Jumat, 19 Januari 2018

Populisme Islam (4)

Populisme Islam (4)
Azyumardi Azra  ;  Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                   REPUBLIKA, 18 Januari 2018



                                                           
Dengan sikap submissif ulama ahlussunah waljamaah beriringan dengan absolutisme dan otoritarianisme kekuasaan politik di dunia Muslim sejak abad-abad awal Islam, bagaimana masa depan populisme Islam di Indonesia? Apakah populisme Islam memiliki peluang untuk memenangkan politik dan kekuasaan di Indonesia?

Berbeda dengan kekhawatiran sementara ahli dan kalangan lain tentang kebangkitan populisme Islam di Indonesia sejak akhir 2016 dan awal 2017 yang terkait dengan Pilkada DKI Jakarta, penulis "Resonansi" menilai, masa depan gerakan ini tidak menjanjikan.

Ada beberapa faktor penyebab mengapa populisme Islam di Indonesia sulit memiliki masa depan dalam kancah politik dan kekuasaan di negeri negeri ini. Faktor-faktor itu banyak terkait dengan corak dan watak Islam Indonesia, baik pada masa silam yang panjang maupun di masa kontemporer, khususnya beberapa tahun terakhir.

Faktor penting lain adalah tatanan hukum dan realitas politik Indonesia, yang juga tidak memberikan tempat bagi gerakan politik semacam populisme Islam. Boleh jadi kekuatan politik, seperti parpol, tertentu memanfaatkan massa populisme Islam, tetapi itu tidak berarti populisme Islam dapat mengarahkan politik parpol—jangankan lagi politik Indonesia secara keseluruhan untuk kepentingan politiknya sendiri.

Secara historis, Islam Indonesia sejak masa kedatangan dan penyebarannya yang masif mulai paruh abad ke-13 dan kemudian masa kesultanan, Islam Indonesia submissif vis-a-vis kekuasaan sultan atau raja. Pihak terakhir ini menjadi patron para ulama dan warga. Sultan atau raja memberikan fasilitas untuk hidup tenang dan berkarya kepada ulama; dan sebaliknya ulama memberikan dukungan, kesetiaan, dan legitimasi politiko-relijius bagi sultan atau raja.

Itulah model hubungan yang berlaku antara kedua belah pihak, yang dalam kajian akademik disebut patron-client relationship. Dalam pola hubungan ini, konsep dan praktik bughat juga berlaku yang tidak memberi tempat bagi pikiran dan praksis di luar kekuasaan semacam populisme. Praktis tidak pernah ada bughat warga yang dipimpin ulama terhadap kekuasaan politik Islam yang dipegang raja atau sultan.

Kemudian kolonialisme Belanda yang mengakhiri kekuasaan politik Islam, menimbulkan perlawanan kaum Muslim yang terjadi secara terpisah-pisah dari satu daerah ke daerah lain, sehingga dapat ditaklukkan Belanda satu per satu melalui berbagai modus sejak dari penaklukan militer sampai perjanjian berupa ‘plakat pendek’ atau ‘plakat pendek’. Kesatuan ortodoksi Islam Indonesia dengan tradisi yang kian mapan dalam praktiknya tidak berdaya menghadapi kolonialisme Belanda.

Ketidakberhasilan perlawanan ini kemudian mendorong para ulama dan umat Islam melakukan uzlah—mengasingkan diri. Para ulama dan pemimpin Muslim lain umumnya menjauhkan diri dari keterlibatan dengan kekuasaan kolonial Belanda. Pemerintah kolonial pun membiarkan sikap ini karena dengan begitu status quo kekuasaannya tidak terancam.

Para ulama umumnya dalam uzlah sebaliknya memusatkan diri pada pendidikan dan dakwah internal. Dengan cara ini umat Islam Indonesia dapat membangun lebih banyak masjid dan mushala; juga pesantren, pondok, surau, dayah, dan kemudian sejak awal abad ke-20 madrasah dan sekolah Islam, rumah sakit, panti asuhan, dan seterusnya.

Begitulah, dengan mengambil distansi dengan kekuasaan kolonial, ulama dan umat justru berhasil membangun tradisi kemandirian dari kekuasaan. Berbagai pranata dan lembaga Islam yang disebutkan tadi dibangun secara mandiri tanpa bantuan kekuasaan.

Kemandirian ini, yang bertahan sampai sekarang, merupakan salah satu distingsi utama Islam Indonesia. Dengan begitu, Islam Indonesia menjadi terlalu besar untuk bisa dikooptasi kekuasaan sejak masa kolonialisme Belanda sampai sekarang.

Dalam dinamika politik seperti itu sejak masa kesultanan dan zaman penjajahan, kaum ulama Indonesia berhasil terus mengonsolidasikan ortodoksi Islam Indonesia. Ada tiga aspek ortodoksi itu: kalam Asy’ariyah, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali.

Ketiga aspek ortodoksi inilah yang membentuk tradisi Islam Indonesia—tradisi Islam wasathiyah. Inilah Islam yang berada di tengah; tidak ekstrem ke kiri atau ekstrem ke kanan. Inilah Islam inklusif, Islam toleran yang bisa hidup berdampingan secara damai, baik intra Islam maupun antaragama.

Islam wasathiyah menjadi prinsip dasar ormas-ormas Islam yang mulai berdiri sejak dasawarsa awal abad ke-20. Lebih berkonsentrasi dalam bidang dakwah, pendidikan dan penyantunan sosial, ormas-ormas Islam yang merupakan arus utama  menjadi tulang punggung utama moderasi Islam Indonesia sampai sekarang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar