Natal
untuk Kita
Ali Usman ; Alumni Magister Agama
dan Filsafat; Peneliti; Aktivis Sosial;
Domisili di Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
25 Desember
2017
Perayaan Natal bagi umat
Kristiani merupakan peringatan hari lahir Yesus, sang juru selamat. Hari
lahir dalam istilah umum adalah hari ulang tahun (ultah), sebagaimana juga
kita mungkin sering merayakannya. Namun, sejak kapan perayaan ultah Yesus
menjadi urusan teologi?
Aspek teologi pada perayaan
keagamaan seperti Natal lazimnya berisi tentang refleksi hidup perjuangan
sang juru selamat. Selebihnya aspek teologi lain dijustifikasi oleh doktrin
agama, meski di dalamnya juga masih rawan kontroversi, apakah perayaan ultah
sang juru selamat tersebut memang diperintahkan oleh kitab suci atau
sebaliknya.
Perayaan Natal lebih tepat
dikembalikan pada makna asli dan substansialnya, yaitu merayakan ultah sang
juru selamat sebagai tradisi dan budaya yang selalu aktual diulang dalam
setiap tahun. Penjernihan makna ini akan berdampak pada sikap kita lintas
iman, yang mestinya tidak tabu untuk sekadar mengucapkan selamat Natal bagi
umat muslim kepada umat Kristiani, dan begitu pula sebaliknya pada momen
maulid Nabi.
Natal
sebagai Tradisi-Budaya
Memahami perayaan Natal
sebagai tradisi dan budaya bagi umat muslim akan meredam polemik dan
kontroversi boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal kepada saudara kita umat
Kristiani. Ucapan selamat Natal bagi umat muslim lazimnya mengucapkan ultah
kepada siapa saja yang sedang ultah. Sekadar mengucapakan selamat Natal yang
menunjukkan tanggal kelahiran Yesus, tidak secara otomatis umat muslim pindah
agama, sebab ini adalah persoalan tradisi dan budaya yang dilakukan oleh
semua umat manusia, bukan persoalan teologi.
Bahkan tidak hanya soal
ucapan Natal, tetapi segala pernak-perniknya bisa pula dilakukan oleh umat
non-Kristiani, sebab sekali lagi, ini persoalan budaya, bukan teologi! Sama
halnya dengan keterlibatan orang yang bukan dari trah Tionghoa, dan bahkan
banyak dari kalangan muslim terlibat dalam atraksi barongsai dan atribut
lainnya dalam perayaan Imlek.
Oleh karenya, tidaklah
relevan fatwa MUI No 56/2016 yang melarang umat Islam menggunakan atribut
Natal, seperti baju dan topi Sinterklas, yang sebenarnya merupakan tradisi
dan budaya, bukan ajaran eksplisit yang bersumber dari teologi Kristen. Lagi
pula, kedudukan fatwa MUI tidaklah mengikat dan mengharuskan umat muslim
mengikutinya, sebab bangsa ini bukanlah negara Islam.
Itu berarti, jika kita
mengikuti argumen yang meyakini penggunaan atribut Natal sebagai masalah
keyakinan, sama saja hendak melarang seorang non-muslim mengenakan kopiah
yang lazim dikenakan umat muslim. Bagaimana dengan atribut-atribut Natal yang
lain, seperti penetapan hari libur nasional oleh pemerintah, apakah ada yang
tetap ngotot masuk kantor karena mempertahankan keyakinan?
Bagaimana pula jika umat
non-Kristiani justru memanfaatkan belanja diskon di mall, karena momentum
Natal, apakah itu berarti membenarkan ajaran teologi Kristen?
Aktivasi
Pluralisme
Aktivitas peribadatan
dalam semua agama sesungguhnya tidak murni urusan teologi, suci, atau yang
sakral semata, tetapi juga telah melebur ke dalam situasi hibrid tradisi dan
budaya setempat. Di sinilah pentingnya memahami pluralisme, yang tragisnya,
juga banyak dikecam dan difatwakan haram oleh banyak kelompok, termasuk oleh
MUI pada 2005.
Pengharaman terhadap
praktik pluralisme karena ditinjau dari kacamata kuda teologi semata, dan
justru menafikan unsur budaya. Pemahaman yang demikian sungguh salah kaprah,
sebab diam-diam atau tidak disadari, dalam keseharian kita sedang
mempraktikkan pluralisme itu.
H.M.A Tihami sebagaimana
dikutip oleh Budhy Munawar-Rachman (2010) memberikan ilustrasi menarik
tentang praktik pluralisme ini. Bahwa, ketika seorang muslim hendak salat, ia
memakai kain sarung Samarinda yang benangnya diimpor dari China, sarung itu
sampai ke tangan pemakainya melalui pedagang beretnik China beragama
Konghuchu. Baju koko yang dipakainya, bahannya buatan Taiwan, ditenun di
Bandung, dijahit di tanah Abang, dan sampai pada pemakainya melalui pedagang
Minang. Sesampainya di masjid ia duduk dan bersujud di lantai keramik yang
dibuat di Jawa Tengah yang pabriknya milik pengusaha China beragama Budha.
Ternyata betapa beragamnya
peranan dan identitas orang-orang dalam satu aktivitas saja, salat. Tetapi
tiada muncul persoalan atau yang berupa complain terhadap peran-peran
tersebut. Begitu pula dengan aktivitas, atribut dan pernak-pernik Natal.
Bukan tidak mungkin di dalamnya ada banyak orang-orang muslim yang terlibat
di dalamnya, baik langsung maupun tidak langsung.
Jadi, mengapa kita masih
ribut terhadap silang tradisi dan budaya antar-agama, apalagi sekadar
mengucapkan selamat Natal kepada saudara kita sebangsa dan setanahair.
Selamat Natal! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar