila karena ada putusan MK, ada
aturan undang-undang yang harus ditabrak, putusan MK yang harus didahulukan.
Dalam konteks verifikasi faktual, bisa saja
12 parpol peserta Pemilu 2014 yang terkena dampak putusan MK diberikan
rentang waktu yang sama dengan parpol-parpol yang sudah diverifikasi terlebih
dulu agar ada kesetaraan perlakuan.
Tidak soal bila karena memenuhi perintah
putusan MK penetapan peserta pemilu jadi berbeda di antara parpol calon
peserta Pemilu 2019.
Lagi pula, parpol-parpol yang ada di DPR
harusnya tidak perlu ragu kalau memang eksistensi mereka jelas di masyarakat,
tidak sekadar hadir ketika musim pemilu.
Hal ini sekaligus membuktikan bahwa parpol
bekerja (workable), tidak sekadar menjadi mesin pengeduk suara saban musim
pemilu (electoral machine).
Mengakali
putusan MK
Verifikasi faktual merupakan proses
pengecekan atau pemeriksaan untuk memastikan persyaratan parpol menjadi
peserta pemilu.
Hal itu tertuang dalam Pasal 173 ayat (2)
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu 2017).
Ketentuan itu lebih lanjut diatur dalam
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 11 Tahun 2011 tentang
Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
Sejak semula, UU Pemilu 2017 memuat
pengaturan yang tidak adil di antara parpol calon peserta pemilu.
Parpol yang pernah lulus verifikasi tidak
diverifikasi kembali dan langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu (Pasal
173 ayat [3]).
Pasal ini dimaksudkan untuk 12 parpol peserta
Pemilu 2014, tidak untuk parpol lain, termasuk parpol yang berbadan hukum
baru dan tidak ikut Pemilu 2014.
Beberapa parpol baru mengajukan pengujian
ketentuan tersebut ke MK, antara lain Partai Idaman (Islam Damai Aman), PSI
(Partai Solidaritas Indonesia), Perindo (Partai Persatuan Indonesia), dan
Pika (Partai Indonesia Kerja).
Permohonan itu dikabulkan melalui Putusan
Nomor 53/PUU-XV/2017.
MK mewajibkan semua parpol diverifikasi
secara faktual. Permohonan konstitusionalitas serupa pernah diputus MK
melalui Putusan Nomor 52/PUU-X/2012.
Putusan MK yang membatalkan Pasal 173 ayat
(1) dan Pasal 173 ayat (3) ini berkonskuensi pada harus dilaksanakannya
verifikasi faktual terhadap 12 parpol peserta Pemilu 2014.
Rasa aman yang selama ini ada karena 'perlindungan'
Pasal 173 ayat (3) sangat mungkin menjadi petaka.
Bisa saja, di antara 12 parpol tersebut
tidak memenuhi syarat dalam verifikasi faktual sehingga tidak dapat menjadi
peserta Pemilu 2019.
Hal yang sangat mungkin terjadi mengingat
parpol merasa 'pede', tidak mempersiapkan dengan baik dan lengkap pemenuhan
keseluruhan persyaratan karena adanya ketentuan 'pasti lolos' tersebut.
Padahal, persyaratan dapat menjadi peserta
pemilu yang tertuang pada Pasal 173 ayat (2) sangat berat, terutama syarat
yang terkait jumlah dan kelengkapan kepengurusan dan keanggotaan yang hampir
di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk dapat memenuhi semua persyaratan ini
mustahil dapat dikerjakan dalam waktu singkat dan dana yang sedikit.
Upaya 'jalan pintas' parpol peserta Pemilu
2014, terutama yang memiliki wakil di Komisi II DPR, untuk memastikan dapat
ikut Pemilu 2019 tidak berhenti.
KPU, yang seharusnya dapat langsung
menindaklanjuti putusan MK dengan sedikit mengubah peraturan, oleh DPR dan
pemerintah dipagari geraknya dengan tidak adanya persetujuan tambahan
anggaran dan perubahan undang-undang atau perppu.
Entah apa yang terjadi dalam rapat dengar
pendapat tertutup Komisi II DPR dengan pemerintah yang diwakili Mendagri,
KPU, dan Bawaslu.
RDP yang dilaksanakan pada Kamis (18/1) dan
Jumat (19/1) pagi itu, menghasilkan kesimpulan bahwa Komisi II, Mendagri,
KPU, dan Bawaslu sepakat untuk mengubah PKPU Nomor 11/2017.
Gambaran umum hasil kesepakatan dari rapat
tertutup tersebut, perubahan PKPU akan segera dilakukan untuk mengatur
verifikasi faktual yang lebih 'sederhana' dan akan diterapkan dalam waktu
yang sangat singkat, sampai batas waktu penetapan peserta pemilu tanggal 17
Februari 2018.
Kesepakatan ini menyeruakkan aroma
mengakali putusan MK. Bentuk verifikasi faktual yang akan dilaksanakan ini
lebih berbau layaknya satu 'sandiwara', dibuat seolah-olah seperti bentuk
verifikasi aslinya.
Verifikasi tidak lagi dilakukan dalam waktu
yang sama, seperti yang dimaksudkan dalam putusan MK. Tidak lagi selengkap
seperti dalam putusan MK.
Demikian pula jumlah sampel yang akan dicek
di lapangan, bisa jadi lebih sedikit dan tidak lagi dikunjungi di tempat
tinggal masing-masing.
Perubahan tata cara verifikasi faktual yang
sangat berbeda ini tidak hanya menimbulkan ketidakadilan baru, tetapi juga
akan membuat kualitas verifikasi menjadi anjlok.
Kualitas penyelenggaraan pemilu, yang
merupakan faktor penting penentu legitimasi proses dan hasil pemilu,
dipertaruhkan dengan membarternya dengan kepentingan politik jangka pendek
parpol-parpol untuk bisa pasti ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2019.
Kenekatan DPR dalam menciptakan
ketidakadilan antarsesama calon peserta pemilu tidak hanya terjadi di sektor
hulu (dengan membuat aturan timpang yang akhirnya dibatalkan MK), tetapi juga
di sektor hilir (berupaya mengakali putusan MK tersebut).
Padahal, putusan tetaplah putusan, harus
dihormati, betapa pun mungkin kita tidak setuju atau tidak sepakat.
Bagaimanapun caranya, verifikasi faktual
harus tetap dilaksanakan.
Ditentukan
hasil pemilu
Berbeda dengan putusan tentang presidential
threshold, kami menilai putusan MK tentang verifikasi parpol ini sudah tepat
karena menghormati prinsip perlakuan yang sama bagi peserta pemilu (prinsip
equality).
Tidak boleh ada calon peserta pemilu yang
harus berdarah-darah terlebih dulu, sedangkan yang lain melenggang begitu
saja karena aturan yang tidak adil.
Kecuali bila hal tersebut sudah ditentukan
dalam undang-undang ketika hasil pemilu belum diketahui. Pemilu harus
memiliki prinsip predictable in process dan undpredictable in result.
Seandainya aturan yang dibuat itu
menyatakan bahwa parpol yang lolos parliamentary threshold (PT) dalam Pemilu
2019 otomatis menjadi peserta pemilu berikutnya, aturan itu dapat dikatakan
rasional dan konstitusional.
Semua peserta memiliki kesempatan yang sama
karena hasil pemilu belum diketahui (unpredictable in result).
Dalam konteks seperti inilah, ke depan kami
mengusulkan tidak perlu lagi dilakukan verifikasi faktual, yang jelas-jelas
menguras banyak biaya dan tenaga.
Padahal, belum tentu parpol yang lulus
verifikasi itu benar-benar mengakar di masyarakat.
Penentuan peserta pemilu lebih baik
ditentukan dari hasil pemilu itu sendiri.
Caranya, undang-undang harus mengatur bahwa
parpol yang lolos PT pada pemilu terdekat otomatis dapat mengikuti pemilu
berikutnya.
Parpol yang tidak lolos PT tetap dapat
mengikuti pemilu berikutnya, tetapi terbatas untuk pemilu tingkat lokal
(pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota).
Demikian pula parpol-parpol baru, terlebih
dulu harus mengikuti pemilihan tingkat lokal, tidak boleh begitu saja ikut
pemilu nasional.
Bila parpol-parpol itu dapat memperoleh
kursi di lebih dari setengah jumlah DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
(minimal satu kursi di masing-masing DPRD dimaksud), parpol tersebut dapat
mengikuti pemilu nasional lagi (pemilihan anggota DPR).
Dengan cara yang demikian, secara alamiah
akan terjadi pembatasan jumlah parpol di tingkat nasional karena dua hal.
Pertama, karena penerapan PT.
Kedua, akan terjadi disinsentif terhadap
pembentukan parpol baru karena tidak bisa langsung ikut pemilu nasional.
Parpol-parpol yang ikut pemilu nasional
betul-betul parpol yang mengakar di tingkat nasional, tidak hanya sekadar
memiliki kepengurusan di seluruh wilayah.
Penyederhanaan jumlah parpol akan terjadi
dengan sendirinya, yang pada gilirannya akan memperkuat atau mengefektifkan
sistem presidensial.
Aturan ini lebih demokratis dan
konstitusional ketimbang memberlakukan ambang batas pencalonan presiden, yang
dalam putusan MK didalilkan sebagai cara-cara untuk memperkuat sistem
presidensial.
Padahal, secara faktual dan konstitusional
sama sekali tidak rasional alias tidak masuk akal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar